“Buat apa ribut ama tetangga kelamaan? Nanti juga ketemu pas jagongan. Malah pekewuh nanti kalau bertemu.”
Kalimat itu seringkali diucapkan oleh orang-orang tua di kampungku setiap kali ada warga yang sedang berkonflik dengan tetangganya. Di kampungku, kerukunan memang bukan sekadar kata, tetapi tradisi yang dijaga turun-temurun. Salah satu tradisi yang menjadi simbol kebersamaan adalah jagongan; sebuah budaya berkumpul yang penuh kehangatan, sederhana namun sarat makna.
Jagongan berasal dari kata jagong berarti duduk. Tradisi ini biasanya dilakukan ketika salah satu warga di kampung kami akan melaksanakan acara hajat di esok hari. Entah itu berupa khitanan, pernikahan, sukuran akan pergi haji, atau yang lainnya. Bukan hanya itu saja, jagongan juga biasanya dilakukan di rumah warga yang sedang mengalami musibah seperti ketika ada salah satu anggota keluarganya yang meninggal dunia.
Dalam tradisi jagongan, tuan rumah akan menyediakan tikar atau deretan kursi. Terkadang mereka juga memasang tenda di halaman rumah. Tikar, kursi dan tenda itu bukan milik pribadi, namun milik bersama yang dikelola oleh Rukun Tetangga (RT). Pembeliannya berasal dari urunan warga dalam bentuk jimpitan. Jadi, tiap malam, seluruh rumah yang ada di tiap RT akan menaruh uang sebesar 500 rupiah di kaleng yang terpasang di tiap rumah mereka. Para petugas ronda akan mengambil uang tersebut. Bila sudah terkumpul, sebagian jumlah uang akan dibelikan kopi atau cemilan untuk menemani para petugas ronda yang begadang, dan sebagiannya lagi akan masuk ke kas RT yang kemudian digunakan membeli seperangkat kursi, tenda, tikar, dan barang-barang kebutuhan bersama lainnya.
Saat jagongan, kaum lelaki di kampungku akan duduk-duduk di luar rumah, sedangkan kaum perempuan duduk di dalam. Karena ini bukanlah acara formal, maka siapapun bebas datang tanpa undangan.
Dalam suasana santai, obrolan akan mengalir begitu saja. Tentang kabar keluarga, pekerjaan, hingga isu-isu yang sedang hangat. Gelak tawa sering terdengar, mencairkan kelelahan setelah seharian beraktivitas. Namun mereka bukan sekadar duduk-duduk dan ngobrol saja. Tradisi jagongan selalu identik dengan rewang atau membantu orang lain yang dalam hal ini adalah tetangga yang esok akan menggelar acara hajat.
Rewang sendiri berarti membantu. Mereka memang duduk dan mengobrol, namun pada prinsipnya, mereka bersiaga. Suatu ketika bantuannya dibutuhkan, entah menata dekorasi, mengangkut barang-barang atau lainnya, mereka akan segera mengerjakannya secara serempak.
Konon kabarnya, sebagaimana diceritakan oleh para tetua kampung, tradisi ini sudah ada sejak kampung kami berdiri, yakni sekitar tahun 1930-an. Satu hal yang pasti ialah bahwa faktor yang membuat Jagongan menjadi istimewa adalah semangat gotong-royong yang lahir darinya. Solusi berbagai macam masalah yang terjadi di kampung sering kali muncul dalam acara jagongan. Warga lain tanpa ragu akan menawarkan tenaga, waktu, atau sumbangan seadanya.
Meskipun acara ini terkait dengan kepentingan hajat salah satu warga, namun dalam jagongan seringkali pula, ide-ide untuk memperbaiki kampung bermula. Mulai dari rencana kerja bakti, pembangunan jalan, hingga persiapan acara seperti peringatan hari besar keagamaan.
Tidak hanya itu, jagongan juga menjadi tempat untuk menjaga hubungan antar-generasi. Orang tua sering membagikan cerita-cerita lama, petuah, atau pengalaman hidup, sementara anak-anak muda mendengarkan sambil sesekali menyisipkan ide-ide segar. Interaksi ini memperkuat ikatan sosial dan menanamkan nilai-nilai kebersamaan kepada generasi berikutnya.
Uniknya, jagongan juga mempertemukan berbagai latar belakang. Di kampungku, ada penduduk dari beragam suku dan agama, tetapi di saat jagongan, semua perbedaan melebur. Kami belajar saling memahami, menghormati, dan menghargai. Di acara jagongan, Aripin yang Nahdliyyin sejati, Ibrahim yang Muhammadiyah tulen, dan Hendrik yang Cina dan Kristiani akan berkumpul bersama saling bercerita, menjalin harmoni yang begitu indah dalam keberagaman.
Bagi kami, jagongan adalah jantung kehidupan kampung. Di balik kesederhanaannya, ia menyimpan nilai-nilai luhur yang membuat warga tetap rukun. Budaya ini mengajarkan bahwa kerukunan tidak perlu dikejar dengan hal-hal besar, tetapi dapat dirawat melalui hal-hal kecil, seperti duduk bersama, mendengar, berbagi, dan saling membantu.
Seperti yang telah disebutkan di awal, konflik antar tetangga di kampung kami hampir tidak ada yang berkepanjangan. Semuanya akan bisa dengan cepat diselesaikan karena pada akhirnya mereka akan bertemu lagi di acara jagongan. Dengan sendirinya, ketika mereka bertemu, maka suasana akan mencair dan ketegangan akan bisa dinetralisasi.
Khusus untuk acara Jagongan pada tuan rumah yang sedang mengalami musibah, obrolan biasanya tidak terlalu kencang. Toh, harus menyesuaikan dengan keadaan, kan? Namun semangat gotong royongnya tidak berubah. Semua yang hadir akan siap siaga memberikan dukungan baik moril maupun tenaga.
Alhamdulillah, di kampung kami para penggali kubur tidak perlu dibayar, petugas penggotong mayit dari rumah ke pekuburan pun tidak ada, karena semuanya bahu-membahu ikut menggotong dan tak berharap bayaran apapun. Semuanya lahir dari rasa kewajiban saling membantu dengan tetangga.
Tanpa ada pengumuman dan tanpa ada undangan, semua tetangga akan hadir dalam acara jagongan. Tidak ada pula sanksi tertentu bagi mereka yang enggan mengikutinya. Sanksi sosial paling-paling hanya ia menjadi tidak terlalu akrab dengan tetangga. Umumnya, warga tidak ada yang mau melewatkan acara ini karena selalu terkenang dengan keseruannya.
Dalam dunia yang semakin sibuk dan penuh distraksi, Jagongan menjadi pengingat betapa pentingnya meluangkan waktu untuk hadir bagi sesama. Dan di kampungku, tradisi ini adalah warisan berharga yang terus kami jaga dengan bangga. Wajar jika kemudian terdapat suatu petuah lama yang berbunyi: Jagongan, nyawiji ning rasa, ngunduh kangen, lan migunani kanggo kabeh.