Bertani sebagai Jalan Spiritual: Membaca Alam bersama Pak Di dari Sukorejo, Pasuruan

Bertani sebagai Jalan Spiritual: Membaca Alam bersama Pak Di dari Sukorejo, Pasuruan

Bertani sebagai Jalan Spiritual: Membaca Alam bersama Pak Di dari Sukorejo, Pasuruan

Pernahkah Anda tahu di jalan raya lintas Malang- Surabaya, ada daerah bernama Sukorejo?

Perjalanan Sukorejo dari Kota Malang, kira-kira sekitar 45 menit sampai 1 jam. Seperti beberapa daerah di Kabupaten Pasuruan, utamanya lintasan menuju Surabaya, Sukorejo memiliki kebun dan sawah menghampar, bersebelahan dengan pabrik-pabrik besar. Jalur yang strategis antar dua kota besar, menjadikan industri memancang pabrik-pabriknya di sepanjang jalur Malang-Surabaya. Para pelancong ke Malang atau Surabaya, sejauh yang saya tahu, tidak banyak menyitir nama Sukorejo sebagai persinggahan. Apalagi semenjak ada jalan tol langsung dari Pandaan menuju Malang, orang lebih sering melewatkan daerah ini.

Saya beranjak ke Sukorejo untuk menemui salah satu petani yang menurut penjelasan beberapa kawan, berperilaku sufi, dan “punya greget ideologis” terhadap industri.

Petani yang akan saya kunjungi ini bernama Jayadi. Ia bermukim di Dusun Karanglo, Kecamatan Sukorejo. Orang-orang lumrah menyapanya dengan Pak Di atau Mbah Di.

Saya tiba di Dusun Karanglo, Desa Sukorejo, sekitar pukul 07.30. Tampak orang-orang paruh baya sampai mbah-mbah, beranjak ke sawah atau kebun dengan pakaian dinas mereka: kaos lusuh yang lumrahnya kaos partai, kaos caleg, atau kaos koperasi, mengendarai motor lawas butut yang knalpotnya menderu reng-teng-teng-teng, memakai caping, kadang menjinjing sekalian pacul atau arit. Di sisi lain, anak-anak muda beranjak ke jalan raya mengenakan sepatu, kemeja, rambut disisir rapi, sambil membawa tas selempang atau tas bahu merek terkenal yang sepertinya produk KW. Ada yang jalan kaki, ada yang naik motor butut dan di antaranya sudah naik motor matic besar.

Saya menuju petak kebun yang dikelola Pak Di bersama Islah, seorang kawan saya yang cukup rutin bertemu dengannya. Info awal yang saya dapatkan, Pak Di adalah tokoh spiritual, juga pelaku tarekat Naqsyabandiyah Uluwiyah yang dihormati di Sukorejo ini. Ia kerap kedatangan tamu macam-macam yang meminta nasehat, wejangan, barokah doa atau suwuk.

“Kendati Pak Di lebih tua dibanding mursyidnya, Pak Di masih rendah hati enggan mengakui kedalaman tarekatnya. Pak Di masih merasa sebagai murid yang masih berguru ke mursyidnya, Kiai Husen.” ujar Islah.

Kiai Husen adalah seorang kiai setempat, pengasuh pesantren “Al Ihsan Darul Mukmin”, yang merupakan bagian dari Yayasan Darul Mukmin, Dusun Karanglo, Desa Sukorejo. Yayasan ini membawahi TK, PAUD, Madrasah Diniyah, dan pesantren. Pak Di turut serta dalam pengelolaan yayasan tersebut.

Setibanya di lokasi, Pak Di menerima kami dengan ramah. “Monggo mas, kulo Jayadi. Niki lagi nandur (menanam) kacang panjang, terong, sawi, sama rencana membersihkan rumput untuk rencana anak-anak muda buka warung kopi kecil-kecilan.”.

Perawakan beliau kurus, berkulit legam, tapi tampak terampil dan liat. Ia mengenakan topi rimba lusuh, jaket tipis, dan kaos bersablon nama salah satu operator seluler di Indonesia. Kaosnya tungkus lumus dengan tanah dan keringat, serta sedikit bau kretek Dji Sam Soe. Kira-kira sekilas usianya sekitar 60 tahunan. Tapi ternyata belakangan saya kroscek ke kawan yang mengantarkan saya ini, usianya belum genap 60.

Kami menepi di bawah pohon pisang. Ia menyodorkan pada saya ceret isi kopi, dan membuka bungkusan rokoknya.

“Lihat itu pabrik-pabrik di sana,”. Tampak beberapa pabrikan besar yang berdempetan langsung dengan sawah warga. Menurut Pak Di, pabrik turut menjadikan tanah sawah ini tercemar. “Limbahe kuwi, mas. Ngerusak tanah dan tanaman.” tukas Pak Di.

Usaha tani dan lingkungan ini, ia sebut-sebut sebagai usaha kecil menetralisir efek industri. “Tanah sudah rusak karena pertanian yang kurang pas, pabrik juga bikin polusi, ya hitung-hitung ini sedekah dan zakat oksigen untuk makhluk hidup lain, yaitu ternak, tumbuhan, ataupun manusia.”

Pak Di melanjutkan, “Saya menanam ini, ingin salah satunya juga menyadarkan anak-anak muda dari pemikiran bahwa orang tidak bisa hidup dari tani. Wah, keliru kalau punya mindset begitu.” Ia menjelaskan bahwa anak-anak muda sekarang, lebih memilih untuk tampil gaya, necis, menjadi buruh pabrik yang kadang gajinya tak seberapa. “Karena gengsi mas, padahal kalau anak muda itu ulet dan kreatif, tanduran seperti saya ini hariannya bisa melampaui pabrik.” terang Pak Di.

Usahanya untuk kreatif salah satunya ia lakukan lewat pembuatan kompos dari fermentasi rumput-rumput liar. “Jadi rumput-rumput liar itu saya olah bareng anak-anak muda sini. Kalau orang lumrahnya rumput dibakar ya. Tapi lek saya tak pikir, gimana ya caranya biar ndak perlu dibakar, dan bisa menekan banyak biaya pembelian pupuk.”

Saya menyinggung perihal adanya subsidi pupuk untuk kelompok tani. Hemat saya, tentu subsidi itu bisa banyak membantu. Tapi Pak Di menimpali,

“Iya, itu ada, cuma kan pupuk itu uangnya bisa digunakan yang lain, saya pakai pupuk itu ndak banyak, cuma sebagai pemicu saja, istilahnya kalau motor itu kayak starter-nya lah.” ujar Pak Di. “Lha kalau mengandalkan pupuk terus, ndak lihat peluang lain, tanah itu bisa rusak, dan sisa-sisa sampah produksi tani dan ternak itu kan masih bisa dipakai sebenarnya.”

Ia juga mendaku tidak menggunakan tinja ternak sapi atau kambing untuk campuran kompos. “Pikir saya, sebenarnya kompos itu kan tlethong yang difermentasi kan ya mas? Tapi saya pikir lagi, bisa ndak ya ambil jalan pintas untuk melakukan fermentasi itu?” Setelah melakukan perenungan dan diskusi, ia mencoba melakukan jalan pintas: mengambil limbah isi babat sapi atau kambing di penjagalan hewan.

“Lah iya, bukannya di lambung dan usus hewan itu juga sudah terjadi pembusukan? Ya saya ambil saja itu orang buang isi babat dari orang-orang yang punya sapi.” Salah satu hasil keberhasilan itu, klaim Pak Di, salah satunya adalah kacang panjang yang tumbuh lebih lebat dan panjang. “Orang menanam kacang panjang paling 30 centimeter, saya sering dapat yang hampir semeter. Dan waktu tanam juga sama, dan yang terpenting, tidak merusak tanah.”

Saya penasaran dari mana inspirasi Pak Di untuk kreatif dalam bercocok tanam, apakah dari kursus formal, atau saking bertungkus lumusnya beliau dalam dunia pertanian?

“Oh, saya baru dua tahun ini menekuni tani dan kebun. Sebelumnya saya petani sawah biasa. Kalau soal ilmu, ya kita punya kelompok tani, pernah dapat penyuluhan dari Dinas Pertanian juga. Tapi lain-lain saya kembangkan sendiri kalau merenung sendirian pas malam di gubuk itu.” Pak Di menunjuk gubuk sederhana yang biasa digunakannya berkumpul bersama rekanan kerja atau istirahat. Di sana ternyata tidak ada lampu.

“Malam-malam, gelap, sendirian, di tengah sawah?” tanya saya terheran-heran.

Pak Di mengiyakan hal itu. Ia mengaku kadang bawa senter, tapi kadang ia mematikan itu dan hanya bermandikan sinar rembulan. Dalam keheningan itu, ia mendapat inspirasi. “Ya ilmu, termasuk tani ya, selain ilmu yang kelihatan lewat kursus dan pengalaman, juga perlu ilmu yang didapat dari Gusti Allah, hehe.” Kawan saya, Islah, menimpali dengan satu pepatah Jawa yang pas mengistilahkan hal tersebut: ing ndalem hening, ono wening. Di dalam keheningan, ada kebeningan – baik itu ilmu atau inspirasi.

Sebelum mengelola lahan yang sekarang, Pak Di terlebih dahulu mengelola lahan di dekat salah satu makam keramat salah satu tokoh wali yang disebut-sebut “membuka” Pasuruan. Warga Sukorejo menyebutnya Mbah Payung. Sebelum dikelola Pak Di dan beberapa warga, makam itu terpencil dan tak terurus. Kini, di atasnya sudah dibangun atap, dan tampak bersih lagi terawat.

Pak Di mengaku tergerak untuk mulai menanam dengan merawat lingkungan, setelah bertemu dengan sosok waskita, yang menurut keterangan Pak Di, masih trah dari Syekh Subakir, salah seorang tokoh pendahulu Wali Songo. “Syekh Subakir, sampeyan juga tahu, adalah sosok yang menjadi tumbal dan membasmi jin-jin di tanah Jawa. Ia adalah sosok yang babat alas untuk diteruskan para Kanjeng Sunan Wali Songo. Salah satu usaha meneruskan perjuangan Syekh Subakir itu, adalah lewat melestarikan alam ini.”

“Alam ini sudah memberi, kita yang merawat. Dalam bertani pun, masalah perawatan ini juga Soal hasil, kita sebagai abdi tak pantas menduduki dan ndikte kursi “juragan” kita, bukan? Toh “Juragan” kita Maha Welas Asih.”

Banyak hal kami obrolkan bertiga. Saya kira paradigma yang ia bawa melampaui orang-orang yang disebutnya sebagai “orang sekolahan”. Bahkan hemat saya, pada taraf tertentu cenderung sufistik. Termasuk, ia berkelakar mendaku giat taninya ini juga bagian dari lakonnya sebagai warga NU. “NU itu bagi saya sebagai petani, singkatannya bukan hanya Nahdlatul Ulama. Tapi NU itu juga Ngenengno Urip, menenangkan hidup. Cocok kan?”

Beberapa kali ia pun mengeluhkan dukungan pejabat desa setempat yang masih kurang. “Apa ya yang produk yang dikenal dan bisa dibanggakan dari Sukorejo? Kayake belum ada yo, mas.”. Kendati demikian, meski di tengah banyak keraguan soal usaha tani, Pak Di masih optimis bahwa pertanian adalah sendi penting kehidupan masyarakat Indonesia. Para buruh petani rewang yang ikut membantunya, sebut Pak Di, bisa mendapat bayaran yang layak untuk harian di atas rerata buruh pabrik setempat, dan seapes-apesnya, bisa pulang membawa sayuran yang mereka tanam.

Azan Zhuhur berkumandang, kami pun berpamitan. Pak Di menutup obrolan sambil beranjak membersihkan diri untuk sembahyang. “Kalau tani oke, Indonesia tidak cukup Indonesia Raya lagi, tapi bisa Indonesia Jaya, lho.” celetuknya, sambil terkekeh. Sehat selalu, Pak Di. (AN)

*) Artikel ini adalah hasil kerjasama islami.co dengan Greenpeace dan Ummah for Earth