Di tengah keberagamaan yang ada di Indonesia, keberkahan yang seharusnya menjadi sebuah keniscayaan kerap kali berubah menjadi perpecahan dan permusuhan. Perbedaan yang seharusnya menjadi ajang pembelajaran belakangan malah semakin sering digunakan sebagai pelengkap pertengkaran.
Penyebabnya tidak lain adalah semangat kompetisi yang ternyata masih menempel di jidat masing-masing umat yang sangat yakin bahwa kiamat sudah dekat. Maka tidak heran jika pola keberagamaannya masih berputar-putar di perbincangan seputar surga dan neraka saja, seolah agama hanya ada untuk menentukan siapa yang akan disiksa dan siapa yang akan dimanja di surga, bukan yang lain.
Hal ini kemudian memunculkan fanatisme berlebihan terhadap agama hingga mengira bahwa kebenaran hanya ada di jidatnya saja. Orang lain yang berbeda pandangan terkait dengan persoalan agama akan langsung dilabeli sebagai kafir, yakni segolongan orang nyinyir yang akan dihajar Tuhan ketika dunia sudah berakhir, begitu mereka pikir.
Masalahnya, selain tidak sopan dan cenderung sangat arogan karena melabeli orang lain secara semena-mena, istilah “kafir” nyatanya memiliki banyak makna; tergantung pada konteks pemakaiannya.
Dalam Quran, istilah kafir nyatanya tidak melulu digunakan untuk merujuk pada orang yang mengingkari kebenaran yang dibawa oleh rasul. Ada makna-makna lain yang ditunjukkan oleh Quran dengan istilah “kafir” ini.
Makna-makna lain tersebut tentu merupakan makna non-teologis yang seharusnya sudah bisa membuka mata hati kita bahwa istilah “kafir” tidak selalu merujuk pada makna buruk seperti yang mereka pikir. Lagi-lagi, ini tentang konteks penggunaan dan pemaknaan.
Dalam surat Ibrahim ayat 7 misalnya, Quran menggunakan kata “kafir” untuk merujuk pada sikap seseorang yang tidak bisa bersyukur. Ayat tersebut berbunyi; la-in shakartum la-azidannakum wa la-in kafartum inna ‘adzabi la shadid (Jika kalian bersyukur, Aku [Tuhan] tambahkan lagi nikmat-Ku. Jika kalian kafir atas nikmat-Ku, maka azab-Ku sangat pedih).
Beberapa kalangan berpendapat bahwa kata “kafir” yang ada pada ayat di atas tidak mengacu pada makna teologis, artinya siapa saja (termasuk Muslim) yang tidak bersyukur atas nikmat yang diberi Tuhan adalah kafir; Mereka menjadi kafir karena tidak pandai bersyukur, bukan lantaran tidak percaya pada Islam.
Dalam ayat yang lain, Quran bahkan menggunakan kata “kafir” untuk merujuk pada sesuatu yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan keimanan. Istilah tersebut digunakan untuk merujuk pada profesi atau pekerjaan seseorang.
Hal tersebut terletak pada surah Al-Hadiid ayat 20, dimana Allah berfirman “…kamatsali ghaitsin a’jabal kuffaara nabaatuhu tsumma yahiiju fataraahu mushfarran…” (seperti [di saat] hujan, yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering, dan kamu lihat warnanya kuning, kemudian hancur).
Beberapa penafsir menyatakan bahwa kata “kafir’ dalam ayat di atas merujuk pada makna “petani”. Salah satu alasan yang diajukan adalah bahwa akar kata dari “Kafir” (k-f-r) memiliki arti “menutupi”. Dalam konteks ayat di atas, “menutupi” merupakan pekerjaan para petani; mereka menutupi benih tanaman dengan tanah dan mengusahakan agar benih tersebut mampu tumbuh sesuai harapan. Karena itulah petani disebut “kafir”, yakni orang yang ‘pekerjaannya’ menutupi.
Terdapat banyak penafsir lain yang juga sepakat bahwa makna paling kontekstual untuk istilah “kafir” adalah menutup, bukan “terkutuk”, seperti yang biasa kita dengar dari kelompok pembuat onar di luaran sana.
Dalam tata bahasa modern, padanan terbaik untuk kata “kafir” adalah “cover” (bahasa Inggris), yang juga berarti “menutup”. Artinya, dalam konteks ini seorang kafir adalah orang yang menutup diri (atau tertutup) dari kasih sayang Tuhan; mereka adalah orang-orang yang perlu bantuan untuk menyingkirkan tutup-tutup itu.
Memamerkan ‘muka’ Tuhan dengan beragam episode kebencian dan permusuhan justru akan mempertebal tutup-tutup itu, sehingga mereka akan tetap kafir karena salah kita juga yang malas berpikir. Lagipula, Istilah “kafir” tentu sudah sangat ketinggalan jaman untuk kembali digunakan di masa sekarang. Apalagi jika penggunaan istilah tersebut semata-mata ditujukan untuk merendahkan atau bahkan merampas hak hidup orang lain.
Tulisan ini pernah dimuat di Jalandamai pada “Antara Label Kafir dan Bukti Kemandekan Pola Pikir”, 28 Agustus 2015.