Bolehkah Non-Muslim Berkunjung Ke Masjidil Haram?

Bolehkah Non-Muslim Berkunjung Ke Masjidil Haram?

Saat ini non-muslim tak diijinkan mengunjungi Masjidil Haram. Bagaimana sebenarnya pandangan sejumlah ulama?

Bolehkah Non-Muslim Berkunjung Ke Masjidil Haram?

Saya tidak tahu jawaban yang lebih mendetail. Tapi bacaan saya terhadap karya seoarang ulama paling di hormati dari Mazhab Hanbali, Ibn Qudama, dalam kitabnya Al-Mughni cukup menarik. Kurang lebih kesimpulannya begini.

Ulama membagi dua wilayah berbeda, yakni wilayah Hijaz dan wilayah Al-Haram. Al-Hijaz biasanya mencakup wilayah Medina, Mekah, Al-Yamama, Khaibar, Yan’bu dan Fadak. Sementara Al-Haram hanya meliputi wilayah di pusat kota Mekah dan Medina dimana Ka’bah/Masjid Al-Haram dan Masjid Nabawi berdiri. Tapi memang batasan ini diperdebatakan. Wilayah itu diperluas menjadi hampir seluruh kota Mekah dan Medinah.

Menurut kesepakatan ulama, non-Muslims tidak diperbolehkan tinggal di baik wilayah Hijāz maupun Al-Haram. Imam Malik lebih ekstrim lagi: non-Muslim tidak diperbolehkan tinggal di seluruh tanah Arab. Selain Imam Malik, menariknya, Ulama membolehkan non-Muslim tinggal di pinggiran/perbatasan wilayah Hijaz seperti di Taima dan Faid.

Pertanyaannya: kalau hanya datang untuk berdagang, bisnis, atau kunjungan, apakah dibolehkan non-Muslim datang? Mayoritas ulama selain Imam Malik sepakat bahwa non-Muslim boleh datang untuk kunjungan dagang, bisnis, diplomasi dan lain-lain. Tetapi tidak boleh lebih dari tiga hari sesuai dengan preseden Umar Ibn Al-Khattab. Ulama lain seperti Al-Qadi, mengqiyaskan pada bolehnya qasar salat ketika dalam perjalanan, yakni selama empat hari. Keringanan untuk tinggal lebih dari tiga hari diperbolehkan jika saat kunjungan itu mereka jatuh sakit, atau terlilit hutang. Mereka boleh keluar Hijaz ketika telah sembuh atau hutangnya terbayar. Ulama tidak menentukan batasan berapa lama secara rinci.

Wilayah Al-Haram.

Bagaimana dengan wilayah Al-Haram? Ini yang menarik. Umumnya kita mengetahui aturan ini secara umum saja: non-Muslim dilarang tinggal atau berkunjung ke baik Hijaz ataupun Al-Haram. Padahal pendapat ulama tidak sesederhana itu.

Maliki, Al-Syafi’i dan Hanbali mengatakan bahwa non-Muslim, untuk alasan apapun, di larang berkunjung, apalagi tinggal, di wilayah Al-Haram.

Abu Hanifah, menariknya, mengatakan bahwa karena non-Muslim boleh berkunjung ke wilayah Hijāz, maka mereka juga diperbolehkan berkunjung ke Al-Haram. Bahkan non-Muslim menurut Abu Hanifa, boleh masuk ke Ka’bah dan Masjid Al-Haram. Yang tidak diperbilehkan, menurut Abu Hanifah, adalah tinggal dan menetap di wilayah Al-Haram, bukan kunjungan. Batas kunjungannya adalah selama 3 atau 4 hari, sama dengan batas kunjungan ke wilayah Hijāz.

Menarik, bukan? Lebih menarik lagi kalau kawan-kawan bisa meneliti apakah dalam praktiknya non-Muslim pernah diperbolehkan sekedar berkunjung ke Al-Haram, terutama saat wilayah itu berada di bawah kekuasaan Turki Usmani yang bermadzhab Hanafi. Memang ada beberapa laporan yang mengatakan bahwa ketika di bawah Kekhalifahan Turki Usmani, selama bukan penganut Politheist atau penyembah berhala, non-Muslim diperbolehkan karena mereka dianggap sebagai bagian dari kaum beriman. Saya, atau anda harus meneliti lagi tentang ini. Mungkin ini bisa jadi satu bahan disertasi tersendiri.

Bayangkan kalau non-Muslim, mengikuti pendapat Abu Hanifah, diperbolehkan datang berkunjung ke Al-Haram. Kota yang sudah sangat ramai dikunjungi itu akan semakin padat.

Tapi rasa penasaran jutaan orang non-Muslim untuk sekedar melihat secara langsung kota Mekah, mestinya terobati. Orang seperti Snouck Hurgronje tidak perlu pura-pura disunat hanya untuk datang ke Mekah. Jika kita boleh datang ke Capel Sistina di Vatikan, kenapa berkunjung ke Mekah tidak diperbolehkan? Mungkinkah suatu saat Mekah menjadi pusat spiritualitas umat manusia secara umum, bukan hanya umat Islam?

Jangan marah, saya hanya ingin mengajak anda berfikir dan membaca lagi warisan kekayaan yang selama ini melapuk di gudang peradaban kita!

Catatan: untuk rujukan, silahkan buka Kitāb Al-Mughni Juz 13, hal. 240-246.

 

*) Zezen Zainal Mutaqin, kandidat PhD di jurusan hukum UCLA, Los Angeles, Amerikat Serikat.