Shalat adalah ibadah yang hukumnya fardhu ain dan tidak boleh ditinggalkan dengan alasan apa pun, kecuali bagi wanita yang sedang haid atau nifas. Berpergian atau macet bukanlah halangan yang dibenarkan syariat untuk meninggalkan shalat. Harus selalu diingat, meninggalkan shalat berbahaya bagi keimanan seorang muslim. Dalam QS Maryam ayat 59 disebutkan:
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ ۖ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan”
Di waktu-waktu tertentu, terutama jam berangkat atau pulang kerja, kota Jakarta terkenal dengan macetnya, sehingga jarak yang biasanya bisa ditempuh dengan 30 menit, bisa dilalui sampai dengan 2 jam perjalanan.
Dalam kondisi tersebut, diperbolehkan menjamak shalat walau sebenarnya belum masuk kategori masafatul qashri (jarak yang memperbolehkan untuk mengqashar shalat) atau musafir. Dalil yang memperbolehkannya adalah hadits berikut yang diriwayatkan oleh Muslim dari Ibnu ‘Abbas Ra:
جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ ، وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ ، بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا مَطَرٍ. قِيلَ لِابْنِ عَبَّاسٍ : مَا أَرَادَ إِلَى ذَلِكَ ؟ قَالَ : أَرَادَ أَنْ لَا يُحْرِجَ أُمَّتَهُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjamak shalat Dzuhur dan ‘Ashar, juga Maghrib dan ‘Isya di Madinah, bukan karena rasa takut dan bukan pula karena hujan.” Ada yang bertanya pada Ibnu ‘Abbas, “Apa yang diinginkan beliau melakukan seperti itu?” Jawab Ibnu ‘Abbas, “Beliau tidak ingin umatnya itu mendapat kesulitan.” (HR. Muslim no. 705).
Dalam Kitab Bughyatul Mustarsyidin, Sayyid Abdurrahman bin Muhammad al-Hadramy menyebutkan bahwa boleh menjamak shalat bagi orang yang menempuh perjalanan singkat. Pendapat ini juga dipilih oleh Syekh al-Bindanniji. Sebuah hadis dengan jelas memperbolehkan melakukan shalat jamak bagi orang yang bukan musafir sebagaimana yang tercantum dalam Syarah Muslim.
Menjamak shalat karena macet pun dihukumi sama dengan shalat lainnya. Shalat Zuhur dikerjakan pada shalat Ashar atau sebaliknya, dan shalat Maghrib dengan shalat Isya. Jika shalatnya bisa dijamak, maka boleh memilih untuk menunaikan shalat dengan jamak takdim atau jamak takhir.
Contoh dari hal ini adalah ketika terkena macet saat waktu Maghrib dan waktu tersebut sangat mepet, maka kita boleh melakukan shalat Maghrib tersebut dijamak dengan shalat Isya. Artinya, shalat Maghrib diakhirkan ke waktu kedua, yaitu saat waktu Isya.
Dalam Islam diperbolehkan menjamak shalat ketika macet. Namun hal itu dengan catatan tidak dijadikan sebagai kebiasaaan. Sebisa mungkin seorang Muslim menunaikan shalat ketika sudah masuk pada waktunya. Sebagaimana firman Allah:
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”. (QS. an-Nisa:103)
Dalam kitab Kifayatur Akhyar, as-Subki juga memaparkan demikian:
قال النووي: القول بجواز الجمع بالمرض ظاهر مختار، فقد ثبت في صحيح مسلم أن النبي صلى الله عليه وسلم {جمع بالمدينة من غير خوف ولا مطر} قال الاسنائي: وما اختاره النووي نص الشافعي في مختصر المزني ويؤيده المعنى أيضاً فإن المرض يجوز الفطر كالسفر فالجمع أولى بل ذهب جماعة من العلماء إلى جواز الجمع في الحضر للحاجة لمن لا يتخذه عادة وبه
“Imam Nawawi pendapat yang membolehkan jamak shalat bagi orang sakit, sudah jelas jadi pilihan yang tepat. Dalam shahih Muslim, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamak shalat di Madinah bukan karena kondisi terganggunya keamanan, hujan lebat, dan bukan pula karena sakit. Menurut Imam Asna’i, pilihan Imam Nawawi didasarkan pada pendapat Imam Syafi‘i yang tercantum dalam kitab Mukhtasar Imam Muzanni.
Pendapat ini diperkuat oleh sebuah perbandingan di mana alasan sakit, layaknya perjalanan jauh, menjadi alasan sah untuk membatalkan puasa. Kalau puasa saja boleh dibatalkan, maka menjamak shalat tentu dibolehkan. Bahkan sekelompok ulama membolehkan jamak bagi hadirin (orang mukim, yang tidak ber-safar) untuk sebuah hajat. Dengan catatan, ini tidak menjadi sebuah kebiasaan.
Tulisan ini pernah dimuat di Bincangsyariah.com