Ibu, malaikat tak bersayap yang dihadirkan di tengah-tengah kehidupan kita semua. Seorang ibu mempunyai kekeramatan tersendiri bagi anak-anaknya. Kekeramatan tersebut berlaku untuk semua manusia, baik yang perilakunya terpuji maupun tercela. Dan salah satu kekeramatan seorang ibu adalah melalui doa-doanya.
Sebab, doa-doanya mampu membawa keberkahan bagi kehidupan anak-anaknya. Oleh sebab itulah, jika kita masih mempunyai seorang ibu, mintalah kepadanya untuk mendoakan kita setiap harinya.
Salah satu bukti keberkahan doa seorang ibu pernah dialami salah seorang ulama bernama Sulaim bin Ayyub ar-Razi. Seperti yang dijelaskan Imam Adz-Dzahabi dalam kitabnya as-Siyar, bahwasanya saat Sulaim ar-Razi masih kecil, kira-kira umurnya masih sepuluh tahun. Dia pergi belajar kepada sebagian gurunya yang ada di daerah Rayy.
Saat sedang belajar dengan gurunya, Sulaim ar-Razi disuruh maju oleh sang guru. Kepada Sulaim ar-Razi, sang guru berkata, “Maju, dan cobalah baca Al-Qur’an.“
Saat diminta oleh sang guru untuk membaca Al-Qur’an, ternyata Sulaim ar-Razi tak mampu membacanya. Mulutnya terbata-bata saat dia ingin melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Walaupun begitu, dia tetap berusaha semaksimal mungkin dan ternyata masih tetap tidak bisa. Mulutnya terasa kaku, dan tak mampu untuk membaca Al-Qur’an.
Melihat Sulaim ar-Razi yang sangat kesulitan untuk membaca Al-Qur’an, walaupun sudah berusaha sekuat tenaga. Sang guru pun bertanya kepadanya, “Apakah engkau punya ibu?“
Sulaim ar-Razi pun menjawab, “Ya, masih.“
Sang guru kemudian berkata, “Kalau begitu, mintalah kepada ibumu agar dia berdoa kepada Allah swt supaya kamu bisa membaca Al-Quran dan pandai ilmu agama.“
Mendapat perintah seperti itu, Sulaim ar-Razi pun menjawab, “Ya, akan saya sampaikan.“
Sulaim ar-Razi kemudian pulang dan menemui ibunya. Kepada sang ibu, dia meminta supaya didoakan. Mendapat permintaan dari putranya tersebut, si ibu pun berdoa kepada Allah swt supaya anaknya tersebut diberi kemudahan dalam belajar.
Waktu pun terus berjalan, hingga Sulaim ar-Razi menginjak usia dewasa. Di usianya yang menginjak dewasa tersebut, Sulaim ar-Razi kembali berkelana untuk menuntut ilmu. Kali ini dia memilih Baghdad sebagai tempat tujuannya untuk belajar dan menimba ilmu. Di kota ini, dia belajar ilmu Bahasa Arab dan Fiqih.
Setelah selesai berkelana menuntut ilmu, Sulaim ar-Razi pun pulang ke kampung halamannnya di kota Rayy. Hingga pada suatu hari, dia sedang menyalin kitab Muhtashar al-Muzanni di masjid Jami’. Kebetulan, waktu itu juga datang gurunya yang dulu pernah menyuruhnya untuk meminta doa sang ibu saat sedang kesulitan dalam belajar
Si guru itu pun datang sambil mengucapkan salam kepada Sulaim ar-Razi, namun sang guru ternyata sudah tidak mengenalinya lagi. Saat itu juga Sulaim ar-Razi sedang membacakan kitab yang sedang disalinnya, namun gurunya yang juga ikut mendengarkan ternyata tidak faham dengan apa yang sedang dibaca oleh Sulaim ar-Razi.
Si guru pun kemudian bertanya, “Kapan ilmu seperti ini bisa dipelajari?“
Melihat gurunya berkata seperti itu, Sulaim ar-Razi pun ingin sekali berkata,”Jika Anda punya seorang ibu, mintalah dia untuk mendoakan Anda.” Namun, Sulaim ar-Razi memilih diam. Dia merasa malu mengatakan hal tersebut kepada guru masa kecilnya itu. Karena gurunya tersebut lebih tau mengenai bagaimana caranya menjadi seperti itu.
Doa seorang ibu adalah doa yang sangat mustajab dan mampu menembus langit. Oleh sebab itulah, jangan pernah melukai hati seorang ibu. Dan jangan pernah lelah untuk berbakti kepada kedua orang tua, dan selalu meminta untuk didoakan setiap harinya. Sebab, doa yang dipanjatkan oleh seorang ibu mempunyai keberkahan dan kekeramatan yang tiada tara.
Selain doa ibu yang mustajab, kisah Sulaim ar-Razi di atas mengajarkan tentang adab seorang yang berilmu. Sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Prof. Quraish Shihab bahwasanya, “Ada etika dalam ilmu. Jangan menjawab satu pertanyaan walau kamu ketahui jawabannya, kalau ada orang yang lebih pandai darimu.“
Apa yang dilakukan Sulaim ar-Razi saat ditanya gurunya yang sudah tidak mengingatnya lagi, tentang bagaimana cara bisa paham terhadap kitab Muhtashar al-Muzani adalah sebuah keluruhan budi pekerti orang berilmu. Walaupun dia tau jawabannya atas pertanyaan tersebut, namun dia memilih untuk tidak menjawabnya. Karena sejatinya, sang guru lebih mengetahui jawabannya.