Kenapa Harus Bermadzhab dan Menjunjung Tinggi Quran-Hadis

Kenapa Harus Bermadzhab dan Menjunjung Tinggi Quran-Hadis

Kenapa Harus Bermadzhab dan Menjunjung Tinggi Quran-Hadis
Al-Qur’an

Pada tanggal 9-11 Mei 2016, Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU), organisasi umat Islam terbesar di negeri ini, baru saja usai menghelat International Summit of Moderate Islamic Leaders (Isomil). Pertemuan internasional para pemimpin Islam moderat yang terselenggara di Jakarta dan dihadiri oleh 400an delegasi dari 35 negara itu ditutup dengan pembacaan Deklarasi Nahdlatul Ulama yang dibacakan oleh Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj.

Deklarasi yang berisi 16 kesepakatan itu dimukadimahi dengan kutipan Al-Qur’an surah al-Anbiya (QS. 21:107), “Kami (Allah) tidak mengutus engkau (Muhammad) kecuali sebagai pembawa rahmat bagi semesta.” Al-Isra’ (QS. 17:70), “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” Al-Hajj (QS. 22:78), “Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama.

Juga Hadits yang diriwayatkan Al-Baihaqi, “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia.” HR. Muslim, “Sesungguhnya Allah tidak mengutusku (Muhammad) sebagai orang yang mempersulit atau memperberat para hamba. Akan tetapi Allah mengutusku sebagai pengajar yang memudahkan.

HR. An-Nasai, “Seorang muslim sejatinya adalah orang yang seluruh manusia selamat dari lisan dan tangannya. Sedang seorang mukmin adalah orang yang mendatangkan rasa aman kepada orang lain dalam darah dan hartanya.” Muttafaq ‘Alaih, “Sesungguhnya Allah menyukai kelembutan dalam semua urusan.” HR. At-Tirmidzi, “Orang-orang yang menyayangi sesama, Sang Maha Penyayang menyayangi mereka. Sayangilah semua penduduk bumi niscaya penduduk langit akan menyayangimu.

Dan Muqaddimah Qonun Asasi Rais Akbar Jam’iyah NU Hadlratus Syaikh Hasyim Asy’ari, “Telah dimaklumi bahwa manusia niscaya bermasyarakat, bercampur dengan yang lain; sebab tak mungkin seorang pun mampu sendirian memenuhi segala kebutuhan-kebutuhannya. Maka mau tidak mau ia harus bermasyarakat dalam cara yang membawa kebaikan bagi umatnya dan menolak ancaman bahaya dari padanya. Karena itu, persatuan, ikatan batin satu dengan yang lain, saling bantu dalam memperjuangkan kepentingan bersama dan kebersamaan dalam satu kata adalah sumber paling penting bagi kebahagiaan dan faktor paling kuat bagi terciptanya persaudaraan dan kasih sayang. Berapa banyak negara-negara yang menjadi makmur, hamba-hamba menjadi pemimpin yang berkuasa, pembangunan merata, negeri-negeri menjadi maju, pemerintah ditegakkan, jalan-jalan menjadi lancar, perhubungan menjadi ramai dan masih banyak manfaat-manfaat lain dari hasil persatuan merupakan keutamaan yang paling besar dan merupakan sebab dan sarana paling ampuh.

Bermadzhab menjunjung tinggi Qur’an dan Hadits

NU, sebagaimana diketahui adalah organisasi umat Islam yang berpaham ahlussunnah waljama’ah (aswaja). Aswaja dalam rumusan NU merupakan paham Islam yang di dalam fikihnya berlandaskan empat mazhab yaitu Syafii, Hanafi, Maliki, dan Hambali. Dalam akidah, merujuk pada Imam Asy’ari dan Imam Maturidi, dan dalam tashawwuf sangat condong kepada Imam Al-Ghazali dan Imam Al-Bushiri.

Spirit Aswaja dalam NU ditekankan kepada empat sikap mendasar yaitu tawassuth (mengambil sikap di tengah-tengah), tawazun (menyeimbangkan antara dalil akal,  Hadits, dan Qur’an), i’tidal (bersikap adil), dan tasamuh (toleran). Sebagaimana yang ditegaskan dalam kesepakatan ke-6 dalam deklarasi.

Dalam kacamata NU, Qur’an dan Hadits tetap merupakan sumber hukum utama dalam Islam, namun  Qur’an dan Hadits diibaratkan sebagai bahan mentah yang tidak bisa dimanfaatkan begitu saja tanpa melalui proses pengolahan. Nah, ntuk menjadikan Qur’an dan Hadits sebagai  produk keputusan hukum, NU menggunakan metodologi yang dirumuskan oleh para imam yang menjadi rujukan.

Meskipun secara sepintas NU hanya bertaqlid, memilih menggunakan metode para ulama terdahulu tepatnya, yang demikian itu terjadi justru karena NU sangat menjunjung Qur’an dan Hadits sebagai sumber hukum tertinggi. Karena bagi NU, Qur’an dan Hadits memang tidak bisa dirujuk dengan sembarangan tanpa metode yang jelas oleh orang-orang yang belum atau bahkan tidak memiliki kompetensi.

Secara sederhana dalam praktik bermadzhabnya, NU lebih berpijak kepada segala sesuatu yang baik, yang membawa kemaslahatan bagi umat manusia dan semesta, silakan ditumbuhkembangkan selama tidak ada larangan yang tegas dalam Qur’an dan Hadits. Praktik keberagamaan ala NU yang semacam itulah yang akhir-akhir ini dipopulerkan dengan istilah Islam Nusantara.

Sementara kecenderungan mereka yang suka mengklaim Islamnya yang paling benar karena hanya berhukum kepada Qur’an dan Hadits—menurut pendapat mereka tentu saja—beranggapan bahwa segala sesuatu meskipun baik dan dapat membawa kemaslahatan bagi umat manusia dan semesta, selama tidak ada perintahnya di dalam Qur’an dan Hadits, maka ia adalah bid’ah. Dan semua bid’ah adalah sesat, karenanya  tidak layak bahkan haram dipraktikkan menurut mereka.

Tidak mengherankan jika Isomil NU 2016 yang mengusung tema “Islam Nusantara, Inspirasi untuk Peradaban Dunia” mendapat tanggapan yang cukup positif dari para pesertanya. Terutama rumusan pertama dari 16 kesepakatan, “Nahdlatul Ulama menawarkan wawasan dan pengalaman Islam Nusantara kepada dunia sebagai paradigma Islam yang layak diteladani, bahwa agama menyumbang kepada peradaban dengan menghargai budaya yang telah ada serta mengedepankan harmoni dan perdamaian.

Bahkan, Syaikh Amin Al Kurdy, Wakil Mufti (wakil ketua MUI-nya) Lebanon, dengan wajah sumringah usai pembacaan deklarasi berkata,Nanti kami usulkan untuk mengadopsi NU di Lebanon dengan konsep Islam Nusantara-nya. Di sini, mayoritas muslim namun tidak meminggirkan minoritas, secara pribadi saya siap mensupport.

Sebagaimana kesepakatan ke-16, “Nahdlatul Ulama akan berjuang untuk mengonsolidasikan kaum Ahlussunnah wal Jama’ah sedunia demi memperjuangkan terwujudnya dunia dimana Islam dan kaum Muslimin sungguh-sungguh menjadi pembawa kebaikan dan berkontribusi bagi kemaslahatan seluruh umat manusia,” dengan kesungguhan dan semangat kebersamaan, semoga Allah meridhai niat baik tersebut. Amin. []

Muhaji Fikriono adalah penulis buku Al Hikam untuk Semua dan Puncak Makrifat Jawa.