Taqlid menjadi ‘epigon seolah-olah’ dan sesuatu yang tabu. Padahal, adakah di antara kita yang tidak pernah meniru? Dalam ranah akademik, ihwal pembuatan skripsi misalnya, seorang mahasiswa justru “diwajibkan” untuk meniru. Pengutipan dari pelbagai referensi sesungguhnya adalah bentuk lain dari peniruan, hanya saja ia adalah peniruan yang bertanggungjawab karena mencantumkan sumbernya.
Demikian juga di dalam beragama, adakah di antara kita yang tidak bertaqlid? Dan, bukankah bermadzhab kepada para Imam sebagaimana yang menjadi pilihan ahlussunah waljama’ah (aswaja) ala jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) atau Muhammadiyah, justru lebih bertanggungjawab ketimbang mereka yang dengan serampangan merujuk Al-Qur’an dan Al-Hadits tanpa menggunakan metodologi yang jelas? Jika diperpanjang, bukankah mereka yang menolak madzhab dan mengklaim “kembali kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits” pada dasarnya adalah bermadzhab juga? Yaitu bermadzhab kepada mereka yang anti madzhab?
Sehubungan dengan tiru meniru itu, salah seorang filsuf Jawa abad 19 mewariskan wejangan yang cukup menarik. Filsuf ini juga murid dari KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.
Tiru-tiru iku ora tiru jalaran sing ditiru ora tiru-tiru
Ki Ageng Suryomentaram, filsuf Jawa yang mewariskan filsafat kawruh jiwa, yaitu pemikiran mandiri berdasarkan rasa dalam diri manusia secara otonom, yang tidak bertumpu pada ajaran dari para guru, keyakinan, maupun kepercayaan tertentu termasuk doktrin agama. Ya, kawruh jiwa adalah filsafat yang bertumpu pada rasa manusia mulai dari yang terdangkal, rasa yang dalam, hingga rasa yang sangat dalam.
Secara sederhana, rasa terdangkal manusia adalah semisal rasa yang digunakan untuk merasakan rasa sakit pada tubuh, manis asin, senang susah berdasarkan tercapai atau tidaknya sebuah keinginan, dan bahagia derita yang bertumpu atas menang kalah. Rasa yang lebih mendalam adalah rasa yang dapat merasakan bahwa tidak ada kebahagiaan tanpa dengan membahagiakan orang lain, dan rasa yang dapat merasakan bahwa mengalahkan orang lain itu sama tidak nyamannya dengan ketika dikalahkan.
Adapun rasa terdalam adalah rasa yang dengan sendirinya akan terlahir tatkala seseorang telah terbiasa memilah dengan benar antara rasa dangkal dan rasa yang lebih mendalam pada dirinya dengan cara mawas diri yang disebut dengan pangawikan pribadi. Yaitu secara terus menerus, dari saat ke saat, memerhatikan pelbagai kehendak di dalam diri dan mengamati rasa-rasa yang ditimbulkannya.
Proses pangawikan pribadi ini harus dilakukan secara mandiri. Artinya harus dirasakan sendiri secara langsung dan tidak boleh hanya berdasarkan apa kata orang lain, termasuk kata Ki Ageng Suryomentaram. Karena itu, di dalam kawruh jiwa semua wejangan Ki Ageng—meskipun digunakan sebagai acuan—tetap diposisikan hanya sebagai katanya Suryomentaram belaka, sampai dengan laku tersebut bisa dilaksanakan dan dirasakan sendiri oleh yang bersangkutan.
Dalam kawruh jiwa sangat ditekankan bahwa tidak ada relasi antara guru dan murid. Artinya, seseorang yang melakukan praktik pangawikan pribadi tidak boleh hanya karena mengikuti apa yang dikatakan sang guru. Karena itu istilah sam’an wa tha’atan atau sami’na wa atha’na (kami mendengar dan melaksanakannya sesuai perintah) tidak berlaku. Bahkan “diharamkan” karena yang demikian itu termasuk kategori gugon tuhon (mengikuti instruksi dan melaksanakannya dengan begitu saja).
Ya, di dalam kawruh jiwa memang tidak ada pakon penging (keharusan dan larangan). Dimana seluruh proses pangawikan pribadi memang harus dilakukan secara otonom, yaitu melaksanakannya atas kemauan sendiri dan merasakannya secara langsung.
Pertanyaannya kemudian adalah, mungkinkah seseorang melakukan pangawikan pribadi dalam kawruh jiwa tanpa dengan mengikuti apa yang sebelumnya telah dilakukan oleh Ki Ageng Suryomentaram?
Nah, di sinilah relevansinya ungkapan Ki Ageng, “Tiru-tiru iku ora tiru jalaran sing ditiru ora tiru-tiru.” (Prilaku meniru tidaklah sebagaimana memfotokopi, karena apa yang ditiru bukanlah fotokopian). Ya, seseorang yang merasa 100% mengikuti apa yang diteladankan oleh nabi Muhammad berdasarkan laku para sahabat terdekatnya, meskipun telah berusaha maksimal untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits secara murni dan konsekuen, tetap saja tidak mungkin menjadi “fotokopi” sang Nabi.
Sama dengan tidak mungkinnya seseorang melakukan pangawikan pribadi dalam praktik kawruh jiwa tanpa mengacu kepada wejangan-wejangan Ki Ageng Suryomentaram, pengalaman orang-orang terdekat Ki Ageng, atau mereka yang telah terlebih dahulu mempraktikkannya. Ya, meskipun penekanan di dalam lakunya adalah ora ana guru murid (tak ada relasi guru murid) dan ora ana pakon penging (tak ada keharusan dan larangan).
Almuhaafadhah ‘alalqadiymishshaalih wal-akhdzu biljadiydil ashlah
Prinsip ber-aswaja yang memilih bertaqlid kepada para Imam di dalam menjalankan praktik keagamaannya demi menjunjung tinggi Al-Qur’an dan Al-Hadits, pun bukannya tanpa kekurangan. Karena merujuk Al-Qur’an dan Al-Hadits melalui “tangan kedua” dan seterusnya memang berpotensi untuk menjauhkan dari kemurniannya. Untuk itulah maka para masayikh juga mengantisipasinya dengan wejangan, “Almuhaafadhah ‘alalqadiymishshaalih wal-akhdzu biljadiydil ashlah.” (Mempertahankan dan menjaga apa-apa yang terdahulu yang sudah baik dan mengombinasikannya dengan sesuatu yang baru yang lebih baik).
Karena itu tidaklah mengherankan jika anak-anak muda berpikiran progresif juga tetap mendapatkan tempat di islam kita. Meskipun jumlahnya memang tak seberapa jika dibandingkan dengan para santri tradisional yang sami’na waatha’na terhadap para kyainya.
Makanya, saya yakin dinamisasi di dalam islam di Indonesia tetap terjaga. Tidak sampai terperangkap ke dalam “khurafat” hanya karena mengibarkan panji-panji Islam Nusantaras seperti kasus NU atau islam berkemajuan kayak Muhammadiyah, dan tetap konsisten menjunjung tinggi Al-Qur’an dan Al-Hadits dengan bermadzhab meskipun tetap memberikan keleluasaan untuk berijtihad bagi anak-anak muda yang berpikiran terbuka. Amin.[]
Muhaji Fikrono, penulis buku Puncak Makrifat Jawa dan Al Hikam untuk Semua. Tinggal di Jakarta.