Abdul Karim al-Jili bernama lengkap Abd Al-Karim ibn Ibrahim ibn Abdul Karim ibn Khalifah ibn Ahmad ibn Mahmud al-Jili. Tempat dan tahun lahir Abdul Karim al-Jili menimbulkan perbedaan pendapat. Dalam Ali: 1997, nama al-Jili dianggap sebagai tempat kelahirannya, yaitu mengacu pada suatu tempat di selatan Laut Kaspia yakni Jilan. Sedangkan menurut Ighnaz Goldziher, nama al-Jili ini dinisbatkan pada distrik yang bernama Jil, yaitu sebuah distrik yang berada di Bagdad.
Abdul Karim al-Jili merupakan seorang sufi yang masyhur di Bagdad. Dia mendapatkan gelar paling tinggi dalam maqam sufi yaitu Quthb al-Din. al-Jili diyakini lahir di Bagdad. Hal itu didasarkan atas pengakuan dirinya sendiri yang menyatakan bahwan dirinya adalah keturunan dari cucu perempuan Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Menurut kesepakatan para peneliti, al-Jili lahir pada tahun 767 H di awal bulan Muharram.
Pemikiran tasawuf al-Jili ini menarik utuk dicermati. Budaya Yaman sangat memengaruhi kehidupan sosio kulturalnya. Saat itu Bani Rasul sedang menguasai pemerintahan. Pengetahuan keagamaan yang berkembang di pemerintahan Bani Rasul bercorak sunni dan perkembangan kajian filsafat belum maksimal.
Baca juga: Al Jilli Penafsir Terbaik Ibnu Arabi
Selain corak agama sunni, corak tasawuf falsafi juga ikut memengaruhi pemikiran al-Jili, salah satunya: Insan Kamil. Aliran pemikiran al-Jili bisa diaggap sebagai ulasan tasawuf falsafi karena pemikiran sunni yang melatarbelakanginya.
Tidak ada yang mengetahui jumlah karya al-Jili secara pasti karena ia ulama yang produktif. Dalam buku “Manusia Citra Ilahi” yang ditulis oleh Yunasril Ali menyebutkan al-Jili mempunyai karya berjumlah 34 buah. Sedangkan Carl Brockelmann berpendapat bahwa karya al-Jili berjumlah 29 buah.
Menurut Isma’i Pasya al-Baghdadi, karya al-Jili berjumlah 11 buah. Pendapat ini menyempurnakan pendapat Haji Khalifah yang meenyebutkan karya al-Jili berjumlah enam buah kitab. Sedangkan menurut Muhammad Iqbal, jumlah karya al-Jili hanya tiga dan itu pun hanya ulasan karya Ibn Arabi.
Mengenal al-Jili rasanya tidak lengkap kalau tidak mengenal pula karya populernya, yaitu al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhir wa al-Awa’il. Kitab ini terdiri dari 41 bab pada jilid pertama dan 22 bab pada jilid kedua. Kitab unggulan al-Jili ini diluncurkan oleh beberapa penerbit, seperti Dar Al-Fikr (Beirut), Maktabah Shabih (Kairo) dan Dar al-Kutub al-Mishriyah (Kairo).
Ada beberapa alasan mengapa kitab ini disebut unggulan. Pertama, kitab ini sempat diterjemahkan ke bahasa Inggris dengan judul Universal Man oleh Angele Culme Seymour. Kedua, Kitab ini juga diterjemahkan ke bahasa Perancis dengan judul De l’Homme Universal oleh Titus Burckhardt. Ketiga, ada pembahasan yang sangat menarik dalam kitab tersebut, yaitu konsep Insan Kamil.
Istilah Insan Kamil secara bahasa tersusun dari dua kata, yaitu al-insan yang mempunyai arti manusia serta al-kamil yang berarti sempurna. Dalam sejarah Islam, Insan Kamil pertama kali muncul dari ide Ibn Arabi awal abad ke 7 H/13 M. Ibn Arabi menggunakan istilah ini untuk melengkapi konsep “manusia ideal”. Jika dilihat dari segi materinya, sebenarnya Insan Kamil ini telah lama ada, namun tidak banyak yang menggunakan istilah ini.
Yusuf Zaidan berpendapat, istilah Insan Kamil mengarah pada hamba yang saleh. Istilah ini disandarkan pada Nabi Khidir, seorang manusia yang dikenal kaum muslimin karena bisa mengetahui rahasia yang tidak bisa diketahui manusia biasa. Istilah ini pun sempat disandarkan pada Uways al-Qarni, seorang tabi’in asal Yaman. Selain itu, banyak juga tokoh sufi yang memberikan perhatian terhadap konsep Insan Kamil, di antaranya Ibn Arabi dan al-Jili sendiri.
Baca juga: Tangisan Rasulullah yang Menggoncangkan Langit
Sejatinya konsep Insan Kamil ala al-Jili ini adalah konsep tasawuf milik Ibn Arabi yang dikembangkan. Konsep tasawuf milik Arabi yang dimaksud adalah Wahdatul Wujud, yaitu alam merupakan refleksi dari Tuhan, pada alam terdapat sifat-sifat Tuhan. Hal itulah yang membuat Tuhan menciptakan alam, untuk menampakkan diri-Nya melalui alam. Sufi yang sudah menyatu dengan Tuhan dan tidak ada wujud masing-masing antara Tuhan dan dirinya, maka sufi tersebut sudah termasuk dalam faham Wahjatul Wujud ini.
Dalam pandangan al-Jili, Insan Kamil berarti salinan Tuhan. Konsepnya itu berdasarkan salah satu hadis Nabi Muhammad,
خلق الله ادم على صورة الرحمن
Artinya: “Allah menciptakan Adam dalam bentuk yang Maharahman” (HR. Ad Daruquthni. Ibnu Hajar dalam Fathul Bari [5/217] mengatakan, “sanadnya dan perawinya tsiqah”).
خلق الله ادم على صورته
Artinya: “Allah menciptakan Adam dalam bentuk-Nya”. (H.R Muslim)
Dua hadis tersebut menjadi landasan bagi al-Jili untuk berpendapat bahwa Insan Kamil adalah sarana tajalli (menyatunya) Tuhan. Dari hal itu bisa disimpulkan bahwa konsep tasawuf tajalli Tuhan al-Jili ini mengalami perubahan, dari yang awalnya hanya benda-benda, baik benda hidup maupun mati, menjadi manusia sebagai wujud yang paling sempurna dari Tuhan.
Baca juga: Konsep Insan Kamil dan Cara Mengenal Diri Sendiri
Untuk menggapai derajat Insan Kamil, seorang hamba harus melaksanakan pengalaman dan pengamalan rukun Islam secara lahiriah dan batiniyah, yaitu manusia harus melakukan amalan itu dengan mengacu pada syariat serta harus dihayati.
Al-Jili wafat pada tahun 826 H menurut ‘Abdullah al-Habasyi, mengutip salah satu karya Al-Ahdal (hidup semasa dengan al-Jili) yang berjudul Tuhfah al-Zaman fi Dzikr Sadat al-Yaman.