Pada tahun 2015 saya pernah menghadiri kampanye khilafah yang diselenggarakan oleh partai terlarang Hizbut Tahrir Indonesia di stadion Mandala Krida, Yogyakarta. Pada saat itu terdapat ribuan orang yang mengisi tribun penonton stadion. Ada yang usia anak, remaja, dewasa, hingga kakek nenek.
Salah satu adegan kolosal yang ditampilkan adalah ketika ada seseorang berjubah putih menunggangi kuda masuk ke tengah lapangan. Kami diminta untuk takbir berkali-kali. Dari pengeras suara, disebut bahwa Indonesia adalah negara muslim terbesar yang semestinya menjadi penggerak kemajuan dunia Islam dalam naungan khilafah al-islamiyah ‘ala manhaj an-nubuwwah.
Khi…la…fah. Khi…la…fah. Beberapa kali pengeras suara mengajak hadirin untuk meneriakkan kata-kata itu. Sesekali kami membuat gelombang dengan berurutan berdiri dari satu sudut menuju sudut lainnya. Suasananya mirip dengan kerumunan suporter bola yang mendukung tim pujaannya.
Tahun 2015 inilah saya banyak menelaah literatur tentang khilafah, baik dari buku saku yang saya beli ketika kampanye itu, juga buletin Al-Islam yang selalu terbit di masjid-masjid setiap hari Jumat. Bagi saya yang belajar ilmu komunikasi, mengamati strategi yang dilakukan partai HTI memang sangat baik. Mereka hadir di setiap sendi kehidupan dan menawarkan sebuah solusi yang bagi sebagian awam sangat menggiurkan. Khilafah dianggap sebagai solusi setiap permasalahan. Apa pun masalahnya, khilafah solusinya.
Kampanye partai ini selalu mengikuti tren yang sedang berkembang. Ketika ada kasus korupsi, mereka akan membahas mengapa korupsi terjadi dan mengakhiri dengan solusi bernama khilafah. Ketika ada banjir, mereka akan mengaitkan dengan sistem demokrasi yang kufur. Intinya, demokrasi adalah penyebab semua keburukan terjadi dan hanya khilafah yang menjadi obat mujarab. Bahwa sumber dari segala sumber adalah sistem pengelolaan negara. Menghadapi bahaya HIV/Aids, khilafah solusinya. Jomblo?
Bagi saya yang awam tentang politik, membaca konsep khilafah ala partai HTI tentu menakjubkan. Luar biasa. Begitu rigid-nya para intelektual HTI dalam merumuskan ajaran-ajaran dari Taqiyuddin An-Nabhani lengkap dengan dalil-dalil dari berbagai literatur rujukan. Karenanya hampir di setiap aksi yang terkait dengan kehidupan bernegara, HTI selalu hadir menjawab dengan satu kata sakti: khilafah.
Lalu, siapa nanti khalifahnya? Ya ndak tahu. Pokoknya khilafah dulu. Kan bisa saja nanti berbaiat pada Permadi Arya Abu Janda, Felix Siaw, atau Maher. Atau malah ketiganya sekaligus, membentuk model pemerintahan dengan tiga kepala negara. “Memangnya zaman Nabi ada tiga kepala negara?”. Lha, zaman Nabi kan beda dengan khilafahnya HTI. Jadi bisa aja dimodifikasi, dong.
Partai itu fana, khilafah abadi. Mungkin ini slogan yang dirujuk oleh para kader HTI. Setelah resmi dibubarkan oleh pemerintah dan dicap sebagai partai terlarang, paham khilafah masih nyaring dibunyikan. Baru-baru ini kasus Uighur disuarakan lantang oleh kelompok ini, baik di media sosial atau aksi jalanan. Tak lupa solusi yang ditawarkan untuk menyelesaikan persoalan di sana, yaitu: khilafah.
Partai HTI diuntungkan dengan label Islam yang selalu mereka jual sejak awal menjadi partai. Karenanya, meski kini memiliki status yang sama dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), atribut HTI masih bebas untuk ditampilkan. Aparat keamanan pun tampaknya berhitung karena melarang atribut HTI bisa di-framing melarang umat Islam mengekspresikan simbolnya.
Padahal simbol-simbol yang dipakai oleh HTI banyak dilarang oleh negara-negara Islam di Timur Tengah, tempat di mana Islam mulanya hadir. Di Arab Saudi, jika mengibarkan bendera hitam dan putih HTI bisa dikenai tuduhan terlibat ekstremis. Kasus salah seorang WNI yang di rumahnya ditempeli bendera hitam beberapa waktu yang lalu menjadi contoh bagaimana negara muslim seperti Arab Saudi tidak mengakui simbol HTI sebagai simbol umat Islam secara umum. Mereka bahkan mengategorikan dengan gerakan ekstremis yang menjadi biang kekacauan di berbagai negara Timur Tengah seperti Irak dan Suriah.
Tetapi tidak apa. Setidaknya HTI punya tawaran untuk perbaikan di berbagai bidang. Karenanya, ketika melihat Risma, walikota Surabaya kesusahan mengamanlan arus lalu lintas, saya kepikiran untuk memberi saran Bu Risma. Bahwa persoalan kemacetan bukan karena meningkatnya volume kendaraan yang tidak didukung dengan ruas jalan yang terasa semakin menyempit. Makanya percuma saja kalau diatur sedemikian rupa. Apalagi Bu Risma sedang sakit.
Bahwa persoalan kemacetan adalah persoalan akhlak dan sistem demokrasi yang kufur. Perbaikan sistem negara adalah koentji yang lebih serbaguna daripada kunci Inggris dalam menghadapi segala tantangan zaman.
“Lho, emangnya bisa ngubah kemacetan hanya karena berubah sistem negara?”
Ya memang enggak mungkin. Saya kan cuma nostalgia dengan peristiwa di tahun 2015 heuheuheu. (AN)