
Dulu saya pikir, cara menghindarkan risiko anak dibuli di sekolah adalah dengan mendaftarkannya ikut bela diri (baca: Tae Kwon Do). Agar si anak jadi kuat—minimal tidak jadi kalah-kalahan di sekolahnya.
Ternyata logika itu tidak 100 persen akurat. Ada benarnya, tapi tidak sepenuhnya pas.
Di bela diri, anak saya memang belajar menendang, belajar memukul. Secara fisik belajar menjadi tangguh. Namun dari sisi mental, anak saya juga belajar disiplin, sabar, dan rendah hati.
Bagus. Saya suka sekali. Cuma ada konsekuensinya.
Di kehidupan nyata, di sekolah, anak saya malah jadi agak ngalahan dan gak enakan. Bahasa kerennya: people pleaser. Diminta apa sama temannya ikut.
Diminta nulisin tugas temannya, manut. Gojekan agak keras dikit gak mau bales.
Sabar. Tapi keterlaluan. Rendah hati. Tapi kebangetan. Disiplin? Oh, kalau yang itu sih, masih bisa kita bicarakan.
Puncaknya, suatu hari ia tidak mau berangkat sekolah. Pengakuannya, ada satu temannya yang sering membuli.
Saya tidak perlu cerita detailnya. Anak saya cerita sambil menangis. Bahkan di tengah-tengah cerita itu, ia minta pindah sekolah karena sudah tidak tahan.
Sebagai ayah, tentu saya marah mendengar itu. Rasanya pengen mencari si anak pembuli itu, lalu pengen ngulek sambel terus dicolekin ke hidungnya. Biar si anak itu sadar sepedes apa hati ayah dari anak yang dibuli.
Cuma saya juga sadar, saya tidak ingin terlalu terlibat dalam penyelesaian persoalan anak saya.
Kalau saya terlibat agak jauh, saya khawatir anak saya akan terlalu mengandalkan saya dalam segala macam persoalan hidupnya.
Dan yang begitu, bukan cara hidup yang fair. Menurut saya.
Di tengah-tengah permintaanya pindah sekolah itu, saya cuma bilang ke anak saya.
“Skala,” nama anak saya, “Nggak ada jaminan kalau Skala pindah sekolah lalu Skala nggak ketemu pembuli lagi.”
Skala tetap menangis, sambil memohon-mohon untuk pindah sekolah.
“Ini baru ‘raja pertama’ dari hidupnya Skala. Skala harus ngadepin kalau mau next level. Jangan lari. Skala kan lebih besar. Punya basic 1 sampai basic 3 Tae Kwon Do. Boleh kok ngebales,” kata saya.
Saya lalu memberitahunya, bahwa di setiap sekolah, di mana pun, selalu ada risiko buli.
Mau semelek atau seterbuka apapun pengetahuan tentang buli di banyak lembaga pendidikan, buli akan jadi efek sampingnya.
Langkah terbaiknya apa? Ya paling sederhana adalah melawannya secara terbuka.
Dan harus dengan (catatan penting) tangan si anak sendiri, bukan tangan orang tuanya.
Karena sudah ada beberapa contoh. Bagaimana seorang anak menjadi seenaknya karena orang tua selalu terlibat dalam setiap masalah hidup anaknya.
Dan saya, tidak mau punya anak seperti itu.
Ya, Skala ya?