Beberapa masjid mungkin menerapkan aturan berpakaian bagi pengunjungnya. Di negeri kita sendiri, kita dapat menemukan beberapa masjid yang diberi tanda “kawasan wajib berbusana muslim”. Peraturan seperti ini tentu dibuat dengan maksud yang baik, yaitu agar pengunjungnya berpenampilan sopan dan menjaga adab ketika memasuki rumah ibadah. Namun, jika peraturan yang demikian itu dilanggar, bagaimanakah sikap yang sebaiknya dilakukan pengurus masjid? Kita tahu bahwa di negeri kita tidak semua muslimah menutup auratnya. Bolehkah kita melarang perempuan yang tak berhijab memasuki masjid?
Pertama, secara umum perlu dipahami bahwa Rasulullah SAW melarang siapa saja untuk mencegah perempuan pergi ke masjid. Hal ini dapat kita ketahui dari sabda beliau,
لَا تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللَّهِ مَسَاجِدَ اللَّهِ، وَلَكِنْ لِيَخْرُجْنَ وَهُنَّ تَفِلاَتٌ
“Janganlah kamu melarang hamba-hamba Allah dari kalangan wanita untuk pergi ke masjid-masjid Allah, tetapi mereka boleh keluar dalam keadaan tidak memakai wangi-wangian.” (H.R. Abu Dawud)
Hadis tersebut melarang kita untuk menghalangi perempuan memasuki masjid. Tentu terdapat pengecualian bagi yang sedang haid atau bagi perempuan yang memakai wewangian secara berlebihan.
Lalu, bagaimana menyikapi perempuan yang tidak menutup auratnya, perempuan yang tak berhijab, misalnya? Terkait dengan hal ini, kita dapat melihat bagaimana sikap Rasulullah SAW dari hadis berikut.
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ: أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُوْرِ، فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلاَةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِيْنَ. قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِحْدَانَا لاَ يَكُوْنُ لَهَا جِلْبَابٌ؟ قَالَ: لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا
Dari Ummu ‘Athiyyah, ia mengatakan, “Rasulullah SAW memerintahkan kami untuk mengajak kaum perempuan keluar pada Idul Fitri dan Idul Adha, yaitu gadis-gadis, perempuan yang haid, dan para perempuan yang dipingit. Adapun perempuan haid, maka dia menjauhi tempat shalat dan ikut menyaksikan kebaikan dan dakwah muslimin. Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab’. Nabi menjawab, ‘Hendaknya saudaranya meminjamkan jilbabnya.’” (H.R. Bukhari)
Hadis di atas sebenarnya menunjukkan sikap bijak Rasulullah SAW. Perempuan yang tidak memiliki jilbab tidaklah beliau larang untuk ikut berhari raya, tetapi beliau meminta agar perempuan lain meminjamkan jilbabnya. Jika kita terapkan hadis ini dalam konteks masa kini, maka pengurus masjid hendaknya tidak serta-merta mengusir perempuan yang tidak berhijab, tetapi memberikan kerudung atau pakaian penutup aurat untuk dia kenakan ketika berada di dalam masjid.
Hendaknya pengurus masjid berprasangka baik. Boleh jadi perempuan itu memang tidak mempunyai kerudung, boleh jadi perempuan itu seorang mualaf, boleh jadi pula perempuan itu baru belajar agama Islam dan belum tahu apa-apa tentang kewajiban menutup aurat.
Mengusirnya dari masjid hanya akan membuatnya sakit hati dan menjauh dari rumah Allah, bahkan mungkin menjauhi agamanya sendiri. Jika perempuan itu malah semakin menjauh dari Allah karena perilaku pengurus masjid tersebut, apakah pengurus masjid itu mau bertanggung jawab atas akibat dari sikapnya? Bagaimanapun, mendakwahkan ajaran agama ini haruslah dilandasi dengan sikap yang arif karena Al-Qur’an sendiri menyebutkan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama.
Saya jadi teringat akan cerita guru saya yang beragama Nasrani ketika pergi ke Eropa. Di beberapa gereja di Eropa, setiap kali kebaktian, pengurus gereja membagi-bagikan selendang kepada perempuan-perempuan yang berpakaian minim (seperti rok mini atau baju tak berlengan) agar mereka dapat menutupi tubuh mereka dengan selendang itu. Jika umat Nasrani dapat bersikap penuh belas kasih seperti itu, mengapa umat Islam tidak bisa? (AN)
Wallahu a’lam.