Setiap manusia tentu memiliki masa lalu, minimal satu detik di dalam hidupnya. Kalau sudah seperti ini, apalagi yang sudah berusia puluhan bahkan ratusan tahun, tentu ada masa lalu dalam hidup, baik yang kelam maupun yang membahagiakan. Bisa jadi masa lalu tersebut berkaitan dengan kejadian traumatik, penolakan, maupun kejadian yang selalu ingin untuk diulang dan dikenang. Bahkan masa lalu juga beberapa kali terlintas dalam ingatan meski hanya sekedar sosok idaman atau pun mengingat mantan.
Berbicara sosok idaman atau pun mantan, saya jadi ingin bertanya. Ukhti, apakah sebelum menikah ada sesosok yang pernah membersamai hari-harimu namun kini hanya menjadi sebuah kenangan? Lalu apakah pernah kenangan itu terlintas, padahal kini ukhti sudah memiliki sosok imam dalam pernikahan yang ukhti jalani?
Jika benar adanya, ketahuilah ukhti, kita memang tidak bisa mengontrol ingatan. Tetapi kita bisa merespon ingatan tersebut dengan respon yang tepat sebagaimana yang dijelaskan oleh Kiai Dr. Faqih Abdul Qodir dalam channel Youtube beliau.
Berdasarkan penuturan beliau, dalam perspektif Mubadalah, tidak apa jika tiba-tiba terlintas dalam benak kita terhadap kenangan masa lalu atau mengingat mantan. Hanya saja yang perlu dilakukan adalah merespon ingatan tersebut dengan bijak sebagaimana seperti hadis Nabi yang artinya, “Sesuatu yang tidak bisa kita kontrol tidak masalah, tetapi sesuatu yang bisa kita kontrol itu lah yang menjadi tanggung jawab kita”. (HR. Abu Daud)
Ukhti, yang tidak diperkenankan adalah ketika kita merespon ingatan atau penglihatan masa lalu tersebut dengan berimajinasi, menelfon, mencari barang-barang berharga di masa lalu, mengirim pesan, hingga melakukan tindakan yang destruktif atau bahkan sampai memudarkan dan mengancam relasi rumah tangga karena hal ini dapat melemahkan relasi dalam sebuah pernikahan dan harus diperbaiki.
Jika kenangan-kenangan dengan mantan ini terus saja terlintas dalam benak ukhti, baiknya ukhti perlu melihat faktor apa yang menyebabkan hal ini dapat terjadi? Apakah karena selalu melihat kekurangan dalam diri pasangan? Atau karena faktor komunikasi hingga ekonomi? Apabila hal ini terjadi pada pernikahan dan fikiran ukhti, maka untuk merespon kejadian ini dengan tepat, ikutilah ajaran dan saran Rasulullah yang sudah tertulis dalam Al-Qur’an.
Ukhti, almarhum eyang Habibie pernah berkata, “Masa lalumu milikmu, masa laluku milikku, tetapi kita pastikan masa depan milik kita.” Artinya seseorang yang telah memutuskan untuk menikah adalah salah satu tanda bahwa ia telah mampu untuk berkomitmen dan bertanggung jawab atas hal tersebut.
Pernikahan adalah sebuah amanah untuk setiap pasangan suami istri. Oleh karena itu ketika berkomitmen untuk menikah, maka harus bertanggung jawab dengan sepenuh hati salah satunya memperkuat relasi antar suami dan istri. Agar relasi dalam pernikahan senantiasa kuat dan terjaga, maka ikatan tersebut harus dijaga oleh keduanya, tidak hanya suami saja atau sebaliknya. Hal ini disebut dalam Al-Qur’an dengan istilah-istilah mitsaqon gholidzon (Q.S An-Nisa ayat 21).
Setelah relasi keduanya kuat, tentu ukhti sadar bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Oleh karena itu istilah lainnya pun dijelaskan dalam Al-Qur’an untuk selalu berfikir, bertindak, dan berusaha memperlakukan pasangannya dengan cara yang baik atau mu’asyarah bil ma’ruf (QS. An-Nisa ayat 19). Jika mengingat masa lalu karena sikap dan karakter pasangan, cobalah untuk tidak mengekspos kekurangan dengan pola pikir sebaliknya.
Tidak hanya berusaha untuk mencari sisi buruk pasangan, tetapi cobalah untuk menilai sisi baik pasangan. Jangan sampai membenci pasangan lantas mengenang mantan atau sosok idaman hanya karena satu masalah. Dr. Aidh Abdullah al-Qarni berkata dalam bukunya yang berjudul “Jadilah Wanita yang Paling Bahagia” menyebutkan, “Mengapa kita harus fokus pada satu titik tinta hitam yang menodai selembar kertas putih selagi di sana masih tersisa lebih banyak ruang?”
Al-Qur’an menyebutkan bahwa hunna libasun lakum wa antum libasun lahum (QS. Al-Baqarah ayat 187). Pasangan adalah pelindung bagi kita dan juga sebaliknya. Jika terjadi kasus “ingat mantan”, akan lebih baik jika saling bertindak dan berbuat baik, saling melayani dan berbakti, saling mencintai dan memberi sandaran, saling memberi apresiasi, hadiah dan melakukan kegiatan positif bersama-sama seperti berdzikir agar hati menjadi lebih tenang.
Terakhir ukhti, komunikasikanlah. Namun dalam mengomunikasikan hal ini, perlu juga pemilahan, mana yang harus didiskusikan, mana yang harus dimaafkan, mana yang harus diselesaikan saat itu juga serta mana yang harus ditunda menunggu situasi dan kondisi yang kondusif.
Dalam ilmu psikologi, seseorang berhak memiliki rahasia, termasuk mantan, atau mengingat mantan. Oleh karena itu, masa lalu atau fikiran apapun yang terlintas boleh jadi tidak bisa diceritakan 100% oleh pasangan. Hal ini disebutkan psikolog klinis anak, remaja, dan keluarga Roslina Verauli dalam channel Youtubenya.
Komunikasikanlah jika hal ini tidak berdampak menyulitkan atau membuat pasangan tidak nyaman dan merasa insecure di kemudian hari. Komunikasikanlah jika memang dengan cara ini akan membuat relasi pernikahan semakin kuat, intimate, bahagia dan saling membahagiakan. Tetapi jika kasus ini terjadi, yang paling utama dan bisa kita lakukan adalah meresponnya dengan tepat. (AN)