Ucapan Rocky Gerung yang menyebut kitab suci sebagai fiksi menuai kontroversi, bahkan sudah ada yang melaporkannya ke polisi. Katanya, pernyataan itu penodaan agama. Padahal, kalau kita mau mencermati ucapan Rocky secara menyeluruh dan tidak sepotong-potong, kita akan menemui bahwa ucapan itu tidaklah sehitam putih seperti ketika ucapan itu dipotong hanya “Kitab Suci adalah Fiksi”.
Dalam acara ILC tersebut, pada dasarnya Rocky menjelaskan tentang pentingnya sebuah Fiksi (bukan Fiktif). Fiksi, dalam pemahaman publik tanah air lebih dikonotasikan kepada sesuatu kebohongan dan segala kenegatifan. Rocky, dalam acara teresbut ingin menjernihkan apa sebenarnya yang dimaksud dengan istilah Fiksi tersebut.
Selain itu, Rocky juga menjelaskan bahwa justru Fiksi adalah sesuatu yang positif. Menurut Rocky “Fiksi itu bagus, ia adalah energi yang mengaktifkan imajinasi”, lebih lanjut ia menjelaskan “.. fiksional, belum terjadi… anda dituntun oleh dalil-dalil fiksional, bukan sekedar prediksi”.
Nah, pernyataan Rocky tersebut dalam konteks makna kitab suci memberikan imajinasi kepada pemeluk agamanya, untuk kemudian bisa merealisasikan ideal-ideal nilai agama dalam kehidupan sehari-hari. Tentu, penjelasan ini sangatlah positif.
Sebagaimana telah dijelaskan oleh Rocky di atas, kita sehari-hari dalam beragama dituntun oleh imajinasi dari nilai-nilai yang dianjurkan oleh kitab suci kita. Kitab suci senantiasa menganjurkan kepada kita untuk melakukan sesuatu yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Dari anjuran kitab suci tersebutlah, kita sehari-hari kemudian didorong untuk melakukan perilaku yang positif. Dengan demikian, nilai-nilai yang dianjurkan oleh kitab suci kepada kita sehari-hari adalah masih sebuah fiksi yang harus kita laksanakan di dunia nyata.
Kemudian, polemik ucapan Rocky tersebut yang menyebutkan bahwa “Kitab Suci itu Fiski” mendapatkan tanggapan Gus Irwan Masduqi, seorang intelektual muda NU alumni Al-Azhar Mesir. Gus Irwan melihat ucapan itu dengan perspektif balaghoh (kebahasaan Arab) dan tafsir. Menurut Gus Irwan, banyak ulama’ ahli ilmu balaghah dan tafsir yang menyatakan bahwa di dalam Al-Qur’an terdapat cerita fiksi (qishatul khayal) untuk mengimajinasikan peristiwa-peristiwa besar dalam Islam. Hal ini seperti gambaran-gambaran di dalam Al-Qur’an yang menceritakan tentang kiamat, beserta sifat surga-neraka, cerita-cerita umat sebelumnya, dan hal-hal ghaib lainnya.
Gus Irwan juga menjelaskan, banyak ulama’ Islam yang mengkaji tentang pembahasan ini, baik ulama’ klasik maupun modern. Di antara mereka antara lain Al-jahid dalam kitab “Al Kamil”, Abdullah bin al-Mu’taz dalam kitab “Al-Badi’”, Musa Al-Ramani dalam “I’jazul Qur’an”, Abu Hilal Al-Iskandari dalam kitab “Al-Shana’atayn”, Al-Baqillani dalam kitab “I’jazul Qur’an”, Muhammad Khalafullah dalam kitab “Al-Fann al-Qashashi fil Qur’an (Seni Cerita dalam Al-Qur’an)”, dan Dr. Salman Ibn Fahd Al-Audah dalam kitab “Tajribatu Al-Takhayul Al-Qurani (Eksperimentasi Fiksi Al-Qur’an)”.
Singkat cerita, dalam kajian ahli kajian Islam pun, yang menjelaskan bahwa kitab suci ada unsur fiksinya juga sudah banyak. Akan tetapi, yang perlu digaris bawahi adalah bahwa istilah “fiksi” bukan diartikan sebagai sesuatu yang palsu atau kebohongan. Akan tetapi, istilah “fiksi” ini dimaknai sebagai imajinasi akan nilai-nilai yang dianjurkan dalam sebuah agama untuk para pemaluknya. Dengan demikian, Kitab Suci sebagai “fiksi” dalam penjelasan tersebut adalah memberikan tuntunan kepada para pemeluk agamanya melalui media cerita-cerita.
Dari sini, terkait dengan polemik ucapan Rocky ini, menurut saya adalah kesalahpahaman beberapa pihak yang melihat ucapan tersebut secara tektualis dan sepotong-potong. Kesalahpahaman seperti ini sering terjadi di publik Indonesia, mereka secara tergesa-gesa dalam melihat segala persoalan.
Jika mereka berkenan untuk meluangkan waktu untuk berfikir lebih kritis lagi, ucapan Rocky tersebut bukanlah persoalan yang perlu untuk kita besar-besarkan. Wallohua’lam