Sesekali, cobalah membandingkan membaca buku biografi dua pionir proklamasi kemerdekaan bangsa kita: Ir. Sukarno dan Dr. Hatta. Di sana Anda akan menemukan berjibun perbedaan dan (cuma) segelintir persamaan di antara mereka. Dalam buku biografi yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, presiden RI pertama itu terlihat memiliki karakter yang lincah, pemberani, humoris, suka bicara, pemikir revolusioner, dan tidak bisa jauh dari kasih sayang perempuan.
Sebaliknya, dalam buku yang ditulisnya sendiri, Untuk Negeriku: Sebuah Otobiografi, Bung Hatta menunjukkan karakter yang berseberangan sama sekali dengan rekannya. Bung Hatta lebih kalem, santun, banyak diam, gemar membaca, pemikir evolusioner, hampir tak pernah bercanda, masa bodoh dengan perempuan, dan lebih islami. Sifat terakhirnya inilah yang membuat saya sedikit kaget di awal. Saya yakin, jika Anda membaca memoarnya (terutama pada jilid pertama) dengan khusyuk, kurang lebih akan terceletuk komentar, “Lah, ini buku biografi intelektual atau kumpulan ceramah agama? Adem banget bacanya.”
Usut punya usut, ternyata wakil presiden bernama asli Mohammad Athar itu masih keturunan Syekh Abdul Rahman, ulama dan ahli tarekat terkemuka di wilayah Sumatera, Kalimantan, dan Malaya. Lingkungan agama yang kuat di Bukittinggi, tempat Bung Hatta tinggal dan tumbuh besar, ditambah menjadi anggota keluarga besar ahli agama, membuat pendidikan Islam Bung Hatta pada masa kecil tidak diragukan lagi. Nilai-nilai keislaman yang dipelajarinya dari keluarga dan guru-gurunya seakan sudah menubuh dalam setiap tindakannya. Bahkan, saking islaminya keluarga Bung Hatta, ia pernah berencana melanjutkan studinya ke Mekkah dan Kairo, meski rencana itu tidak terlaksana dan akhirnya Bung Hatta malah mengembara ke Jakarta dan Rotterdam.
Suatu hari, Bung Hatta pernah bercerita tentang Perang Padri yang berlangsung di Sumatera Barat mulai tahun 1820-an hingga awal 1840-an. Perang Padri berawal dari pertentangan kaum adat dan kaum agama. Kaum agama yang baru datang dari Mekkah, yang di sana terpengaruh sikap keras dan puritan dari kaum Wahabi, hendak membersihkan agama Islam di Minangkabau yang bercampur tradisi. Bung Hatta sangat menyayangkan perang saudara yang berlangsung di daerahnya tersebut. Apalagi konfrontasi ini diperparah dengan pihak kolonial yang ikut menunggangi kaum adat untuk memuluskan kepentingannya. Hal ini mengindikasikan bahwa agama merupakan alat pemecah belah umat yang sangat efektif.
“Mereka lupa bahwa hukum yang setinggi-tingginya dalam Islam ialah damai,” kata Bung Hatta mengkritik perang tersebut. “Damai membawa kesejahteraan kepada segala golongan dan memperbesar rasa bakti kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Di atas dasar damai itu Nabi Muhammad SAW membiarkan berlaku hukum kebiasaan di Tanah Arab yang menjamin keselamatan umum. Tetapi menurut kebiasaan, pengikut-pengikut baru dalam Islam yang belum memahami ajaran Islam seluruhnya untuk dunia dan akhirat lebih fanatik dibandingkan dengan Rasul dan pengikut-pengikut yang pertama,” lanjutnya.
Ucapan Bung Hatta, saya rasa, sangat esensial dalam mengartikan sebuah agama. Cita-cita “Islam Damai” pada dasarnya akan terus relevan sampai kapan pun, bahkan sampai zaman kiwari. Argumentasi Bung Hatta bisa menjadi tamparan keras pada pipi umat Islam Indonesia jika melihat kondisi beberapa tahun belakangan ini. Meski tidak sampai terjadi perang, tapi kasus-kasus kekerasan, intimidasi, intoleransi, kesewenang-wenangan mayoritas terhadap minoritas, sangatlah memalukan. Andai Bung Hatta masih hidup, saya kira beliau akan memarahi kita dengan berkata, “Apa kalian tidak pernah belajar dari sejarah? Hah?”
Di sisi lain, Bung Karno pernah bercerita soal polemiknya dengan Bung Hatta tentang cara meraih kemerdekaan. Bung Karno menginginkan kemerdekaan yang cepat, yaitu dengan memimpin rakyat melawan penjajah secara terang-terangan. Bung Karno menyadari bahwa akan ada banyak rakyat yang gugur dalam perjuangan ini, tapi gugurnya ribuan rakyat itu bukanlah masalah besar jika kelak bisa menyelamatkan ratusan juta orang dari cengkeraman penjajah. Bung Hatta menentang keras cara ini. Bagi Bung Hatta, dalam sebuah perjuangan jangan sampai ada satu pun nyawa yang melayang. Ia pun menawarkan cara yang lebih halus, yaitu dengan mendidik rakyat supaya sadar dan mampu melawan penjajah dengan cara yang lebih “terdidik”. Meski perebutan kemerdekaan ala Bung Hatta akan memakan waktu lama, namun tak akan ada nyawa ribuan rakyat yang hilang.
Kita melihat jiwa humanis Bung Hatta begitu besar. Sifat kemanusiaan ini dalam Islam merupakan bagian dari maqashid as-syari’ah (tujuan utama syariat), yaitu hifdz al-nafs alias hak untuk hidup. Inilah yang dipertahankan Bung Hatta untuk merebut kemerdekaan.
Sikap Bung Hatta tidak terlepas dari pengalamannya saat hidup bersama keluarga besarnya di Bukittinggi. Bung Hatta pernah menceritakan kedekatannya dengan sang kakek yang ia panggil Pak Gaek. Pak Gaek memiliki 18 ekor kuda di pekarangannya. Kuda-kuda itu dibuatnya untuk mengantar pos dengan gerobak dari Bukittinggi ke Sibolga. Untuk mengurus kuda-kudanya, Pak Gaek mempekerjakan beberapa pembantu. Perlakuan mulianya terhadap para pembantunya inilah yang menjadi pelajaran membekas pada Bung Hatta saat kecil. Ia sering dinasihati kakeknya soal nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupan. “Kita sama-sama manusia. Kalau tidak karena mereka, tak dapat aku mengerjakan pekerjaan sebanyak itu,” kata Pak Gaek suatu hari.
Ada banyak cara berislam dewasa ini. Allah menurunkan al-Qur’an sebagai pedoman hidup yang berisi kebenaran untuk seluruh umat manusia. Namun tak lantas secara tiba-tiba semua manusia menjadi otomatis benar. Setiap orang selalu memiliki cara pemahamannya sendiri yang kemudian terwujud menjadi caranya berislam. Di sini, karakter Bung Hatta sedikit banyak menunjukkan berislam ala dirinya sendiri. Barangkali, berislam ala Bung Hatta yang mengutamakan “Islam Damai” dan humanisme itu bisa kita jadikan satu teladan. Wallahhua’lam.