Budhy Munawar Rachman: Agama Islam Pada Masa Lalu Mendorong Perkembangan Ilmu Pengetahuan

Budhy Munawar Rachman: Agama Islam Pada Masa Lalu Mendorong Perkembangan Ilmu Pengetahuan

Baagaimana sebenarnya kita mengatasi fenomena sains dan agama dalam konteks modern ini. Apakah tidak bisa seorang ilmuwan, sekaligus seorang agamawan. Dan bagaimana posisi Islam dalam wacana perkembangan sains dan agama ini.

Budhy Munawar Rachman: Agama Islam Pada Masa Lalu Mendorong Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Budhy Munawar Rachman

Tak bisa dipungkiri, hubungan sains dan agama mengalami pasang surut. Terkadang pisah jalan, tak bisa disatukan. Sisi lain, agama dan sains terkadang ada kompromi dan dialog.  Tak jarang juga antara sains dan agama integrasi.

Dalam Islam, hubungan antara Islam dan sains adalah hubungan integrasi. Lebih jauh lagi, terjadi islamisasi sains. Usaha itu untu menarik sains dalam kungkungan Islam.

Tak bisa dipungkiri, era terdahulu terutama di bawah naungan pimpinan  daulah  Abbasiyah, agama dan sains terintegrasi. Dunia Islam menggapai peradaban, bukan saja dari sesi ekonomi dan bangunan megah, tetapi lahir juga saintis kelas tinggi.

Yang menarik, para pakar dan ilmuwan muslim ini menjadikan Al-Qur’an sebagai inspirasi. Ayat-ayat kauniyah yang membuat Ibnu Sina, untuk mendalami kedokteran. Ayat-ayat tentang alam semesta yang membuat Muhammad Ibnu Ibrahim Al-Farazi atau dikenal dengan Al-Farazi adalah tokoh pemikir Islam di bidang astronomi pada masa Dinasti Abbasiyah.

Nah dalam era modern ini, kemajuan sains dan teknologi, seolah-olah membuat agama dan sains atau ilmu seolah berpisah. Tak bisa disatukan. Pasalnya, agama yang bersumber dari wahyu. Sedangkan sains yang menggunakan metodologi ilmiah. Yang lebih parah lagi, ada anggapan bahwa agama hanya akan membuat sains tak berkembang.

Bagaimana sebenarnya kita mengatasi fenomena sains dan agama dalam konteks modern ini. Apakah tidak bisa seorang ilmuwan, sekaligus seorang agamawan. Dan bagaimana posisi Islam dalam wacana perkembangan sains dan agama ini.

Berikut perbincangan tim redaksi dengan Budhy Munawar Rachman, Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Pemikir Islam Progresif, Direktur Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), yang membahas terkait hubungan agama dan sains, serta integrasi Islam dan ilmu pengetahuan pada  Kamis (23/6).

Fenomena kontemporer, antara sains dan agama sering sekali dibenturkan. Bagaimana menurut Anda tentang hubungan sains dan agama? Apakah tidak bisa integrasi sains dan agama?

Ada beberapa model yang ditafsirkan oleh agamawan atau para ilmuan. Yang pertama adalah yang menganggap agama dan sains tidak mungkin bisa bertemu. Yang kedua, menganggap agama dan sains bisa bertemu. Yang ketiga menganggap bahwa agama itu perlu melakukan pembaharuan terhadap agamanya.

Jadi ada beberapa model ya. Jadi pertama, menganggap agama dan sains itu bertolak belakang, tidak bisa bertemu. Kedua, agama melakukan penyesuaian diri. Yang ketiga, ya agama dan sains melakukan dialog.

Jadi ada tiga model ya; model berpisah, model islamisasi sains, dan juga model dialog ya. Ada metafora dan ada proses. Bukan sekadar kun fa yakun, seperti yang dikatakan oleh agama, tetapi ada proses dan evolusi. Dan solusinya  bukan kun faya kun. Nah ini yang terjadi, dan orang agama baik Islam dan Kristen sulit menerima ini.

Nah dalam hal ini (penciptaan alam semesta), kalau ada yang mengatakan bahwa 6 hari diciptakan, yang mereka katakan bahwa 1 hari di alam dunia, berbeda dengan 1 hari Tuhan. Bagaimana pendapat bapak?

Yang mana. Yang tadi, iya itu namanya metafora ya. Itu bukan 6 hari kali 10 hari, bukan 6 hari persis. Itu adalah metafora saja, bahwa ada proses. Nah proses itu yang disebutkan dengan evolusi. Nah ini berbeda dengan kun fa yakun tadi. Nah para ilmuwan banyak meneliti itu, dan tidak mungkin itu 6 hari saja, benar-benar 6 hari.

Menurut Anda di mana letak substansial perbedaan antara agama dan sains itu di mana? Apakah di metodologi?

Iya. Letaknya di metodologi. Antara metodologi agama dan sains itu berbeda. Berbedanya dalam memahami alam. Dulu orang pakai agama. Sekarang orang pakai pendekatan sains. Memakai pendekatan ilmu yang lebih bisa diandalkan. Misal yang tadi kun fa yakun, itu tidak mungkin terjadi ya.

Oleh karena itu pandangan agama kita harus diharmoniskan dengan sains. Ya dalam hal ini penafsiran terhadap agama itu. Banyak hal yang tidak masuk akal, jika dikaitkan dengan penafsiran agama selama ini.

Dalam tiga model ini hubungan sains dan agama, Anda cenderung ke mana?

Kalau saya sendiri ya dalam tiga model ini, saya lebih condong ke dialog ya. Nah agama dan sains punya tempat dan arahnya masing-masing ya, sehingga tidak bisa campur aduk. Pendekatan agama, lain dengan pendekatan sains. Agama berdasarkan pendekatan wahyu, sains berdasarkan pendekatan metode ilmiah. Sains bukan wahyu ya. Jadi kita bisa melihat masing-masing.

Nah kalau terjadi pertentangan, yang harus kita ikuti itu adalah sains. Karena sains lebih teruji dari pada agama. Misalnya bahwa alam semestaa, kata tokoh agama, alam semesta diciptakan dalam 6 hari. Sedangkan menurut para saintis itu diciptakan selama milyar-milyar tahun, ini kan ada perbedaan.

Nah dalam hal ini kita tidak bisa lagi menggunakan agama,  karena tafsiran agama yang 6 hari di masa lalu, yang harus ditafsirkan secara baru, yaitu yang lebih diterima untuk zaman sekarang.   Karena yang 6 hari itu dianggap sebagai metafora. Itu yang dilakukan oleh tokoh saintis muslim. Nah yang 6 hari itu metafora saja.

Sejauh mana kontribusi dan dorongan agama untuk kemajuan ilmu pengetahuan; sains dan teknologi?

Jadi pada masa lalu agama mendorong perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam konteks Islam, itu sangat  kentara di masa peradaban Islam. Di agama Kristen juga seperti itu—pada abad pertengahan. Tapi di masa modern, ilmu pengetahuan berkembang tanpa agama. Alasannya karena banyak ketidakcocokan sehingga ilmu pengetahuan berkembang sendiri dan menemukan metodenya yang betul-betul bisa dipertanggungjawabkan, yang disebut dengan ilmiah.

Pada sisi lain, yang dalam agama itu disebut dengan spekulasi keimanan/kepercayaan. Nah itu juga yang menyebabkan bahwa ilmu pengetahuan berkembang tanpa agama.

Tapi penting dicatat, agama memerlukan ilmu pengetahuan saat ini sebagai mitra/patner dalam pemikiran keagamaan. Nah fenomena itu yang menjadikan dialog itu sangat perlu. Banyak hal yang dulu dipercayakan agama, tapi sebenarnya harus ditafsir ulang.

Misalnya kepercayaan pada malaikat itu, bagaimana kita mempercayainya sekarang? Kalo orang memiliki ilmu pengetahuan. Itu yang paling jelas, kalau dulu ( terkait malaikat) orang percaya saja. Untuk saat ini, orang tidak bisa main percaya saja, ada yang perlu diperhatikan.

Pada era lalu, banyak filosof yang jadi ilmuwan, sekaligus jadi agamawan yang taat. Nah kalau sekarang bagaimana menurut Anda?

Kalau sekarang, tidak mudah semudah itu. Sekarang orang jadi ilmuan, dia bisa berfilsafat dan juga tidak berfilsafat.  Apalagi beragama, orang menjadi ilmuwan dan bisa juga tidak beragama— tidak perlu agama.  Jadi sebenarnya pada masa sekarang orang yang menjadi ilmuan itu sebenarnya tidak harus menjadi filosof atau menjadi agamawan.

Orang beragama, kalau tidak berilmu sebenarnya sekarang, agamanya (dakwahnya) menjadi hal-hal yang tidak masuk akal. Nah demikian juga jika ia tidak memerhatikan ilmu pengetahuan, maka ia akan spekulatif pemikirannya. Dan itu menjadikan filsafatnya ketinggalan zaman.

Jadi sekarang, sebenarnya sekarang yang diperlukan ketiganya itu ; agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan.  Tapi apa yang sudah bisa diselesaikan oleh ilmu pengetahuan, maka agama harus menyesuaikan diri.

Jadi perlu pembaharuan dari agama itu sendiri?

Iya, pembaharuan. Misalnya tentang kesetaraan perempuan atau kesetaraan gender. Sekarang kita tidak bisa lagi membuat diskriminasi atau pembedaan terhadap perempuan dan laki-laki karena itu sudah berkembang gender dan ilmu sosial. Dan kita tahu pandangan agama, keagamaan, atau tafsir agama tentang perempuan itu masih banyak yang bias gender. Jadi sekarang kita harus beragama secara setara secara gender. Nah ini cara beragama yang dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan.

Cara pandang lama yang bias gender, ya ditinggalkan saja. Agamanya sendiri yang mana (dalam konteks ini)? Nah kita tak pernah tahu agamanya sendiri yang mana? Yang dimaksud oleh Allah yang mana? kita tak tahu. Itu hanya Allah yang tahu. Nah, sejauh kita bicara agama, itu adalah tafsiran. Jadi yang ada adalah tafsiran. Jadi begitu.

Jadi agama dan sains bisa berdampingan berjalan bersama, dengan catatan agamanya harus ditafsirkan ulang ya, diperbaharui tafsirannya?

Iya. Harus diperbaharui, kalau terjadi tidakcocokan. Kalau terjadi komplain. Karena jika tidak ditafsirkan ulang, agamanya akan aneh pendapatnya.

Dulu kita kenal saintis muslim peraih nobel, Abdus Salam. Nah dalam pandangan Anda, untuk saat ini siapa tokoh yang sainstis, sekaligus agamawan? 

Untuk pertanyaan sosok agamawan dan saintis itu saat ini masih ada, masih banyak. Masih banyak saintis yang beragama. Tapi pada umumnya saintis itu kan, tokoh-tokoh besar itu kan bukan muslim ya. Yang mereka meraih hadiah nobel yang besar-besar itu. Nah mereka yang beragama ada, yang tidak beragama juga ada.