Masjid merupakan rumah Allah. Ia sebaik-baik tempat di permukaan bumi. Di mana ada tempat didirikan masjid, maka tempat itu menjadi tempat yang penuh barakah. Karena masid merpakan tempat yang suci, maka sangat dianjurkan ketika mendatanginya menggunakan pakaian yang suci. Bahkan diperkenankan memakai pakaian-pakaian yang terbaik saat mendatanginya.
Perempuan-perempuan yang haidh diharamkan masuk masjid. Bahkan orang dengan penyakit beser, namun dirinya masih diwajibkan untuk shalat, shalatnya dilarang dilakukan di masjid, khususnya bila tidak yakin bisa menjaga kesucian masjid akibat kotoran/najis yang dikeluarkannya. Termasuk yang memiliki hukum yang sama dengan orang yang beser, adalah perempuan istihadhah. Mereka semua dilarang duduk diam di masjid apabila tidak yakin bahwa dirinya bisa menjaga kesucian masjid.
Demi melihat berbagai hikmah dan hukum di atas, menandakan bahwa masjid adalah tempat yang suci. Tidak layak dan tidak patut baginya menerima sesuatu yang tidak suci pula atau bahkan haram. Selain menyalahi dasar masjid dibangun sebagai sebaik-baik tempat, juga tentu saja mengurangi keberkahannya. Bagaimana tidak mengurangi keberkahan, ruang yang seharusnya bisa diisi dengan barang-barang atau bahan yang berkah namun justru diisi dengan sesuatu yang haram. Ini logikanya. Masalah perincian dari sisi hukum fikih, sudah pasti memerlukan telaah lebih mendalam.
Dikisahkan, suatu ketika, di hari dibedahnya Kota Suci Mekah, Baginda Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إن الله حرم بيع الخمر والميتة والخنزير والأصنام. فقيل: يا رسول الله أرأيت شحوم الميتة، فإنه يطلى بها السفن، ويدهن بها الجلود، ويستصبح بها الناس؟ قال: لا، هو حرام
Artinya:
“Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala telah mengharamkan jual beli khamr, bangkai, celeng, dan patung. Kemudiian ada salah satu sahabat yang bertanya: ‘Ya Rasulallah. Tahukah tuan mengenai lemak bangkai? Sesungguhnya lemak itu sering diperuntukkan untuk menambal perahu. Demikian pula, kulitnya sering dijadikan bahan bakar lampu. Bolehkah masyarakat menggunakannya untuk penerangan?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: ‘Tidak boleh. Ia haram.” (HR. Imam Bukhari dan Muslim)
Syuhum adalah sejenis lemak. Umumnya masyarakat Arab kala itu sering menggunakannya sebagai bahan lem penambal perahu. Dan syuhum ini seringkali diambil dari bangkai hewan yang mati. Dimanfaatkan oleh para nelayan agar tidak perlu menyembelih hewan yang hidup guna menghasilkan lem.
Untuk peruntukan kulit bangkai sebagai bahan minyak penerangan, kalangan Hanafiyah dan Hanabilah menjelaskannya hukumnya tidak boleh dengan illat bahwa bangkai merupakan najis ainy (najis yang jelas). Berikut ini pernyataannya:
لا يجوز الاستصباح بها. وعللوا ذلك بأنه عين النجاسة وجزؤها
Artinya:
“Tidak boleh menggunakan bahan bakar penerangan dengan bangkai. Alasannya, bangkai merupakan najis aini dan juz dari bangkai.” (Fathu al-Bari, Juz 4, halaman 424, penerbit al-salafiyah).
Menurut kalangan Malikiyah, mereka berpendapat:
لا ينتفع بالنجس إلا شحم ميتة لدهن العجلات ونحوها. وذلك في غير مسجد، لا فيه
Artinya:
“Tidak boleh memanfaatkan barang najis kecuali lemak bangkai yang diperuntukkan untuk menambal perahu dan sejenisnya. Pemanfaatan ini dilarang khususnya untuk penerangan masjid. Tidak boleh memanfaatkan di dalamnya.” (Hasyiyah Al-Syibramulsy, Juz 2, halaman 272).
Menurut Kalangan Syafi’iyah, mereka berpendapat:
يحل مع الكراهة في غير المسجد الاستصباح بالدهن النجس
Artinya:
“Halal namun disertai dengan kemakruhan membuat penerangan pada selain masjid dengan bahan bakar yang terbuat dari najis.” (Hasyiyatu al-Dasuqy, Juz 1 halaman 60-61)
Semua keterangan ini kebetulan berhubungan dengan masalah najis dengan sumber keterangan yang sama. Hal yang disepakati adalah bahwa syuhum bangkai adalah najis. Dan barang najis hukumnya adalah haram dimanfaatkan untuk keperluan masjid. Jadi, ada dua illat yang mendasari di sini, yaitu najis dan haram.
Nah, berangkat dari sini, kita analogikan dengan bahan baku masjid yang dibeli dengan uang haram. Dengan mendasarkan diri pada illat keharaman syuhum al-maitah di atas, maka menyumbang masjid dari hasil jerih payah yang haram adalah haram juga. Misalnya sumbangan yang diperoleh dari hasil pencurian atau perjudian. Bagaimanapun Allah SWT telah menetapkan nash bahwa judi merupakan rijsun (najis) dan merupakan perbuatan syaithan.
Pencurian adalah bagian dari amalnya syaithan. Untuk itu, baik hasil pencurian maupun hasil perjudian, keduanya dapat ditetapkan sebagai yang haram pula diperuntukkan untuk masjid. Hal yang sama dapat kita qiyaskan untuk contoh hasil perbuatan lain yang ditetapkan keharamannya oleh nash.