Intelektual Nahdlatul Ulama (NU) Prof. Nadirsyah Hosen, menyatakan bahwa NU sebagai organisasi tidak bisa memilih pasangan calon (paslon) hanya berdasarkan kepentingan tertentu, melainkan harus dilandasi argumentasi fikih yang kuat.
“NU tidak bisa memilih berdasarkan kepentingan dan perasaan,” ujarnya dalam podcast PutCast di kanal Youtube @mojokdotco yang ditayangkan pada Rabu (17/01) kemarin.
Sebelumnya, Gus Nadir, sapaan akrabnya, membeberkan bahwa dirinya mendengar kabar terkait pertemuan yang digelar oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Hotel Bumi, Surabaya.
Berdasarkan informasi yang telah ia konfirmasi kepada sejumlah kiai yang hadir, dikabarkan ada suatu ‘instruksi’ dari PBNU kepada seluruh jajaran kepengurusan hingga tingkat bawah untuk mendukung salah satu pasangan capres-cawapres.
“Dalam pertemuan itu, ternyata ada dawuh, instruksi, atau apa namanya, yang tidak tertulis, tapi menggerakkan struktur organisasi secara masif sampai ke bawah yaitu untuk mendukung calon 02,” ungkapnya.
Meskipun tidak resmi, menurut dosen Monash University Australia itu, adanya ‘instruksi’ tersebut menimbulkan keresahan lantaran sebelumnya PBNU telah mengikrarkan diri untuk tidak terlibat dalam politik praktis.
Selain itu, kabar adanya ‘instruksi’ tersebut menimbulkan pertanyaan, yaitu terkait landasan fikih yang digunakan sebelum memutuskan untuk melayangkan pilihan pada pasangan yang telah disebutkan.
“Jadi, waktu saya tanya beberapa kiai sepuh yang hadir pada pertemuan itu, mereka juga bilang, ‘kami juga tidak menemukan landasan fikihnya, mengapa harus mendukung 02?’,” paparnya. “Sementara yang 02 itu sama sekali tidak ada ‘bau-bau’ NU-nya, yang ada bau NU adalah 01 dan 03.”
Gus Nadir menjelaskan, ketiadaan dalil atau argumentasi fikih ini menyulitkan para Rais Syuriah di tingkat wilayah maupun cabang untuk menjelaskan kepada umat. Apalagi, pasangan yang bersangkutan tidak ada yang berlatar belakang NU satupun. Berbeda dengan dua pasangan lainnya.
“Di (paslon) 01 ada Cak Imin (Muhaimin Iskandar), dzuriyah dari pendiri NU, KH. Bisri Syansuri. (Di paslon 03) ada Prof. Mahfud MD, sahabat dekat Gus Dur,” terangnya.
Meski demikian, Gus Nadir menyatakan bahwa pilihan merupakan hak pribadi masing-masing. Hanya saja, marwah NU-lah yang menjadi pertaruhan.
“Mau mendukung 01, 02, atau 03, ketika NU lain di mulut lain di hati, lalu kemudian mempertaruhkan nasib bangsa setelah Pilpres, itu menurut saya yang jadi persoalan,” tegasnya.
Jelang Pipres 2024 yang akan berlangsung kurang dari satu bulan mendatang, netralitas PBNU sebagai organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia kembali dipertanyakan. Hal ini terkait adanya sejumlah pengurus yang terlibat dalam kampanye.