Berkunjung ke Masjid Lautze yang Bercorak Tionghoa, Simbol Toleransi di Kota Bandung

Berkunjung ke Masjid Lautze yang Bercorak Tionghoa, Simbol Toleransi di Kota Bandung

Anda mungkin jarang mendengar nama masjid Lautze atau Lau Tze, padahal ini menjadi simbol toleransi di kota Bandung hingga kini

Berkunjung ke Masjid Lautze yang Bercorak Tionghoa, Simbol Toleransi di Kota Bandung

Belum sah rasanya jika ke Bandung tanpa mengunjungi masjid Lautze atau Lau Tze. Apalagi jika anda termasuk penyuka sejarah dan segala dinamikanya. Masjid ini memiliki sejarah panjang, salah satunya terkait masuknya orang-orang tionghoa yang tidak bisa dipisahkan di Kota Bandung. Begitu juga dengan penyebaran agama islam. Di kota ini terdapat dua masjid dengan ornamen tionghoa, yaitu Masjid Lautze yang berada di jalan Tamblong dan Masjid Imtijaz yang berada di jalan Banceuy.

Dua masjid tersebut setiap harinya selalu ramai dengan banyak pengunjung. Bukan hanya orang-orang tionghoa, melain orang-orang sekitar yang singgah untuk melaksanakan shalat. Salah satu masjid yang selalu ramai dengan pengunjung masjid Lau Tze. Asal kata “Lautze” berasal dari seorang tokoh muslim Tionghoa yang memeluk Islam pada tahun 1930an. Saat kerusuhan Mei 1998, orang-orang Tionghoa sulit kesulitan belajar tentang islam.

Masjid Lau Tze yang ada di Bandung merupakan masjid kedua. Masjid Lautze yang pertama didirikan pada 9 April 1991 dan diresmikan pada 4 Februari 1994 oleh Presiden BJ Habibie kala itu.  Baru sekitar tahun 1997 masjid Lau Tze dua didirikan di Bandung. Dia menekankan masjid yang berada di Jakarta menjadi pusat dari masjid Lau Tze di Bandung. Masjid Lau Tze di Jakarta berada di daerah pecinan dan sangat menjadi symbol toleransi di kawasan Sawah Besar, Jakarta Pusat.

Baca juga: Islam dan Rasisme anti Tioanghoa

Salah satu bukti Masjid Lautze hadir di tengah masyarakat adalah dengan aktifnya para pengurus dan umat dalam menjalankan kegiatan sosial. Kegiatan sosial diadakan dalam bentuk kolaborasi dengan para pengurus tempat ibadah lain seperti gereja, wihara, kelenteng, serta warga sekitar.  Masjid Lau Tze di Jakarta dan di Bandung dikelola oleh Yayasan Haji Karim Oei. Sementara, Hj Karim Oei merupakan pendiri dari masjid Lau tze sekaligus menjadi sahabat Buya Hamka dan Bung karno. Foto ketiganya ikut dipajang di masjid itu sebagai sejarah yang ada.

Kata “Lautze” sebenarnya tokoh mualaf Tionghoa, Filosofikan nama karena di masjid Lautze ini pusatnya etnik Tionghoa jika ingin bersyahadat. Awal mula hadirnya Masjid Lautze, diawali dengan pendirian Yayasan Haji Karim Oei. Tujuan pendirian masjid adalah untuk menyampaikan Islam kepada etnis Tionghoa. Dengan demikian, Yayasan Haji Karim Oei pun dibentuk dengan berpusat di kawasan Pecinan. ”Untuk menonjolkan Islam sebagai agama yang universal dan cocok untuk etnis Tionghoa,” demikian informasi yang terdapat dalam situs Masjid Lautze.

Menurut Pengurus masjid Lau Tze, Jesslyn Reiner, dahulu ketika didirikan masjid ini bertujuan sebagai pusat informasi islam terutama bagi etnis tionghoa. Serta membina iman tauhid Islam kepada para mualaf Tionghoa.

”Dulu sekitar tahun 80-an terdapat jurang pemisah antara etnis tionghoa dan pribumi. Sehingga etnis tionghoa yang beragama islam tidak bisa belajar tentang Islam,” katanya.

Masjid yamg bangunan seperti sebuah bangunan toko dengan berukuran 7 x 6 meter seluruh temboknya hampir seluruhnya berwarna merah di bangun oleh arsitek lulusan ITB bernama Umar Widagdo.

”Sampai hari ini di Bandung ada sekitar 150 orang orang Tionghoa yang menjadi mualaf,” katanya.

Pembinaan orang Tionghoa di Masjid Lau Tze sendiri kurang lebih selama 3 bulan. Hal tersebut bermaksud untuk meneguhkan keimanan mereka terhadap islam. Setelah itu baru di lepas dan berbaur dengan masyarakat. Seiring dengan berjalannya waktu, masjid Lau Tze dan masyarakat Tionghoa saat ini cukup berbaur dengan masyarakat sekitar. Bahkan, ada banyak program untuk masyakat sekitar dianataranya ada kursus Bahasa Mandarin, kursus Bahasa Arab, dan kursus Shufa (seni kaligrafi Tionghoa).

Program lainnya yang tak kalah menarik seperti Khalifah Singer dan Lautze Publishing. Khalifah Singer sendiri merupakan kelompok vokal lagu-lagu religi Islam dengan sentuhan instrumen khas Tionghoa. Sedangkan Lautze Publishing merupakan penerbitan yang memfokuskan diri mencetak buku-buku Islam dan Tionghoa.

”Untuk perayakan Imlek memang tidak ada larangan sejauh tidak turut melakukan hal-hal yang dapat melanggar akidah,” katanya.

Kalau sekedar kumpul keluarga dan saling bersilaturahmi tidak masalah, nuansanya jadi mirip seperti merayakan lebaran saja. Perayaan Imlek dikalangan muslim keturunan Tionghoa hanya  lingkup keluarga saja, tidak secara khusus dirayakan di mesjid mereka.