Dalam Islam, melamar seorang perempuan untuk dinikahi disebut dengan khitbah. Islam sangat menganjurkan kepada seorang pria untuk melamar seorang perempuan terlebih dahulu sebelum dijadikan istrinya. Namun sebelum melamar seorang perempuan, sebaikanya perhatikan dulu apakah dia sedang tunangan dengan orang lain atau tidak. Jika belum tunangan, maka boleh dilamar. Tapi jika sudah tunangan dengan orang lain, maka hukumnya haram melamar perempuan tersebut.
Hal ini sebagaimana hadis riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah, dia berkata bahwa Nabi SAW bersabda;
لَا يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ وَلَا يَسُومُ عَلَى سَوْمِ أَخِيهِ
“Janganlah meminang wanita yang telah dipinang saudaranya, dan janganlah menawar barang yang telah ditawar saudaranya“
Dalam hadis ini, Nabi SAW tidak membenarkan tindakan melamar tunangan orang lain, apalagi mengganggunya. Melamar tunangan orang lain termasuk tindakan tercela. Selama perempuan masih menjadi tunangan orang lain, maka tidak berhak bagi laki-laki lain untuk melamarnya dengan alasan apapun.
Dalam hadis lain yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Ibnu Umar, dia berkata;
نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيعَ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَلَا يَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يَأْذَنَ لَهُ الْخَاطِبُ
“Nabi SAW telah melarang sebagian kalian untuk berjual beli atas jual beli saudaranya. Dan janganlah seseorang meminang atas pinangan yang lain hingga peminang sebelumnya meninggalkannya, atau ia telah diijinkan peminang sebelumnya.”
Bahkan menurut Imam Daud Dhahiri, tindakan melamar tunangan orang lain bukan hanya haram dan maksiat, tapi juga pernikahan dari hasil merampas tunangan orang lain tersebut rusak, wajib dibatalkan. Meskipun kebanyakan ulama berpendapat tidak rusak. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Almajmu berikut;
فلو خطب على خطبته ، وتزوج والحالة هذه عصى ، وصح النكاح ، ولم يفسخ . هذا مذهبنا ومذهب الجمهور . وقال داود : يفسخ النكاح
“Jika ada laki-laki melamar tunangan orang lain, kemudian berhasil menikah, maka dia telah berbuat maksiat. Nikahnya sah dan tidak rusak. Ini pendapat kami (ulama Syafiiyah) dan kebanyakan ulama. Namun Imam Daud berpendapat, nikahnya rusak.”