Hakikat dari shalawat adalah doa. Ini dipahami dari makna bahasa shalawat itu sendiri. Meskipun berati doa, shalawat biasanya diidentikan dengan Nabi Muhammad: doa khusus yang ditujukan untuk Nabi Muhammad SAW. Sebab itu, ulama berbeda pendapat mengenai kebolehan bershalawat kepada selain Nabi Muhammad. Misalnya, bershalawat kepada para sahabat atau para ulama.
Terkait persoalan ini ada tiga pendapat:
Pertama, shalawat dibolehkan untuk selain Nabi Muhammad. Karena pada hakikatnya shalawat itu doa dan doa tidak terbatas untuk nabi Muhammad saja. Dibolehkan berdoa untuk siapa saja, baik Nabi ataupun selain Nabi.
Kedua, shalawat hanya dikhususkan untuk para Nabi saja. Tidak sah shalawat kepada selain Nabi. Karenanya, tidak boleh mengatakan, “Allahumma sholli ‘ala al-Syafi’I”. Untuk para ulama biasanya digunakan kalimat rahimahullah setelah penyebutan namanya. Misalnya Imam al-Syafi’I rahimahullah (semoga Allah mengasihinya). Sementara untuk sahabat biasanya digunakan kalimat radhiyallahu ‘anhu (semoga Allah meridhainya).
Ketiga, shalawat dikhususkan untuk para Nabi saja. Akan tetapi dibolehkan bershalawat kepada selain Nabi dengan syarat menyebutkannya setelah Nabi dan tidak boleh berdiri sendiri. Misalnya kita mengatakan:
اللهم صل على محمد وآله وذريته وأتباعه المؤمنين
“Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa alihi wa dzurriyatihi wa atba’ihil mu’minin”
“Ya tuhan sampaikanlah shalawat untuk Nabi Muhammad, keluarganya, keturunannya, dan orang-orang beriman”
Bershalawat kepada selain Nabi Muhammad dibolehkan dengan syarat seperti contoh di atas. Jadi kita bershalawat untuk keluarga, keturunan, dan pengikut Nabi setelah menyebutkan namanya. Tapi kalau tidak didahului dengan nama Nabi Muhammad tidak dibolehkan.
Pendapat yang ketiga sebagai penengah dari dua pendapat sebelumnya. Artinya bershalawat kepada selain Nabi Muhammad dibolehkan dengan syarat sebelumnya disebutkan nama Nabi Muhammad.