Hampir setiap malam Jum’at selama tiga minggu terakhir, pengurus masjid di kampung saya selalu mendiskusikan pertanyaan di atas, “Apakah besok masjid kita akan menyelenggarakan salat Jum’at atau tidak.?” Kampung yang saya maksud di sini adalah Baso, Agam, Sumatera Barat. Laporan terakhir dari pihak berwenang di Sumatera Barat ada sekitar 28 orang yang sudah positif terpapar virus Corona.
Saya bisa memahami bagaimana simpang-siurnya masalah ini di setiap daerah. Hal ini dilatarbelakangi oleh beragamanya opini masyarakat, para pendakwah yang tidak satu suara dalam merespon masalah Covid-19. Begitu juga dengan aturan pemerintah yang kurang tegas dalam memberikan instruksi terkait pencegan Corona terhadap masyarakat, khususnya yang berada di daerah.
Sejauh ini dan seterusnya, sampai wabah ini berlalu, saya sependapat dengan ulama yang mendahulukan kemaslahatan jiwa masyarakat dibanding kemaslahatan agama, yaitu dengan meniadakan shalat Jum’at untuk sementara dan menggantinya dengan shalat Dzuhur. Begitu juga dengan shalat Berjamaah di masjid, sementara diganti dengan berjamaah di rumah masing-masing.
Ini didasarkan pada beberapa argumentasi:
Pertama, mafsadat virus ini sudah nyata, bukan lagi mauhumah (samar/tidak nyata) sebagaimana yang disuarakan oleh sebagian pendapat.
Kedua, kepastian mafsadah di sini berdasarkan keterangan dari ahli kesehatan, kajian para ulama yang kompeten di bidangnya, serta fakta di lapangan dengan terus bertambahnya korban di seluruh daerah.
Ketiga, tidak adanya jaminan keamanan untuk masyarakat dari virus ini, sekalipun mereka berada di zona kuning atau hijau sekalipun, karena sifat virus yang kasat mata dan sulit dideteksi, sementara alat penditeksinya sangat minim.
Keempat, banyaknya oknum perantau yang pulang ke daerah masing-masing, tanpa tahu dengan kondisi diri mereka apakah terbebas dari virus tersebut atau justru membawanya pulang.
Kelima, tidak rusaknya agama orang yang tidak shalat Jum’at sebanyak tiga kali ataupun lebih jika alasannya karena takut terpapar dengan virus ataupun khawatir akan menularkannya kepada orang lain.
Keenam, tidak berkurangnya pahala orang yang tidak shalat Jamaah di masjid di masa wabah ini, karena mereka tidak shalat jamaah lantaran uzur syar’i yang dibenarkan oleh syariat, bukan uzur yang dibuat-buat.
Salah satu amalan sosial yang perlu kita galakkan di masa-masa musibah ini adalah bagaimana kita bersama-sama bersatu melawan wabah ini dengan saling membantu sesama dalam hal-hal yg mungkin kita lakukan sebatas kapasitas diri, bisa dengan materi, ide, gagasan, ataupun hal-hal positif lainnya. Semoga pilihan ini Allah SWT ridhai dan musibah ini cepat berlalu agar kita bisa hidup normal seperti biasa kembali. Amiin ya Rabbal ‘Alamin.