Dalam konteks sejarah peradaban Islam dunia, sejarah Islam Nusantara tak begitu dikenal dan masih dianggap sejarah pinggiran. Hal ini mudah diduga mengingat Nusantara sendiri, baik secara geografis, budaya maupun politik, jauh dari pusat kekuasaan Islam di Timur Tengah.
Nusantara baru berkenalan dengan Islam setelah peradaban Islam mengalami kemunduran , sekitar Abad 13-14 M. Model dan corak keislaman Nusantara pun sangat berbeda dengan model dan corak keislaman di pusat dunia Islam. Islam Nusantara dianggap penuh dengan anasir-anasir asing sehingga model dan corak keislamannya sangat berwarna, memiliki banyak kekhasan dan keunikan.
Menurut Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya, sejahrawan Prancis yang banyak meneliti sejarah Nusantara, Nusantara merupakan persilangan budaya tempat persemaian budaya-budaya besar dunia. Nusantara mengalami Indianisasi, Persianisasi, Arabisasi, Chinaisasi, hingga Eropanisasi. Nuasantara ibarat “panci pelebur” (melting pot) peradaban-peradaban besar dunia, sehingga membentuk identitas kebudayaan tersendiri, yaitu Nusantara.
Begitu pula dengan Islam Nusantara. Sebagai agama kosmopolit dan berperadaban, Islam Nusantara mengalami persinggungan, persentuhan, dan peleburan dengan kebudayaan lokal dimana Islam “dihadirkan”. Islam Nusantara adalah Islam yang mengalami “kematangan” dan “kedewasaan” budaya karena sudah melintasi pelbagai macam tradisi, budaya dan peradaban dunia.
Hasilnya bisa dilihat hari ini. Ketika pusat dunia Islam disapu badai pergolakan dahsyat, tarcabik-cabik dalam konflik dan perebutan kekuasaan, Islam Nusantara tak terpengaruh sama sekali. Ketidakterpengaruhan tersebut salah satunya ditopang oleh basis kebudayaan yang kuat, kokoh, dan berkarakter. Yaitu Islam yang berwatak toleran (tasamuh), moderat (tawasut), berkeadilan (al-adalah), dan tetap menjaga keseimbangan (tawazun) dalam banyak lini kehidupan.
Hal ini merupakan dampak dan pengaruh langsung dari cara dan metode ulama-ulama pembawa dan penyebar Islam di Nusantara. Islam Nusantara merembes masuk dan menyebar ke Nusantara melalui pendekatan sosial-budaya, bukan melalui ekspansi militer, penundukan dan pendudukan, tak seperti yang terjadi di pusat dunia Islam.
Sayangnya proses islamisasi di Nusantara tak begitu banyak dikenal peneliti maupun pemikir Islam di belahan dunia lain. Harus diakui, terutama di dunia akademik, ketika berbicara Islam, sumber-sumber lokal seolah dianggap tidak otentik dan hanya dijadikan referensi sekunder.
Nah, buku berbahasa (kaum santri menyebutnya dengan kitab) yang ditulis Abi Fadhal, Senori, Tuban: Ahlal Musamarah: Fi Hikayah Awliya al-Asyrah. Dalam bahasa kita berarti Obrolan manis: Cerita Tentang Wali Sepuluh.
Buku tersebut adalah salah satu upaya Abi Fadhal mengenalkan sejarah Islam lokal, ditulis orang lokal (Nusantara), dari sumber-sumber lokal, dalam Bahasa Arab. Buku setebal 85 halaman ini selesai ditulis 5 Muharram 1381 H/ 18 Juni 1961 dan baru disalin dan diterbitkan Majlis al-Ta’lif wal Khattat, Tuban, pada 1 Rajab 1415 H/ 4 Desember 1994 M.
Abi Fadhal menyebut Wali Sepuluh karena memasukkan Syaikh Siti Jenar sebagai salah satunya. Syaikh Siti Jenar belajar tasawuf pada Sunan Ampel. Ia mengalami puncak makrifat, pengetahuan sejati, menyatu dengan Tuhan (manunggaling kawula ing gusti). Dalam puncak ekstasenya (fana) itu ia mengeluarkan pernyataan-pernyataan ganjil (satahat) yang secara dzahir bertentangan dengan syariat, misalnya mengaku dirinya sebagai Tuhan.
Perilaku Siti Jenar tersebut menimbulkan keresahan, kegaduhan dan kebingungan di tengah masyarakat muslim yang baru tumbuh. Karena itulah ia dieksekusi mati dan disingkirkan dari dewan Wali (hal. 46)
Abi Fadhal lahir dari pasangan Kiai Abdul Syukur dan Nyai Denok. Abi Fadhal banyak mewarisi keilmuan ayahnya. Ia adalah wujud doa ibunya yang ketika mengandungnya selalu tirakat berharap memiliki seorang anak yang alim allamah, maha guru.
Abi Fadhal pernah nyantri pada Kiai Hasyim Asyari, hanya sekitar 7 bulan. Keilmuan Abi Fadhal lebih banyak didapat secara otodidak. Ia sejak kecil sudah menunjukkan tanda-tanda kecerdasan dan kejeniusan. Di umur sembilan tahun ia sudah hapal al-Quran dan melahap semua kitab-kitab (buku-buku) yang dibaca dan diajarkan ayahnya. Di usianya yang ke sebelas tahun ia sudah mengajar dan menulis kitab.
Meskipun tak pernah belajar di Timur Tengah, seluruh karya Abi Fadhal ditulis dalam Bahasa Arab fusha, mungkin mengikuti jejak Kiai Ikhsan Jampes. Di antara karyanya yang sudah dibukukan adalah: 1) Tashilul Masalik: Syarh Alfiyah Ibnu Malik. 2) Kasyfu Tabarih Fi Shalati Tarawih. 3) Ahlal Musamarah; Fi Hikayati Awliya al-Asyrah. 4) Durrul Farid Fil Ilmi Tauhid. Juga dua karya yang belum selesai ditulis: Nadzam Bahjatul Hawi dan Nadzam Jam’ul Jawami.
Selain menguasai bahasa Arab, Abi Fadhal disebut pandai berbahasa Belanda dan Bahasa Mandarin. Juga tak hanya pandai mengaji dan menulis buku, Abu Fadhal menguasai ilmu elektronik. Ia pernah membuat radio transistor sendiri. Semuanya dikuasai secara otodidak.
Sayangnya belum banyak tulisan yang mengeksplorasi riwayat hidup, tulisan-tulisan, serta pemikiran-pemikirannya.
Mari kita kembali pada buku yang sedang saya uluas ini: Obrolan manis: Cerita Tentang Wali Sepuluh.
Abi Fadhal membuka bukunya ini dengan kisah seorang wali dari Asia Tengah, Samarkand, seorang keturunan Rasulullah dari Zainal Abidin bernama Ibrahim Asmoro [Samarkand]. Dalam pengembaraan dakwahnya ia sampai di Negara Champa, sekarang msuk Vietnam, dan berhasil mengislamkan rajanya. Ia kemudian nikah dengan salah satu putri raja bernama Mertaningrum. Buah dari pernikahannya dikaruniai seorang wali terkemuka di tanah Jawa: Raden Rahmat atau Sunan Ampel (hal. 5)
Selain Mertaningrum Raja Champa memiliki seorang putri yang dipersunting Raja Brawijaya penguasa Majapahit. Jadi, berdasarkan pertalian nasab ini, Raden Rahmat merupakan keponakan Brawijaya dari jalur istrinya. Karena itu, wajar saja, Raden Rahmat begitu disayang dan dimanja Brawijaya, sehingga ia diberikan wilayah kekuasaan di Ampel Denta.
Berdasarkan cerita buku ini, Islam sudah masuk dalam lingkaran kekuasaan Majapahit, terutama melalui kerabat dekat istri Brawijaya dari Champa. Hubungan antar agama waktu itu terjalin baik dan harmonis. Bahkan Brawijaya memberi kebebasan kepada Raden Rahmat untuk menyebarkan Islam di daerah kekuasaanya.
Brawijaya juga tetap membiarkan ketika mengetahui anaknya dari selir China, Raden Fatah, atas petunjuk Sunan Ampel, mendirikan sebuah pesantren di Glagah Wangi. Kelak, dari pesantren ini lahir Kerajaan Demak.
Menurut Gus Dur dalam Membaca Sejarah Nusantara, berdasarkan cerita tutur, Brawijaya adalah seorang muslim, karena selir istrinya berkebangsaan China, ibu Raden Fatah, beragama Islam. Di samping itu, tak jauh dari pekuburan raja (Trowulan) terdapat kompleks pemakaman muslim [Troloyo]. Yang pasti, sejak itu Islam dan Majapahit berhubungan sudah dekat
Toleransi beragama dalam pemerintahan Brawijaya juga dituturkan dalam buku ini:
“Penduduk Majapahit mayoritas beragama Hindu Budha. Ketika Raden Rahmat dan Raja Pandita [adik Raden Rahmat] salat, banyak orang menonton dan menertawakan keduanya. Gerakan salat dianggap aneh dan lucu oleh penduduk Jawa. Sampai suatu ketika ada seorang pemuka agama mereka memberi nasehat: ‘setiap orang memiliki Tuhan sesembahan yang disembah dengan cinta. Karena itu, jangan pernah menertawakan orang yang menyembah Tuhannya’.” (hal. 18)
Pesan toleransi yang ditunjukkan dalam kisah ini menggambarkan pemandangan Islam di tengah kehidupan masyarakat Majapahit yang masih menganut agama Hindu-Budha. Namun demikian, kehadiran Islam tak dianggap sebagai ancaman. Keduanya dapat hidup berdampingan dan memilih nasibnya sendiri-sendiri.
Hubungan Islam dan Majapahit mengalami perpecahan pasca penyerbuan Demak ke Majapahit. Itu pun terjadi setelah Sunan Ampel, senior para Wali, meninggal dunia. Dalam buku ini pun tak jelas disebut alasan penyerbuan itu. Hanya diceritakan bahwa Raden Fatah mengumpulkan dewan Wali dan mendeklarasikan perang (Jihad) terhadap Majapahit (hal. 49).
Ada banyak versi sejarah tentang peristiwa ini. Sejahrawan Agus Sunyoto menganggap bahwa peristiwa pemberontakan Demak ke Majapahit tidak pernah terjadi.
Buku ini sangat menarik dan penting. Kisah-kisah di dalamnya mengandung unsur dakwah dan pelajaran penting (ibrah) bagi pembacanya. Abi Fadhal menambahkan dengan syair-syair untuk memaknai pelbagai peristiwa sejarah di dalamnya.
Buku ini akan lebik menarik apalagi dibaca menggunakan pendekatan intertekstualitas: membandingkan satu teks dengan teks-teks lainnya. Sebagai teks sejarah tentu saja mengandung banyak versi. Masing-masing versi memiliki “kebenarannya” sendiri-sendiri.
Buku ini merupakan salah satu puzzel sejarah itu. Selamat membaca!