Salah satu argumentasi yang menyebabkan kaum perempuan sulit untuk menjadi pemimpin dalam dunia politik adalah adanya Q.S al-Nisa’ ayat 34. Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa kaum laki-laki lebih tegak atas wanita. Sebab, Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena laki-laki telah memberikan nafkah dari hartanya.
<>
Atas dasar ayat inilah menimbulkan doktrin bahwa perempuan tidak berhak untuk menjadi pemimpin, dan yang pantas atau layak untuk menjadi sosok pemimpin hanyalah dari kaum laki-laki. Sehingga, hal ini menyebabkan kaum perempuan kesulitan untuk mendapatkan posisi dalam dunia politik.
Mengenai ayat tersebut di atas, Gus Dur (Alm) mengatakan bahwa, sebetulnya ayat itu dapat diartikan dua macam. Pertama, lelaki bertaggung jawab secara fisik atas keselamatan wanita. Kedua, lelaki lebih pantas menjadi pemimpin negara. Dan Gus Dur menambahkan, ternyata para pemimpin politik Islam lebih memilih pendapat yang kedua, terbukti dari ucapan mereka di muka umum.
Dari penafsiran tersebut, menunjukkan bahwa Gus Dur mengakui kalau laki-laki memiliki kekuatan fisik yang lebih daripada perempuan. Oleh sebab itu, laki-laki harus bertanggung jawab atas keselamatan fisik perempuan. Jadi, yang membedakan antara laki-laki dan perempuan hanyalah dari segi biologis. Sedang dalam segi psikologis, tidak ada perbedaan antara keduanya. Semuanya itu memiliki kekuatan yang sama secara psikologis.
Budaya Patriarki
Jika masih ada orang yang menganggap bahwa perempuan lebih rendah (lemah) daripada laki-laki, sehingga menyebabkan kaum perempuan tidak boleh menjadi pemimpin, itu menunjukkan bahwa mereka masih terbelenggu dengan budaya patriarki. Yaitu suatu budaya yang lebih mengedepankan atau mengistimewakan peran laki-laki di atas perempuan. Budaya ini menganggap bahwa kaum laki-laki memiliki keunggulan yang lebih dalam berbagai bidang dibanding perempuan. Budaya ini sudah melekat dalam paradigma masyarakat umum hingga saat ini. Dan, banyak juga kaum wanita yang “mengamini” adanya hal itu.
Untuk itu, kiranya perlu bagi kita untuk mengetahui dan mengetahui asbabun nuzul dari ayat tersebut. Harus diketahui, bahwa ayat itu turun dalam konteks masyarakat Arab pagan. Dulu, ketika pada zaman Jahiliyyah, kaum laki-lakilah yang berkewajiban untuk bekerja demi menafkahi keluarganya. Sedangkan wanita tidak boleh keluar untuk melakukan apapun tanpa izin dari lelakinya. Sebab, wanita zaman dulu dianggap sebagai golongan yang sangat lemah. Sehingga tidak bisa berbuat apa-apa kecuali untuk mengurusi kegiatan rumah tangga. Apalagi untuk menjadi seorang pemimpin. Jadi, yang paling berhak untuk menjadi pemimpin hanyalah dari kalangan laki-laki.
Namun, jika kita melihat realita yang terjadi saat ini, banyak dari kaum perempuan yang banting tulang untuk menafkahi keluarganya. Dan tidak sedikit pula kaum laki-laki yang mengurusi bagian rumah tangga, sedangkan istrinya yang bekerja. Keadaan ini jelas sangat bertolak dengan kondisi masyarkat Arab dahulu. Apabila masih ada masyarakat yang menganggap perempuan sebagai golongan yang lemah, maka mereka tidak jauh berbeda dengan masyarakat Arab Jahiliyyah. Dan yang pasti, ayat tersebut sangat mendiskreditkan eksistensi perempuan.
Keunggulan Perempuan
Diakui atau tidak, perempuan mempunyai keunggulan lebih yang tidak bisa dimiliki oleh kaum laki-laki. Anggapan Islam pada umumnya bahwa perempuan lebih lemah perlu dipertimbangkan lebih lanjut. Sebab, jika melihat kenyataan yang terjadi justru malah sebaliknya.
Sejarah mencatat bahwa banyak pemimpin hebat di dunia yang tidak berasal dari kaum laki-laki. Kita pasti kenal yang namanya Cleopatra, Corie Aquino, Margareth Theacher, Benazir Butho, dan jauh lebih hebat lagi yaitu Ratu Balqis yang bisa membawa kemakmuran bagi negaranya sehingga hampir menandingi kerajaan Nabi Sulaiman AS. Kehebatan Ratu Balqis telah diabadikan di dalam al-Qur’an. (baca: al-An’am: 23-44).
Selain itu, kita pasti juga kenal dengan istri Rasulullag SAW, yaitu Siti Aisyah. Beliau adalah salah satu muslimat yang paling meriwayatkan Hadit Nabi. Tingkat kecerdasannya diakui oleh para sahabat. Sehingga, banyak dari para sahabat yang sering meminta pendapat beliau ketika hendak memecahkan permasalahan.
Bahkan, dikisahkan juga bahwa Aisyah merupakan tokoh yang menjadi pemimpin pada saat perang Jamal (perang unta). Yaitu, perang antara golongan Ali bin Abi Thalib dengan kelompok Aisyah. Begitu besarnya keberanian tokoh perempuan itu sehingga mampu memimpin kelompoknya saat perang tersebut.
Dari berbagai penjelasan di atas, setidaknya dapat memberikan pandangan baru bahwa perempuan bukanlah golongan lemah sebagaimana anggapan masyarakat umum. Akan tetapi, perempuan sama halnya dengan laki-laki dalam hal keberanian, kecerdasan, dan juga kepemimpinan. Bahkan bisa saja mereka melebihi laki-laki. Jadi, pantas dan sah-sah saja jika perempuan menjadi seorang pemimpin.
Kepemimpinan
Salah satu Hadits Nabi yang sangat terkenal yaitu, “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan negara pada perempuan” (HR. Bukhari). Mayoritas ulama seperti Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, mengharamkan jika Khalifah dipegang oleh perempuan. Akhirnya, Hadits itu sudah menyebar luas di kalangan masyarakat tanpa mereka mengetahui asbabul wurudnya.
Perlu kita ketahui bahwa, Hadits itu muncul berkenaan dengan suatu peristiwa. Yaitu, saat Rasulullah berdakwah ke berbagai daerah, beliau pernah berkirim surat kepada para pembesar negeri lain untuk memeluk Islam. Salah satu di antaranya adalah Raja Kisra di Persia. Setelah menerima surat itu, Kisra merobek-robek surat Rasulullah tersebut. Inilah faktor yang menyebabkan Rasulullah marah sehingga beliau bersabda, “Siapa saja yang merobek-robek surat saya, maka diri dan kerajaan orang itu akan dirobek-robek”.
Dari Hadits di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa Rasulullah akan memusuhi siapa saja yang menentang risalahnya, baik laki-laki maupun perempuan. Selain itu, diceritakan bahwa Raja Kisra adalah raja yang jahat. Sehingga jika ia memimpin negara, maka akan membawa kehancuran bagi negaranya.
Jadi, kepemimpinan seorang pemimpin sangat menentukan baik buruknya suatu negara. Bukan suatu masalah jika negara dipegang oleh laki-laki maupun perempuan. Sebagaimana dikatakan oleh Aritoteles, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang jujur, cerdas, tegas, adil, bijaksana, serta takluk pada hukum. Dengan demikian, negara akan lebih mudah mencapai tujuannya. Maka dari itu, jika memang perempuan memiliki kualitas yang baik dan mumpuni, maka tidak ada larangan bagi mereka untuk maju menjadi seorang pemimpin.
*Bisa juga dibaca di sini