Muawiyah bin Abi Sufyan, pendiri negara Bani Umayyah, adalah seorang sahabat Nabi yang memiliki insting dan kejeniusan politik yang luar biasa. Jika dalam urusan agama, kita mungkin bisa mencontoh Ali bin Abi Thalib karena beliau jago dalam berijtihad soal teks-teks agama, namun dalam urusan politik, Ali bin Abi Thalib secara kemampuan di bahwa Muawiyah bin Abi Sufyan. Sejarah mencatat bahwa Bani Umayyah dan aliansinya seperti Bani Khuzaimah dan Bani Tsaqif merupakan suku-suku Arab yang terkenal dengan kelihaiannya dalam berdagang dan berbirokrasi.
Karena itu, ketika terjadi konflik antara Bani Umayyah yang diwakili oleh Muawiyah dan Bani Hasyim yang diwakili oleh Ali bin Abi Thalib dalam peristiwa Siffin, secara politik Muawiyah dengan berbagai maneuver-manuvernya mampu mengalahkan Ali bin Abi Thalib sampai-sampai tampuk kekhilafahan jatuh ke tangan dirinya. Karena urusan politik mensyaratkan kelicikan (al-harb khid’ah), Ali bin Abi Thalib tidaklah memiliki sifat seperti itu sehingga ia tidak mampu mengatasi konflik internal di kalangan tentara pendukungnya yang terdiri dari berbagai macam suku-suku.
Namun terlepas dari kelihaiannya dalam menggunakan jurus-jurus jitu dalam berpolitik, dalam usahanya membangun kembali negara bersemangat Islam seperti yang pernah dirintis oleh Nabi dan dilanjutkan oleh Abu Bakar dan Umar bin al-Khattab lalu hancur di masa Uthman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi Sufyan mencontoh kebijakan-kebijakan Nabi dalam berurusan dengan warganegara yang non-muslim, yakni bersikap toleran.
Dalam catatan sejarah yang dikumpulkan at-Tabari dan al-Mas’udi, karena toleransinya yang luar biasa terhadap non-muslim dan kebebasan berekspresi dan berpendapat yang diberi tempat di masanya (selagi tidak menghunuskan pedang). Muawiyah bin Abi Sufyan diberi julukan al-Mustanir as-Samah (khalifah yang tercerahkan nan toleran). Konon dalam catatan sejarah juga, istrinya yang bernama Maysun binti Bahdal al-Kalbiyyah adalah wanita Kristen. Lebih dari itu, mulai dari sekretaris negara, menteri keuangan, dokter sampai ke para penyair istana, semuanya berasal dari yang beragama Kristen.
Di masa Muawiyah dan beberapa khalifah setelahnya, sang khalifah membebaskan pembangunan gereja dan bahkan memberikan dana negara untuk pembangunan tersebut. Selain itu, dalam Tarikh Suriah wa Lubnan wa Filistin, tercatat pula bahwa Muawiyah pernah mengangkat gubernur wilayah Homs dari kalangan non-muslim. Gubernur tersebut bernama Ibnu Atsal. Gubernur Homs ini beragama Kristen. Dalam kitab al-Isyarah ila Man Nala al-Wizarah karya Ibnu As-Shoirafi, kita akan temukan bahwa dalam sejarah Islam, banyak sekali pejabat-pejabat dari kalangan non-muslim yang menduduki posisi-posisi penting dimulai dari wazir, gubernur sampai ke struktur negara paling rendah.
Bayangkan argumen-argumen yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh agama kita semisal Habib Rizieq Syihab yang kekeuh mempertahankan ketidakbolehan memilih gubernur non-muslim dengan dalih al-Maidah ayat 51, Muawiyah bin Abi Sufyan, seorang sahabat Nabi, malah justru menunjukkan toleransinya dengan menunjuk gubernurnya untuk wilayah Homs ini dari kalangan non-muslim. Di masa kita ini, banyak sekali gereja dan tempat peribadatan lainnya dirusak dan dibom, Muawiyah dengan mengikut perjanjian Nabi dengan Kristen Najran malah membantu pembangunan tempat peribadatan.
Saking tolerannya di masa ini, penganut Kristen dari aliran Maruniyyah dan penganut Kristen dari aliran Suriah Ortodoks ketika lama berpolemik soal proses menyatunya tabiat ketuhanan dan tabiat kemanusiaan dalam diri Yesus meminta Muawiyah untuk menerbitkan surat keputusan untuk memilih mana pandangan yang sekiranya dianggap resmi oleh negara. Polemik ini sudah lama terjadi di beberapa ratus tahun sebelumnya, yakni terjadi pada masa konsili Chaldean tahun 451 masehi.
Dua aliran Kristen ini meminta Muawiyah bin Abi Sufyan untuk menerbitkan surat keputusan. Akhirnya Muawiyah menerbitkan keputusan yang mendekritkan pandangan sekte Kristen Maruniyyah. Kendati demikian, Muawiyah seolah ingin menjaga keseimbangan dan keadilan di kalangan rakyatnya, memberikan dana pembangunan gereja-gereja di wilayah Homs, Hama dan Ma’rah Nu’man yang berafiliasi ke aliran Kristen Suriah Ortodoks, sekte Kristen yang kalah dalam berarbitrasi dengan sekte Maruniyah di hadapan Muawiyah. Ada kata-kata menarik dari Esoyahb Patriarch III, pimpinan gereja Katolik Babilonia, seperti yang dikutip dalam al-Masihiyyah al-Arabiyyah wa tatawwuratuha dari Liber Epistularum:
إنهم ليسوا أعداء النصرانية، بل يمتدحون ملتنا، ويوقرون قسيسينا وقديسنا، ويمدون يد المعونة إلى كنائسنا وأديرتنا
“Mereka (umat Islam) bukanlah musuh bagi Kristen. Mereka bahkan memuji agama kita, menghormati pendeta-pendeta dan santa-santa kita, dan memberikan dana bantuan untuk gereja dan biara-biara kita.”
Kenyataan historis ini seharusnya kita jadikan pegangan bahwa Islam sangat menghormati eksistensi agama lain, terutama tempat-tempat peribadatan serta mengecam semua bentuk aksi dan tindakan yang dapat menghancurkan tempat-tempat ibadah tersebut. Bahkan Allah dalam surat al-Baqarah ayat 114 mengecam orang-orang yang ingin menghancurkan tempat-tempat peribadatan dan mencapnya sebagai orang yang paling zalim. Karena itu, fenomena pengeboman gereja dan tempat ibadah lainnya oleh sebagian muslim sebagai wujud kecintaan mereka kepada Islam sangatlah tidak otentik dan tidak berasal dari sunnah Nabi dan sunnah para sahabatnya. Allahu A’lam.