Menjelang menit-menit akhir Pilpres, sejumlah dai merapatkan barisan ke salah satu kandidat Capres-Cawapres. Menyusul Ustaz Abdus Shomad (UAS), Ustaz Adi Hidayat (UAH) menyatakan dirinya mendukung Prabowo. Sejurus kemudian, Abdullah Gymnastiar (Aa’ Gym) juga menyatakan hal yang sama.
Lain UAS lain pula UAH. Jika UAS merapat dengan dua syarat (jangan panggil saya ke istana dan jangan beri saya jabatan), sementara UAH memberi dua maklumat kepada Prabowo bila memenangi Pemilu.
UAH mengatakan, jika Prabowo jadi dan membuat maslahat yang baik, maka ia akan menjadi orang pertama yang bersaksi di hadapan Allah di hari kiamat dan akan menggandeng tangan Prabowo ke surga.
“Tapi kalau Bapak (Prabowo) mengkhianati amanah kepemimpinan, maka saya akan jadi orang pertama di hadapan Allah yang bersaksi atas kecurangan Bapak, dan saya mohon akan dilipatgandakan siksa Bapak di neraka, bertakwalah kepada Allah. Saya akan berdoa siang-malam dalam sujud saya,” lanjut dia.
Adapun Aa’ Gym, hanya menyampaikan tiga pesan ke Prabowo-Sandiaga. Seperti dikutip detikcom (13/04/2019), Direktur Materi dan Debat BPN Sudirman Said menyatakan bahwa pesan Aa Gym ke Prabowo-Sandi adalah jaga agar Pancasila dilaksanakan secara kuat, terutama kehidupan beragama, berantas korupsi, dan bangun teladan bagi generasi muda.
Memang, dukungan demi dukungan dari para agamawan ini memiliki arti tersendiri, baik dari sisi politik maupun bagi masyarakat Indonesia, khusunya umat Islam. Itulah mengapa sejak awal sekali pendaftaran Capres-Cawapres, Paslon Prabowo-Sandi di-branding sedemikian rupa sebagai seolah-olah representasi umat Islam melalui legitimasi “ijtimak ulama”.
Sementara tidak tanggung-tanggung, menyadari betapa signifikannya pengaruh agamawan ini, Jokowi, sebagai kandidat petahana, menghendaki legitimasi ulama melalui KH Ma’ruf Amin—yang saat itu mejabat ketua MUI—sebagai Cawapresnya.
Gayung bersambut, beberapa tokoh ulama senior seperti Habib Luthfi bin Yahya (Pekalongan), Kiai Maimoen Zubair (Rembang), dan dai-dai idola para milenial seperti Ustaz Yusuf Mansur, Prof. Nadirsyah Hosen, Haddad Alwi, dan sebagainya melabuhkan dukungan kepada Paslon Jokowi-Ma’ruf.
Melihat kenyataan ini, umat Islam mestinya bersyukur sebab hingga hari ini figur ulama sebagai representasi umat Islam memiliki daya tawar yang cukup signifikan dalam pergumulan politik nasional. Artinya, siapapun Presidennya, eksistensi ulama tetap diakui sebagai—dalam istilah jawa—pandito yang tetap mengawal proses berbangsa dan bernegara, baik secara langsung maupun tidak.
Hanya saja, memang, antara ulama satu dengan ulama lain memiliki perbedaan tafsir. Dan ini pun biasa. Dengan kata lain, perbedaan ini bukan untuk diperuncing. Sebaliknya, ia ada sebagai khazanah pemikiran.Tapi kan, orang awam jadi bingung.
Benar. Tapi buru-buru juga harus kita sadari, bahwa apa yang terjadi saat ini jauh lebih mending ketimbang situasi genting di mana perbedaan tafsir atau pandangan keagamaan bisa berujung pada hilangnya nyawa.
Bayangkan, betapa pilunya Imam Syafi’i hanya gara-gara mengimani kalau Alquran itu Qadim dan bukan Makhluq sehingga mengalami tekanan—dalam arti sebenarnya—dari penguasa sampai-sampai merasa perlu untuk hengkang dari Irak ke Mesir. Padahal, pemimpinnya saat itu pun, konon, beragama Islam dan berkuasa dalam sebuah sistem yang diklaim segelintir orang sebagai sistem islami pula.
Bayangkan pula, betapa gentingnya saat-saat di mana politik Islam mengalami keterpurukan sepanjang sejarah Indonesia di bawah rezim Soeharto. Ya, sejak Orde Baru menjadi penguasa, seperti dicatat Zuly Qadir (2016), kondisi umat Islam bahkan tidak semeriah hari ini, bahkan saat itu sampai pada level peminggiran hak-hak politik Islam, termasuk peranannnya di ruang publik.
Di titik inilah kiranya klaim-klaim tentang penindasan umat Islam, Islam sedang disdutkan, bahkan kriminalisasi ulama sebagaimana yang sering dihingar-bingarkan belakangan ini justru kelihatan cupu.
Maka, dengan merapatnya sebagian agamawan ke 01 dan sebagian lainnya ke 02 sekurang-kurangnya menandakan bahwa perhatian para ulama dalam mengawal proses berbangsa dan bernegara tetap konsisten sejak dulu.
Yah, meskipun definisi dan kualifikasi ulama itu sendiri juga belum dibakukan dalam sebuah SK formal. Dan memang sebaiknya jangan sampai.
Tapi kalau untuk sekelas UAS, UAH, Aa’ Gym, dan Yusuf Mansur masih mendingan-lah untuk disebut ulama, karena memang mereka punya kapasitas bekal ilmu yang siap diuji keulamaannya. Apalagi seteras Habib Luthfi dan Kiai Maimoen Zubeir dengan jam terbang yang tidak diragukan lagi.
Jadi, buat apa kita baku-tagar mencibir para ulama yang beda preferensi politik? Merasa punya peluang lebih besar masuk surga? Yaa ayuhal netizen, beda ulama itu boleh, kalau goblok jangan!!