Apabila seorang suami melakukan hubungan dengan istrinya saat berpuasa Ramadhan, otomatis puasa hari itu menjadi batal dan wajib diqadha di luar Ramadhan. Di samping mengqadha, kewajibannya adalah menunaikan kafarat memerdekakan budak, atau berpuasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang miskin. Bahkan bila pelanggaran ini dilakukan berulang kali di hari yang berbeda maka kafaratnya pun berlipat.
Berbeda dengan pelanggaran ini dilakukan berulang pada hari yang sama, tidak dilakukan berlipat. Perbedaan pendapat ulama adalah dalam menentukan siapa saja yang dikenai denda ini antara suami dan istri sekaligus atau hanya suami saja. Namun demikian, kesepakatan ulama dalam hal ini adalah mengenai batalnya puasa orang tersebut dan diwajibkan menunaikan kafarat.
Al-Imam Abu Ibrahim Ismail Ibn Yahya Ibn Ismail al-Muzani (w.264H);
روي في الحديث عن النبي في الصائم يقع على امرأته فقال النبي أعتق وافعل ولم يذكر أن عليه القضاء وأجمعوا أن عليه القضاء
“Dalam hadis Nabi diriwayatkan tentang seseorang yang sedang berpuasa melakukan hubungan dengan istrinya. Lalu Nabi berkata; Merdekakanlah budak tanpa menyebut qadha. Namun para ulama sepakat adanya qadha”
(Al-Muzani, Mukhtashar al-Muzanî, hal.66)
Al-Imam Abu al-Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Habib al-Mawardi (w.450H);
فإن وطئ في صوم رمضان فقد أفسد صومه، ولزمه القضاء والكفارة، وحكي عن سعيد بن جبير والشعبي والنخعي، أن عليه القضاء ولا كفارة قياسا على الأكل، وعلى من وطئ في الصلاة، وهذا خطأ والإجماع منعقد على خلافه
“Jika seseorang berhubungan saat berpuasa Ramadhan maka puasanya batal, dan dia harus mengqadha puasa hari itu dan menunaikan kafarat. Dikabarkan dari Sa‘id Ibn Jubair, al-Sya‘bî, al-Nakha‘î, bahwa kewajibannya hanya qadha saja tanpa kafarat, karena dianalogikan dengan makan. Hal ini keliru, sedangkan ijma‘ justeru sebaliknya”
(Al-Mawardi, al-Hâwî al-Kabîr Syarh Mukhtashar al-Muzanî, vol.3, hal.917)
Al-Imam Abu Bakr Muhammad Ibn Abdillah Ibn Muhammad Ibn al-Arabi (w.543H);
واتفق الناس على أن من وطئ أهله في رمضان متعمدا أنه قد أتى كبيرة وعليه الكفارة
“Dan ulama menyepakati wajibnya kafarat bagi orang yang berhubungan dengan istrinya di siang Ramadhan dengan sengaja, dan dia telah melakukan dosa besar”
(Ibn al-‘Arabi, Al-Qabas Fi Syarh Muwattha’ Malik Ibn Anas, hal.498)
Al-Imam Abu Muhammad Abdullah Ibn Ahmad Ibn Qudamah al-Maqdisi (w.630H);
فإذا عدم الرقبة انتقل إلى صيام شهرين متتابعين، ولا نعلم خلافا في دخول الصيام في كفارة الوطء إلا شذوذا … لا نعلم بين أهل العلم خلافا في دخول الإطعام في كفارة الوطء في رمضان
“Bila tidak ada budak yang akan dimerdekakan, maka kewajibannya adalah berpuasa dua bulan berturut-turut. Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat tentang wajibnya berpuasa ini sebagai kafarat berhubungan, kecuali dari pendapat yang ganjil … Kami pun tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat ulama tentang dimasukkannya kewajiban memberi makan (60 miskin) sebagai kafarat berhubungan di siang Ramadhan ini”
(Ibn Qudamah, al-Mughnî Syarh Mukhtashar al-Kharqî, vol.3, hal.66)