Jika Anda sempat ke Dili, Timor Leste, maka sempatkanlah mengunjungi Masjid An-Nur di Dili, Timor Leste. Masjid ini, sampai sekarang, masih berdiri tegak dan jadi salah satu masjid di negara tetangga tersebut. Hal unik lainnya, masjid ini masih menggunakan bahasa Indonesia. Kok bisa?
Jadi, saat ini di Diil masih banyak orang Indonesia dan banyak juga muslim di area situ. Masjid ini jadi tempat pertemuan dan saling terkoneksi antar komunitas.
Di samping itu, bahasa Indonesia juga lazim digunakan oleh para penduduk setempat selain bahasa Tetun dan bahasa Portugis.
Jika Anda datang pada hari Jumat, misalnya, maka akan dengan gampang berjumpa dengan komunitas muslim Indonesia di Timor Leste. Para ustaz atau pengajar di masjid ini mayoritas berasal dari Indonesia. Salah satunya, Mustofa yang sudah beberapa tahun tinggal di Dili.
Beliau berasal dari kota Lhokseumawe, Provinsi Aceh, dan saat ini sudah menikah dengan penduduk setempat.
Meskipun banyak ustaznya dari Indonesia, imam besar Masjid An-Nur merupakan penduduk setempat, yakni Ustaz Anwar Da Costa.
Amat Triatna, peneliti dari Kemendikbud, mengisahkan pengalamanannya mengunjungi Masjid An-Nur.
Di sepanjang jalan menuju masjid, katanya, berdiri kios-kios yang menjual berbagai macam pakaian, sepatu, perlengkapan salat, dan lain-lain.
Menurut keterangan salah satu pengurus masjid yang ditemui Amat Triatna, 90 persen dari pemilik kios-kios pakaian itu berasal dari Makassar, Indonesia.
Selain produk sandang, terdapat juga beberapa rumah makan dan gerobak yang menjajakan makanan khas Indonesia seperti masakan Padang, bubur ayam, ayam bakar, bakwan, dan sejenis pecel.
“Siapa pun terutama yang beragama muslim tidak perlu lagi khawatir untuk bepergian ke negara ini. Timor Leste memang luar negeri berasa dalam negeri,” tulisnya.
Khutbah Jumat Berbahasa Indonesia
Khutbah salat Jumat di Masjid An-Nur di Dili, selalu menggunakan bahasa Indonesia karena mayoritas jemaah berasal dari negara tetangga Timor Leste itu.
Di negara yang berbahasa resmi Tetun dan Portugis ini, penggunaan bahasa Indonesia masih sangat melekat di kehidupan warga.
Hal ini tidak hanya karena Timor Leste pernah menjadi bagian dari Indonesia, tetapi juga karena budaya-budaya pop Indonesia.
Budaya pop Indonesia disebut telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari warga Timor Leste. Mulai fesyen, artis-artis hingga sepak bola dikenal di negeri yang saat ini dipimpin Jose Ramos Horta ini.
Selain itu, menurut undang-undang negara Timor Leste, pada Bagian VII mengenai Ketentuan-Ketentuan Akhir dan Sementara Pasal 159, bahasa Indonesia merupakan bahasa yang diakui sebagai bahasa kerja.
Meskipun menjadi minoritas di negeri yang 90 persen beragama Katolik, umat Islam di Timor Leste hidup dengan normal dan aman.
Saksi Bisu Hiruk Pikuk Politik
Ketika Timor Leste berada di bawah pendudukan Portugis, masyarakat Kampung Alor menjadikan Masjid An-Nur ini sebagai salah satu tempat perjuangan politik untuk mengusir penjajah.
Tokoh-tokoh muslim di sana seperti Haji Salim Bin Said Al-Katiri, Hedung Bin Abdullah dan Sya’ban Joaqim meminta bantuan rakyat untuk mengusir penjajah.
Ketika masa peralihan Timor Timur menjadi Timor Leste, tempat ini juga menjadi tempat bernaung warga Indonesia.
Waktu itu, sempat terjadi ketegangan terkait kewarganegaraan saat proses kemerdekaan Timor Leste dari Indonesia pada 2001.
Masjid ini menjadi tempat warga Indonesia dan warga muslim berkumpul dan berbagi informasi.
Kini, masjid ini tetap berdiri megah dan jadi simbol toleransi di Kota Dili. Konflik kewarganeraan pun sudah tidak ada lagi. Masyarakat setempat pun sudah melebur jadi satu sebagai warga Timor Leste.
Masjid An-Nur ini akhirnya menjadi saksi sejarah tumbuh-kembang perkembangan Islam di Timor Leste.