Sesaat setelah shalat, kita terkadang melihat beberapa orang yang bersujud terlebih dahulu sebelum meninggalkan mushalla/masjid. Tentu ini menjadi pertanyaan di benak kita. Sujud apa yang dilakukan oleh orang tersebut, dan bagaimana hukumnya?
Pada umumnya, memang sujud lebih dikenal sebagai salah satu bagian yang terdapat dalam rangkaian ibadah shalat, meskipun tidak menutup kemungkinan sujud dilakukan di luar shalat. Hanya saja praktik sujud memiliki ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi sehingga seseorang diperkenankan melakukannya.
Di dalam literatur fikih, sujud di luar salat hanya diperkenankan untuk dua alasan saja, yakni sujud syukur dan sujud tilawah. Dengan kata lain, jika tidak atas dasar dua alasan tersebut maka sujud di luar salat tidak diperbolehkan. Karena sujud adalah salah satu bentuk ibadah, sedangkan ibadah tidak boleh dilakukan atas dasar keinginan sendiri tanpa adanya tuntunan (tauqifi).
Sujud syukur dikerjakan ketika seseorang mendapatkan nikmat atau terhindar dari musibah, sementara sujud tilawah dilakukan ketika seseorang membaca atau mendengar orang lain membaca ayat sajdah. Sementara itu, mengenai hadis Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh at-Thabrani dalam Mu’jam al-Ausath dengan redaksi :
كَانَ شَابٌّ يَخْدِمُ النَّبِيَّ ﷺ وَيَخُفُّ فِيْ حَوَائِجِهِ فَقَالَ سَلْنِيْ حَاجَةً فَقَالَ أُدْعُ لِيْ بِالْجَنَّةِ قَالَ فَرَفَعَ رَأْسَهُ فَتَنَفَّسَ وَقَالَ نَعَمْ وَلَكِنْ أَعِنِّيْ بِكَثْرَةِ السُّجُوْد
“Nabi mengatakan kepada seorang pemuda yang berkhidmah kepada Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam dan meringankan kebutuhan-kebutuhan beliau : “Mintalah kepadaku suatu hajat” Pemuda itu lalu mengatakan : “Berdoalah untukku agar aku masuk surga”. Kemudian beliau mengangkat kepalanya lalu bernafas, beliau mengatakan : “Baiklah, namun bantulah aku dengan memperbanyak sujud.” (HR. al-Thabrani)
Al-‘Iraqi menjelaskan bahwa sujud yang dimaksud di dalam hadis tersebut bukanlah sujud yang dilakukan di luar shalat sebagaimana sujud syukur dan sujud tilawah, melainkan sujud yang dimaksud adalah sujud di dalam shalat. Artinya, Nabi memerintahkan anak muda tersebut untuk senantiasa memperbanyak melakukan shalat.
Terlepas dari dua alasan mengapa seseorang melakukan sujud di luar salat sebagaimana disebut di atas, mayoritas Ulama Syafi’iah dan Hanabilah menetapkan beberapa ketentuan yang harus dipenuhi oleh seseorang yang hendak melakukan sujud. Ketentuan-ketentuan ini sedikit banyaknya memiliki kesamaan dengan ketentuan yang ada dalam shalat. Adapun ketentuan yang dimaksud antara lain: suci dari hadas, menutup aurat, menghadap kiblat, takbirotul ihrom dan membaca salam.
Jika ketentuan tersebut tidak terpenuhi maka secara otomatis seseorang tidak diperkenankan melakukan sujud atau tidak sah sujudnya, bahkan haram jika ia sadar dan tahu bahwa itu tidak sah. Akan tetapi ada pendapat dari sebagian kecil madzhab Hanbali yang memperbolehkan sujud syukur dengan tanpa bersuci.
Sebagaimana menurut sebagian kecil madzhab Maliki sujud syukur boleh dilakukan dengan tanpa menutup aurat. Namun, larangan untuk melakukan sujud di luar salat selain sujud tilawah dan sujud syukur tersebut, apabila memang sujudnya bertujuan untuk melakukan ibadah. Sedangkan meletakkan kepala di atas bumi dengan tidak untuk tujuan ibadah atau taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah), semisal sekadar istirahat atau yang lain, maka hukumnya boleh. Dan karenanya tidak dinamakan sujud.
Kesimpulannya, sujud yang dilakukan di luar salat selain sujud tilawah dan sujud syukur hukumnya haram selama ia meniatkan sujud itu sebagai bentuk taqarrub atau ibadah. Sementara jika hal tersebut dilakukan dengan tanpa ada dua niat di atas, semisal sekadar meletakkan kepala di atas bumi, maka hal itu tidak dinamakan sujud dan hukumnya boleh.
Wallahu A’lam.
Artikel ini sebelumnya dimuat di majalahnabawi.com.