Sambil menunggu Abah KH Mustofa Bisri memulai pengajian tafsir Al Ibriz yang rutin digelar tiap Jumat di Pondok Raudhatut Thalibien, Leteh, Rembang, saya mengobrol dengan Ning Diyah Kholil, salah seorang menantu dari Bani Cholil Bisri (Adik KH Bisri Musthofa, Romo Gus Mus).
“Rumah samping ini dulu rumah milik pendeta, lho.” Ning Diyah bercerita.
“Oya?”
Rumah itu tepat berada di samping kanan pondok putri, atau tepat di depan asrama pondok putra.
“Iya. Meskipun sekarang Pak Pendeta sudah meninggal. Dulu, kalau Pondok Pesantren ada hajatan besar, misal maulid Nabi atau Haul Mbah Bisri, beliau duluan malah yang memberi hantaran makanan. Kalau Natalan juga suka ngirimin makanan. Kita juga begitu sebaliknya.”
Indah, ya. Padahal, di Pondok Pesantren, hampir setiap malam santri yang jumlahnya ratusan itu nglalar (mengulang hafalan) kitab Alfiyyah dengan tidak hanya berteriak kencang, tapi juga disertai tepukan tangan dan entah ketukan apa saja sebagai metode jembatan keledai untuk lekas purna menghafal.
Diam-diam saya juga teringat dengan tetangga-tetangga saya yang non-Muslim di kampung. Pada era di mana pelantang musala yang bunyi keras-keras ditentang oleh warga media sosial dengan alasan toleransi, sesungguhnya, di kampung saya hal tersebut tidak pernah terjadi.
Di musala rumah kami, jika dirata-rata, hampir dua kali sepekan Bapak menyalakan pelantang keras-keras di luar jam salat fardu yang jumlahnya sudah lima kali itu. Setelah Magrib, ketika santri-santri mengaji, memang ada jadwal untuk pembacaan barzanji pada Selasa dan pembacaan yaasin dan tahlil pada Kamis.
“Pak, kalau berjanjen atau tahlil mbok nggak usah pakai speaker. Khawatir tetangga nggak nyaman.”
“Ya nggak apa, ah. Biar seluruh kampung dapat barakahnya.”
Coba bayangkan, bagaimana perasaan saya dengan jawaban yang begitu teguh iman, transeden, sekaligus kolot semacam itu. Saya masih tenang ketika mendapati salah satu tetangga Non-Muslim justru saya pergoki nyanyi-nyanyi salawat syifa sambil menjemur pakaian dan satu tetangga Non-Muslim lainnya mengaku rutin menyimak siaran Mamah Dedeh di televisi pada pagi hari.
“Hafal. Lha tiap hari dengar. Enak juga buat dinyanyikan,” katanya ketika saya komentar.
Kalau sudah begini, saya jadi semakin tidak mengerti pada tafsir galak atas dalil Al Qur’an yang menyeru agar tidak berniaga dalam bentuk apapun dengan kaum kuffar, yang memiliki debat tak berujung pada makna konteks “bentuk niaga” dan “siapa yang disebut kuffar”.
Secara kronologis, kedatangan Islam sebagai jalan menuju Tuhan lebih muda dibanding dengan agama samawi yang lain karena Islam merupakan penyempurna dari Yahudi dan Nasrani. Nabi-nabi sebelum Rasul Muhammad juga belum mengenal istilah Islam, toh? Allah memang meng-kredit risalah kebenaran-Nya di bumi, ayat per ayat turun untuk peristiwa demi peristiwa, barangkali sengaja disebar sedikit-sedikit dan sesuai momentum agar umat manusia yang terbatas ini mampu memahami. Zaman yang terus berubah, Rasul telah mewariskan risalahnya pada para alim ulama yang terjaga keilmuannya, saya yakin, pertanda sesuatu yang bernama kebenaran ini pun terus ditabur secara kredit oleh Allah hingga hari akhir nanti.
Demikian juga dalam konteks lokal Indonesia, Islam datang setelah masyarakat secara luas menganut suatu keyakinan yang telah dianut nenek moyangnya secara turun temurun, seperti kepercayaan Animisme, Dinamisme, Hindu dan Budha. Beberapa ritual sosial keagamaan yang hadir di tengah kehidupan kita dan telah membudaya saat ini, terutama di Jawa, masih tampak kental corak warisan budaya nenek moyang tersebut, meskipun makin banyak yang telah berkesesuaian dengan zaman.
Di desa, seringkali ada warga datang ke rumah bertanya kepada Bapak, bertanya bagaimana jika dalam sajen kenduri mereka tidak memakai ayam jago jenis tertentu atau tidak mendapat barang-barang tertentu yang disakralkan. Bapak memberi jawaban lugas bahwa semua pernik materi itu sesungguhnya hanya simbol universum dan tidak wajib, sebab poin utama segala kenduri adalah ritus doa.
Penerimaan masyarakat terhadap dakwah para mubaligh atau dai yang datang dari berbagai penjuru dunia, baik dari Arab, Gujarat maupun Cina dengan mudah disebabkan Islam dibawa lengkap dengan corak tasawuf, di samping ajaran Islam sendiri yang memang shahih li kulli zaman wal makan. Dengar-dengar, kita dapat menemukan corak tersebut dalam karya-karya sastra keislaman yang lahir di kepulauan Nusantara pada masa awal seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin Al Raniri hingga ke serat-serat dari para sastrawan Jawa seperti Serat Hidayat Jati, Centhini dan lain-lain.
Para wali di tanah Jawa sebagai perintis dakwah Islam di Pulau Jawa mengenalkan Islam lewat kacamata pandang tasawuf, sehingga ajaran mereka mudah diterima masyarakat yang saat itu telah memiliki keyakinan Hindu-Budha yang telah mengurat-mengakar dalam kehidupan bermasyarakat. Pendeknya, tasawuf membuat agama tidak hanya tampil dengan wajah seperangkat aturan fikih, tetapi membawa jawaban atas soalan hidup seperti kesabaran, keikhlasan, ikhtiar, tawakkal, dab lain-lain. Media dakwah mulai dari suluk hingga wayang adalah cara agar risalah diterima lewat bahasa dan nilai-nilai yang diilhami masyarakat, berkesesuaian dengan kebutuhannya.
Hasilnya, pada masyarakat Using (baca: Osing) Banyuwangi, misalnya, masyarakat Islam, Hindu dan Nasrani, hidup berdampingan dalam nuansa tradisi keagamaan yang sama-sama kental, namun dapat hidup harmoni dan berdampingan. Jarak mesjid yang berdekatan dengan pura milik warga Hindu yang berada pada bagian depan rumahnya bukanlah soal. Pergesekan masyarakat, umumnya lebih terjadi karena persoalan ekonomi dan politik.
Hal ini persis apa yang Nabi lakukan ketika menerima nubuwwah untuk mengajak umatnya ke jalan Islam. Nabi berdakwah secara sirri, yaitu secara pelan-pelan dan sembunyi bagi kalangan tertentu yang memiliki ketertarikan personal.
Hal ini pula yang mendasari pergulatan Gus Dur sepanjang tahun 1970-an dan pada awal 1980-an ketika menyatakan ide bahwa sebuah konstitusi yang secara formal menetapkan peran bagi Islam dalam Negara akan membawa akibat tidak menyenangkan, bukan hanya bagi kaum nonmuslim dan kaum muslim abangan, melainkan juga bagi kaum muslim santri yang tidak setuju dengan garis resmi keagamaan yang dibuat negara. Gusdur (yang pada tahun-tahun itu giat bersandingan dengan pembaharu lain, yakni Kiai Achmad Sidiq) berargumentasi bahwa jika negara dilibatkan untuk menjadi juri bagi masalah-masalah agama, hasilnya akan selalu berupa penginjak-injakan kemerdekaan beragama banyak warga negara oleh negara.
Namun, pada saat yang sama, Gus Dur juga mengakui bahwa tidaklah dapat dipahami bahwa dalam masyarakat muslim terbesar di dunia, orang akan begitu saja menerima suatu konstitusi yang tidak mengakui sumbangsih agama terhadap masyarakat. Sehingga, lewat kompromi yang terbaik, menurut Pancasila, negara tidaklah bersifat sektarian, tidak pula bersifat sekular.
Demikian, kiranya sepotong racauan ini sesuai firman Allah: “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah: 8)
Barangkali, hal semacam inilah interpretasi seruan Gus Dur,“Tidak penting apapun agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak akan bertanya apa agamamu.”