Salah satu karunia besar yang diberikan Allah kepada bangsa Indonesia adalah karunia kebebasan. Kita perlu merawat dan mensyukuri kebebasan itu dengan penuh tanggung jawab.
Setiap warga Indonesia, termasuk umat Muslim, bisa hidup tenang dengan menghirup udara bebas, aman dan damai, tanpa dilanda situasi perang. Situasi ini adalah buah perjuangan rakyat Indonesia dalam menegakkan demokrasi, menggantikan sistem pemerintahan otoritarianisme pada reformasi 1998, dua puluh tahun lalu.
Dengan memilih demokrasi, setiap kelompok atau individu memiliki peluang yang sama untuk dipilih sebagai pemegang kekuasaan negara. Antar lembaga (eksekutif, legislatif, yudikatif, pers) bisa saling mengontrol, sehingga tidak ada kekuasaan yang dijalankan secara absolut atau sewenang-wenang.
Sudah dua puluh tahun sejak reformasi, Indonesia telah membuktikan dirinya sebagai negara demokrasi ketiga dengan berpenduduk muslim terbesar di dunia.
Lalu apa hakikat menjadi makhluk Allah yang merdeka di alam demokrasi ini?
Di dunia, manusia memiliki dua predikat, yakni sebagai khalifatullah dan sebagai hamba Allah (abdullah). Sebagai khilafah Allah, manusia adalah mahluk yang memiliki kemerdekaan dan kebebasan dalam hidupnya. Ia diberi kebebasan untuk mengatur hidupnya sesuai dengan cita-cita dan aspirasinya.
Sebagai imbangan dari kemerdekaan dan kebebasan yang dimiliki, manusia bertanggung jawab untuk mengatur kehidupannya sebagai individu dan sebagai ummat. Bagaimana kualitas kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun sebagai ummat bergantung kepada kreativitas dan tanggung jawab mereka sebagai khalifatullah.
Sedangkan sebagai hamba (abdun), manusia adalah makhluk yang kecil, lemah dan tidak merdeka. Manusia dibatasi umurnya, dibatasi kemampuannya, dibatasi ruang geraknya. Pokonya sebagai mahluk yang memiliki banyak keterbatasan.
Sudah menjadi kodrat kehidupan, meski manusia memiliki kesamaan martabat sebagai manusia, tetapi ada yang lemah daya fikirnya. Ada yang cerdas luar biasa tetapi fisiknya lemah. Ada yang kuat dalam bidang satu tetapi lemah dalam bidang yang lain, begitu seterusnya.
Allah menciptakan manusia berjenis lelaki dan perempuan, dan menjadikan mereka berbeda-beda suku, bangsa dan budaya. Perbedaaan itu dimaksud agar mereka saling mengenal dan saling memberi manfaat di antara mereka (lita’arafu).
Tetapi meski manusia meiliki keragaman, di hadapan Tuhan mereka memiliki martabat kemanusiaan yang sama. Allah tidak melihat cantiknya rupa, hitam putihnya warna kulit dan besar kecilnya tubuh manusia, tetapi hati dan jiwanyalah yang dilihat oleh-Nya. Di depan Tuhan, manusia yang paling mulia adalah yang paling bertaqwa. Inna akramakum ‘indallahi atqakum. Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain, khoirunnas anfa’uhum linnas.
Berangkat dari realita adanya perbedaan itu, Allah memberi petunjuk agar dalam kehidupan itu, yang muda menghormati yang tua, yang tua menyayangi yang muda, dan yang kuat membantu yang lemah. Dari prinsip itulah maka lahir etika pergaulan, etika ekonomi, dan etika politik.
Orang yang menduduki jabatan sebagai penguasa politik (umara’) dibebani amanah kewajiban untuk melindungi hak-hak masyarakat umum; jiwa mereka, harta mereka, akal mereka, keyakinan mereka, dan kesucian keturunan mereka, yakni apa yang dalam ilmu fiqih disebut al-kulliyat al khoms. Negara harus menjamin rasa aman, peluang usaha, kebebasan berpendapat, kebebasan menjalankan agama dan kesucian pergaulan rakyatnya.
Kekuasaan kenegaraan sering menggoda untuk berlaku tidak adil, oleh karena itu kepada pemimpin yang menjalankan kepemimpinannya secara adil (imamun ‘adilun) Allah menempatkan mereka sebagai manusia utama, terutama di akhirat nanti, sebagaimana yang dijanjikan oleh Rasul.
Sebagai imbangan dari kekuasaan negara, rakyat atau masyarakat umum, disamping wajib mematuhi imam, juga memiliki hak dan bahkan kewajiban untuk mengawasi dan menegur penyelenggaraan kekuasaan, agar tidak terjadi penyimpangan, sebagai wujud dari amar ma’ruf nahi munkar.
Jika keseimbangan berlangsung antara kewajiban dan hak, maka akan berlangsung kehidupan yang bersih dan indah, kehidupan individual maupun kehidupan masyarakat, bahkan kehidupan berbangsa. Sebaliknya, jika kekuasaan terlalu kuat tanpa tersentuh pengawasan masyarakat, atau kekuasaan tidak efektif sementara kontrol masyarakat melampui batas, maka yang terjadi adalah pembusukan, baik pembusukan politik atau ekonomi, yang dampaknya akan meluas menjadi pembusukan moral dan sosial.
Jika ketidakseimbangan itu berlangsung lama, maka masyarakat tidak lagi memiliki kenyamanan hidup, karena atmosfir kehidupan sudah tercemar oleh berbagai kebusukan. Uang mengatur kekuasaan, yang kuat menindas yang lemah, kebatilan (yang terorganisir) mengalahkan suara kebenaran (yang hanya sayup-sayup), keadilan tertintas oleh kedzaliman, dan anarki terjadi di mana-mana.
Oleh karena itu, kenali hak-tanggung jawab kita masing-masing. Maksimalkan peran dan profesi kita untuk berkreasi menciptakan perubahan hidup di berbagai bidang: perekonomian dan pelayanan publik (terutama pendidikan dan kesehatan). Jangan mudah terseret arus perburuan kekuasaan yang membuat pertikaian antara kelompok.
Buang jauh-jauh ilusi bahwa umat Islam tertindas. Kita, umat muslim sudah lama hidup aman-tenteram, merdeka di sini. Tingggal bagaimana tanggung jawab kita meningkatkan taraf hidup bersama saudara kita yang lain, sesama khalifatullah memajukan bangsa ini.