Gus Azka tiba-tiba menggigil. Keringat mengucur deras dari sekujur tubuhnya yang tambun. Berkali-kali ia beristighfar. Astaghfirullah.
“Kenapa, mas? Mimpi buruk lagi?” tanya istrinya yang terbangun. Istrinya turun dari ranjang kemudian mengambilkan air putih di meja. Ia sodorkan sembari mengusap-usap pipi suaminya yang terasa sangat dingin.
Andai suaminya bukanlah seorang tokoh agama, barangkali istrinya akan bertanya ‘sudah berdoa apa belum?’. Tapi siapa yang meragukan kapasitas keilmuan Gus Azka. Ia nyantri lima belas tahun di Jawa Timur. Setelahnya ia melanjutkan pendidikan di Maroko. Jurusannya tafsir hadis pula.
Masak seorang yang begitu tinggi ilmunya sampai lupa berdoa?
Gus Azka memang bukan anak kiai. Dia anak seorang guru madrasah. Gelar ‘gus’ yang ia dapat karena menikahi Ning Ulfa, putri Kiai Mahfuz yang tersohor. Gus tiban, begitu orang kampung mengistilahkan.
Meski demikian semua tidak meragukan betapa moncernya master dari universitas Timur Tengah itu. Kepintarannyalah yang membuat Kiai Mahfuz menjodohkan putri bungsunya dengan pemuda non-ningrat itu. Padahal Gus Azka tidak pernah berani mendekati Ning Ulya. Boro-boro mendekati, mimpi saja tak mampu.
***
Mimpi buruk? Pertanyaan sederhana dari istrinya itu tak pernah bisa dijawab oleh Gus Azka. Ia mengingat-ingat mimpi yang sudah empat kali hadir dalam tidurnya.
Di satu tempat asing yang dikelilingi oleh tembok putih, Gus Azka didatangi oleh sosok perempuan. Ia tak mengenal perempuan itu. Ia bahkan tak mampu melihat wajahnya. Namun anehnya, ia dapat merasakan bahwa perempuan itu cantik. Sangat cantik.
Kulitnya bersinar. Ia bahkan bisa melihat dengan jelas sumsum tulangnya. Pembuluh darahnya. Ah, ia tidak pernah melihat perempuan seperti ini sebelumnya.
Di dalam mimpi, perempuan itu hanya tersenyum. Tak ada satu pun patah kata. Tiba-tiba saja perempuan itu pergi. Ketika berusaha mengejar, Gus Azka terasa seperti terlempar dari atas bulan. Ia terjun bebas dan kemudian terbangun dengan basah kuyup.
Ia pernah mendapat cerita dari Faruk, teman kuliahnya di Maroko. Jika mimpi datang satu kali, itu bunga tidur. Jika tiga kali, ia barangkali sebuah penanda. Tapi jika empat kali, bisa jadi itu sebuah peringatan.
Tetapi peringatan apa? Ia bertanya-tanya. Namun tak pernah mendapat jawaban. Biasanya ia segera mengajak istrinya untuk berwudlu kemudian melakukan salat berjamaah. Setelahnya, ia lanjutkan dengan berzikir, mutholaah kitab, dan kemudian menuju masjid pesantren untuk menjadi imam dan mengajar pengajian bakda subuh.
Sementara istrinya menyimak hafalan para santriwati di pesantren putri yang menyatu dengan bangunan rumahnya.
***
“Itu bidadari!” ujar Taufik dengan sangat yakin. “Ciri-ciri bidadari ya beningnya sama persis kayak sosok yang kamu ceritain itu.”
Taufik, teman satu angkatan Gus Azka memang jadi salah seorang yang sering diajak ngobrol tentang apapun. Tidak tahu mengapa Gus Azka begitu nyaman menceritakan apapun kepada sahabat lamanya itu. Bahkan, pada kisah-kisah yang tak ingin ia ceritakan pada istrinya. Istrinya sampai cemburu ketika memergoki mereka saling tertawa terbahak-bahak.
“Ya kalau pun bidadari, memangnya kenapa dia sampai hadir di mimpiku empat kali?”
“Ya, maklum. Mungkin itu pertanda.”
“Pertanda apa?”
“Ehm. Gini, Gus. Kita sudah bersahabat sejak lama. Aku tahu persis bagaimana kamu ini. Bahkan ngoroknya kamu, aku sampai hafal. Aku mau tanya soal tempo hari.”
“Soal apa?”
“Soal Kiai Anwar.”
“Ah, sudahlah. Aku enggak mau ngomongin itu.”
“Sssstt… Jangan begitu. Aku ngerti kamu pasti sedang bingung untuk ngasih jawaban ke Kiai Anwar.”
“Enggak. Aku masih punya harga diri.”
“Lah, emangnya kenapa kalau kamu menerima tawaran Kiai Anwar? Toh, Kiai Mahfuz juga pernah bilang mengikhlaskan. Meski dia berat hati karena tidak ingin putrinya dimadu.”
Tiba-tiba suara langkah mendekat. Kedua sahabat ini langsung mengalihkan pembicaraan. Mereka langsung berbicara soal masa lalu mereka ketika nyantri. Gus Azka tertawa terbahak-bahak ketika Taufik berbicara sekali pun ceritanya tidak lucu. Bahkan mungkin Gus Azka tidak mendengarnya secara utuh.
“Eh, Ning Ulya. Kulo pamit rumiyin, nggih?” (Eh, Ning Ulya. Saya pamit dulu, ya?). Taufik menunjukkan gestur akan pamit. Namun Ning Ulya mencegah. Ia membawakan mereka berdua sirup kawista yang baru dibawakan santri dari Rembang, Jawa Tengah.
“Jangan terburu-buru. Minum saja dulu.” Taufik pun tidak jadi melangkah. Ia merasa tidak enak jika menolak pemberian salah seorang yang sangat dihormati tersebut.
***
Sebuah pesan masuk ke smartphone milik Gus Azka. Tertera nama Kiai Anwar. Ia belum berani membuka. Ia tahu akan ada gejolak jika ia paksakan membaca pesan dari Kiai Anwar.
Gus Azka membanting dirinya dikasur. Ia menghembuskan nafas sekencang-kencangnya. Ia kemudian melihat langit-langit kamarnya. Bayangannya kembali ke mimpi yang lalu. Sebuah mimpi yang sudah datang ke tidurnya sebanyak empat kali. Seorang perempuan yang begitu bersih sampai uratnya terlihat jelas.
Apa benar ucapan Taufik bahwa yang hadir di mimpinya adalah seorang bidadari? Mengapa bidadari itu hadir di mimpinya? Mengapa bidadari itu tersenyum? Mengapa ia terlempar ke tanah ketika berusaha mengejar bidadari tersebut?
Pikirannya bergelayut. Ia teringat Kiai Anwar ketika bertamu di rumah Kiai Mahfuz. Tidak tahu bercanda atau betulan, Kiai Anwar mengatakan ingin menjodohkan Gus Azka dengan Salsa, putrinya yang baru pulang dari Mesir. Ia bahkan langsung mengutarakan keinginannya di hadapan Kiai Mahfuz, mertuanya.
Pada saat itu ia hanya terdiam. Setengah tidak percaya. Bagaimana mungkin seorang kiai menjodohkan anaknya dengan menantu kiai lainnya? Ia ingat jelas air muka Kiai Mahfuz waktu itu. Tersentak tapi perlahan-lahan mulai terbiasa. Ada senyuman yang dipaksakan.
Yang bikin heran, Kiai Mahfuz kemudian melempar bola api itu di tangannya. “Ya, semua tergantung Nak Azka saja,” ujar Kiai Mahfuz.
Pembicaraan mulai bergeser. Kiai Anwar berpendapat bahwa Gus Azka harus punya anak yang kelak meneruskan perjuangan di pondok pesantren. “Sudah tujuh tahun mereka menikah, tetapi rejeki belum juga diberi. Barangkali memang Gusti Allah punya jalan lain.”
Jujur. Pada saat itu Gus Azka merah padam. Namun ia segera mengatur dirinya. Ia tetap harus menghormati sesakit apapun perasaannya. Ia kembali melirik Kiai Mahfuz. Sosok yang rambutnya sudah memutih hanya manggut-manggut saja. Tetapi ia yakin hati mertuanya itu berat. Sangat berat.
Sejak saat itu sang bidadari yang misterius masuk dalam mimpinya.
***
Usianya memang tak lagi muda. 37 tahun. Teman-temannya banyak yang sudah memiliki dua hingga tiga anak.
Segala cara sudah ditempuh mulai dari merapal doa-doa kesuburan, makan tauge, menghitung hari subur, hingga posisi yang dianggap punya potensi berhasil. Namun di tahun kedepan pernikahan, ia urung memiliki momongan. Sementara seluruh keluarga sangat mendambakan sosok yang kelak bisa melanjutkan memimpin pondok pesantren.
Gus Azka begitu marah ketika mendengar berita tentang penelantaran hingga pembunuhan bayi. Orang tua mana yang tega menyakiti darah dagingnya sendiri? Semakin ia memikirkan seorang anak, bayangan Kiai Anwar selalu hadir. Namun segera ia menepisnya karena ia tidak sampai hati jika menerima tawaran itu.
‘Aku orang tak berada. Kiai Mahfuz kemudian memungutku dan menjadikan aku sebagai sosok yang seperti saat ini. Bagaimana aku tega untuk menyakiti mertua dan putrinya itu?’. Suara-suara yang entah dari mana asalnya terus terdengar oleh Gus Azka. Ia selalu menolak. Ia sudah bertekad untuk tidak menduakan istrinya apapun yang terjadi.
Ia teringat dengan kisah rumah tangga Nabi Muhammad SAW bersama Khadijah. Selama puluhan tahun Nabi tidak melakukan praktik poligami sebagaimana kaum jahiliyah Arab waktu itu. Jika saja mau, tentu Nabi sudah melakukan. Apalagi Nabi berasal dari suku yang sangat dihormati di Makkah, yaitu suku Quraisy.
Gus Azka sendiri heran mengapa ada banyak orang menganggap bahwa poligami itu sunah. Parahnya, ada yang menyebut tolak ukur perempuan salehah adalah mau dipoligami. Bukankah Al-Quran justru menegaskan bahwa monogami adalah keutamaan? ‘Jika kamu tidak bisa berbuat adil, maka cukup satu istri saja’. Begitu seruan Al-Quran yang dipelajarinya selama bertahun-tahun.
Namun ia di posisi pelik. Istrinya mulai berani membahas soal berbagi rasa. Beberapa kali ia menanyakan apakah dirinya tidak ingin memiliki anak.
“Mas tidak mau bahas itu. Kita serahkan semuanya pada Yang Maha Kuasa.”
“Tapi semua bisa dijelaskan, mas. Masih bisa diusahakan.”
“Makanya mas sudah pasrah. Mas sudah bahagia bersama kamu.”
“Tapi, mas. Pesantren kita butuh penerus.”
Penerus? Ia yakin bahwa Kiai Mahfuz sudah berbicara dengan putri bungsunya. Tapi mengapa hal seperti itu dipersoalkan? Ia yakin bahwa pesantrennya akan baik-baik saja. Toh, anak Kiai Mahfuz tidak hanya Ning Ulya. Ada dua kakak kandungnya, yaitu Gus Fadil dan Gus Turmudzi. Meski pun keduanya tidak memiliki pendidikan pondok pesantren salaf.
Siapa yang bisa menjamin seorang anak menuruti keinginan orang tuanya? Nyatanya Gus Fadil dan Gus Turmudzi? Astaghfirullah. Gus Azka beristighfar sembari terus berbicara dengan dirinya sendiri.
Ia hanya menumpang di pondok pesantren besar ini. Kebetulan dia adalah alumni pesantren tersebut sebelum berkelana ke negeri nun jauh di sana. Apa alasan dia untuk menikah lagi?
Ia ingat sebuah hadis ketika Ali ibn Abi Thalib, menantu Nabi Muhammad dilarang untuk berpologami.
Jika Nabi Muhammad saja tidak tega putrinya berbagi rasa, lalu alasan apa lagi yang membuatnya mau mengiyakan? Bukankah Nabi selalu melarang hal-hal yang merusak?
Tapi kitab-kitab kuning memperbolehkan. Empat jumlah maksimalnya. Namun, bukankah kitab kuning membahas pula persoalan budak. Kalau menggunakan logika kitab kuning tersebut, mengapa hanya poligami? Mengapa memiliki budak tidak lagi diperbolehkan?
Gus Azka kembali menghela nafas. Pikirannya kacau. Ia bingung harus berbuat apa. Ia memang ingin memiliki anak. Namun bukan berarti dengan cara menyakiti. Toh, seberapa yakin jika istrinyalah yang kurang subur. Bagaimana kalau ternyata dia yang bermasalah? Apakah ia mengizinkan istrinya untuk poliandri? Astaghfirullah… Gus Azka menangis.
Ia merasa bahwa ia tidak enak jika sampai menyakiti hati Kiai Anwar. Tapi ia lebih tidak sampai hati jika menyakiti belahan jiwanya.
‘Ya Allah, betapa buruknya jika keluarga sebaik ini harus disakiti!’ katanya dalam hati.
***
Ruangan itu menyempit. Tinggal sejengkal saja yang tersisa. Meski sejengkal, ia bisa melihat dengan jelas tubuh perempuan itu tetap berdiri tegak. Perempuan itu masih sama dengan perempuan yang ia temui dalam keempat mimpinya. Bedanya, kali ini ruangan serba putih itu jauh lebih sempit. Namun senyum dan adegan lain masih sama persis.
Entah bagaimana caranya, dalam mimpi itu ia bisa merasakan betul keinginannya untuk mendekati si bidadari untuk sekadar bertanya: mengapa dirinya datang? Apa maksudnya? Namun ia urungkan. Ia sudah empat kali terjatuh karena mendekat. Lalu apa yang harus ia lakukan?
Ia pandangi bidadari tersebut. Ia melihat betapa indahnya senyuman sang bidadari. Ia kemudian balas senyuman itu.
Kali ini ia merasakan sebuah kenikmatan tiada tara. Ia melihat bidadari itu mendekat. Di jarak yang hanya kurang lebih sepuluh sentimeter, sang bidadari tiba-tiba menyentuh tangannya. Memegangnya. Kemudian menuntun telapak tangannya menyentuh pipi yang sangat lembut.
Gus Azka tersenyum. Ia bisa mencium bau wangi yang begitu khas.
Dalam mimpinya ia bisa menebak bahwa wangi itu adalah wangi kamar pernikahan ia dengan istrinya. Gus Azka mencoba menggapai tangan kiri sang bidadari. Namun ia tiba-tiba merasa melayang. Ia seperti dituntun menuju langit yang sangat jauh. Anehnya, ia merasakan kebahagiaan tiada tara.
Gus Azka terkejut ketika melihat tubuh sang bidadari tiba-tiba kehilangan cahaya. Urat-urat yang jelas terlihat sebelumnya sudah tertutup kulit putih bersih. Ia perhatikan dengan seksama wajah bidadari itu. Di satu titik, ia merasa begitu mengenal lekuk wajahnya. Wajah yang sudah akrab selama tujuh tahun lamanya.
“Mas?”
Gus Azka terbangun dari tidur dengan menatap wajah istrinya. Sementara istrinya kebingungan, mengapa suaminya tiba-tiba tersenyum? Biasanya suaminya itu bangun dalam keadaan gugup seperti dikejar-kejar setan. Tapi kali ini terlihat sangat berbeda. Tampan. Tampan sekali, seperti ketika mereka baru menjalani malam pertama.
“Kamu kenapa mas?”
Suaminya tiba-tiba meletakkan tangannya ke pipinya. Wajahnya yang semakin dekat berhadap-hadapan, Gus Azka berbisik, “Aku hanya menyentuh satu bidadari selama hidupku.”
Ning Ulya semakin kebingungan. Jam berdentang dua kali, tanda malam memasuki sepertiga yang suci. Di waktu seperti ini pintu langit terbuka lebar bagi seluruh doa dan harapan. (AN)
Tamat