Bicara Kawin Usia Anak, Kenapa Kita Harus Peduli?

Bicara Kawin Usia Anak, Kenapa Kita Harus Peduli?

Bicara Kawin Usia Anak, Kenapa Kita Harus Peduli?
(Photo credit: GABRIEL BOUYS/AFP/Getty Images)

Suatu ketika saya menerima telepon dari keluarga saya dari Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan, yang jaraknya sekitar 186 km dari kota Makassar.

Saat itu ia mengatakan bahwa akan menikahkan anaknya dan meminta doa dari keluarga yang ada di Jakarta. Saat itu saya turut berbahagia dengan berita itu. Ternyata belakangan saya baru tahu bahwa anak perempuannya itu baru berusia 18 tahun. Ibunya mengawinkan dengan alasan menghindari zina.

Daripada kelamaan pacaran, jadilah ia dikawinkan.

Cerita lain saya dengar dari seorang kawan di Madura.

Ia bercerita saat masih duduk di bangku kelas 5 SD, ia melihat adik kelasnya (perempuan) yang duduk di bangku kelas 3 SD disuntik hormon.

Anak perempuan itu disuntik hormon, dengan patokan bahwa anak perempuan yang sudah menstruasi bisa untuk dikawinkan.

Apa yang terjadi pada keluarga saya juga cerita dari teman saya itu, hanyalah dua dari sekian kasus perkawinan usia anak yang terjadi.

Data UNICEF tahun 2023, menyebutkan bahwa Indonesia menempati peringkat ke-4 dunia untuk jumlah kasus perkawinan anak di bawah usia 18 tahun. Setiap tahunnya, ada 12 juta anak perempuan di dunia yang kawin sebelum ulang tahun ke-18 mereka.

Adanya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 di Indonesia, dengan aturan perempuan dan laki-laki usia minimal menikah menjadi 19 tahun satu sisi membawa kegembiraan bagi kita. Namun di sisi lain, dispensasi kawin meningkat signifikan. Belum lagi dengan kawin siri yang tidak tercatat oleh negara.

Dispensasi kawin ini ditempuh agar warga negara yang berada di bawah usia 19 tahun dapat dikawinkan. Indonesia juga memiliki Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 5 Tahun 2019 yang mengatur tentang dispensasi kawin. Tetapi adanya PERMA ini lantas tidak serta merta menyelesaikan permasalahan yang ada.

Hakim sangat penting untuk memiliki perspektif gender, memiliki acuan terhadap kemendesakan, juga memahami makna kepentingan terbaik bagi anak.

Di pasal 15 PERMA, “dapat meminta rekomendasi” masih dimaknai sebagai opsional daripada keharusan.

Saya pernah berbincang dengan rekan media dan ada yang bertanya, “kok isu personal seperti perkawinan usia anak ini dibahas sih? Apa masalahnya kalau memang sama-sama cinta?”.

Kita perlu memahami bahwa apa yang terjadi pada ranah personal kita sangatlah politis. Hal personal itu sangat terkait dengan struktur politik, sistem sosial, dan dinamika kekuasaan yang lebih luas.

Masalah pribadi bukan hanya sekadar masalah personal, tetapi juga dibentuk oleh norma-norma, hukum, dan institusi masyarakat yang lebih besar.

Ada permasalahan ekonomi, pendidikan, budaya, penafsiran agama, tabunya membicarakan kesehatan reproduksi dan seksual, bahkan krisis iklim yang saling berkelindan dan menyebabkan perkawinan usia anak ini terjadi.

Kondisi perempuan dilemahkan secara struktural. Dibatasi akses dan partisipasinya, hingga sulit untuk mendapatkan manfaat hingga kontrol terhadap hidup mereka sendiri.

Perkawinan usia anak memberikan dampak pada perempuan bahkan nyawanya. Perkawinan anak dalam hal ini sangat erat kaitannya dengan Angka Kematian Ibu yang terjadi.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan kematian ibu hamil terjadi hampir setiap dua menit pada tahun 2020. Di tahun yang sama, setiap hari hampir 800 perempuan meninggal karena sebab-sebab yang dapat dicegah terkait kehamilan dan persalinan.

Nenek saya meninggal dunia setelah melahirkan anaknya yang ke-5.

Saya menduga, nenek saya meninggal karena jarak kelahiran yang terlalu dekat dan usianya yang saat itu masih 17 tahun saat menikah.

Pemiskinan terhadap perempuan juga terjadi akibat perkawinan usia anak. Dari hasil riset INFID tahun 2024, perempuan yang kawin di usia anak itu tidak bekerja dan tidak melanjutkan pendidikannya. Sebanyak 96% calon istri yang dimohonkan dalam dispensasi perkawinan tidak memiliki penghasilan karena tidak bekerja.

Situasi ini jelas berpengaruh kepada tingkat partisipasi kerja. Data BPS tahun 2024 menyebutkan, angka partisipasi laki-laki 1,5x lipat lebih tinggi daripada perempuan. Kalau tidak berpartisipasi penuh, bagaimana mau mencapai sasaran pembangunan berkelanjutan tahun 2030 goals 5?

Yang salah satu isinya adalah mendorong representasi pemimpin perempuan dalam dunia kerja. Adanya bukan Indonesia Emas, tapi Indonesia (C)Emas.

Perkawinan usia anak ini masuk dalam bentuk pemaksaan perkawinan (salah satu jenis dari tindak pidana kekerasan seksual) dan diatur dalam pasal 10 Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual Nomor 12 Tahun 2022.

Pencegahan perkawinan usia anak ini perlu penanganan yang komprehensif dan holistik, dengan memusatkan intervensi pada akar masalah. Juga memberikan perhatian khusus pada pelibatan bermakna pada anak dan orang muda. Sebab itu, kita perlu bersinergi bersama di setiap level.

Bahkan kita juga bisa mulai dari diri sendiri dengan mengasah empati, daya kritis, juga merawat jaringan yang kita punya melalui komunitas terdekat