Bulan Syawal seperti sekarang ini biasanya dimeriahkan oleh musim pendaftaran santri baru. Selain itu, pelajar atau santri lama juga mulai kembali ke pesantren setelah libur lebaran.
Meski begitu, masih ada stereotipe di kalangan masyarakat yang menganggap bahwa kehidupan di pesantren itu identik dengan mimpi buruk bagi kesehatan kulit. Ini bisa dimengerti karena orang tinggal di pesantren dengan komunitas yang padat mendatangkan sejumlah risiko. Rata-rata keluhannya sama. Gudig, kudis, atau bahasa kedokterannya skabies, adalah sebuah penyakit yang biasanya mudah ditemukan di kalangan para santri.
FYI, skabies merupakan penyakit kulit yang disebabkan sejenis tungau bernama Sarcoptes sabiei. Tungau yang terlihat secara mikroskopik ini menimbulkan keluhan gatal hebat terutama pada malam hari dan dapat menular dengan cepat terutama pada kelompok yang tinggal bersama seperti di pesantren ini. Kontak fisik yang dekat dan lebih jarang serta berbagai pakaian atau alas tidur dengan individu yang terinfeksi dapat menyebabkan penularan tungau.
Meskipun terlihat sepele, ‘hanya’ masalah gatal, nyatanya skabies dapat kelewat mengganggu kualitas hidup dan membuat seseorang sulit melakukan aktivitas hariannya dengan optimal. Bahkan untuk tidur dengan nyenyak pun penderitanya sulit. Selain itu, menggaruk terus menerus dapat menyebabkan komplikasi seperti infeksi bakteri, yang membuat pengobatannya menjadi lebih sulit.
Angka kejadian skabies di seluruh dunia dilaporkan sekitar 300 juta kasus per tahun sedangkan di Indonesia Indonesia sebesar 4,60% – 12,95%. Penyakit ini menduduki urutan ketiga dari 12 penyakit kulit tersering. Banyaknya kasus skabies yang hilang timbul dapat disebabkan beberapa kondisi.
Santri sering harus tinggal bersama dalam satu ruangan yang bisa dikatakan padat. Saya pernah mengunjungi pesantren tempat pasien saya mondok, atas permintaan pihak pesantren dan keluarga tentunya. Pesantren pertama yang saya kunjungi memiliki kamar berukuran 10×6 m2 yang harus dihuni oleh 40 orang santri. Pesantren ke-2, memiliki kamar berukuran 3×5 m2 yang harus diisi oleh sekitar 15 santri. Tak ada tempat tidur, hanya Kasur yang digulung dan ditumpuk di sudut ruangan pada pagi hari. Meskipun sinar matahari masih dapat masuk ke kamar dan ventilasi ada, tentu belum memadai. Dapat dibayangkan tungau yang bersarang pada alas tidur akan segera berpindah dan menyebar.
Penyakit ini dapat pula ditularkan karena kontak fisik yang erat. Kondisi ruangan yang sempit tentu mau tak mau membuat kontak yang erat. Belum lagi masih adanya kebiasaan bertukar atau saling pinjam selimut, bantal, alas tidur, atau bahkan handuk. Selain itu, beberapa faktor lain yang dapat berpengaruh adalah higiene serta daya tahan individu yang tentu dipengaruhi pula oleh faktor asupan nutrisi yang memadai.
Belum lagi anggapan atau kelaziman di kalangan pesantren yang menganggap skabies adalah penyakit lumrah di pesantren. Bahkan salah satu pengantar pasien berujar, “belum nyantri kalau belum kena gudig, Dok.” Mungkin tidak di pesantren yang dapat dikatakan modern, namun di sebagian lainnya yang masih amat tradisional, anggapan ini kerap pula muncul di kalangan pengelola pesantren.
Bagaimana caranya agar santri tidak terancam gudig saat mondok?
Idealnya, penyakit komunal seperti ini harus ditangani secara masal. Pengobatan tidak hanya untuk individu yang terkena, melainkan juga untuk seluruh penghuni lainnya meskipun tak ada keluhan. Selain itu, perlu dilakukan upaya pencegahan kembali termasuk penataan ulang ruangan dan pembatasan jumlah santri (yang mungkin sulit dilakukan), mencuci pakaian dan kain-kain lainnya secara benar. Juga mengatur sirkulasi udara dan sinar matahari masuk, hingga rutin menjemur alas tidur.
Kenyataannya, pengobatan yang mestinya dijalankan massal sering tidak dilakukan. Setiap santri berobat masing-masing saat pulang liburan, sembuh, namun kemudian kambuh saat waktu mondok tiba. Belum lagi risiko menularnya skabies pada anggota keluarga di rumah yang tentu menjadi masalah berikutnya. Demikian berulang-ulang. Hasilnya, sampai saat ini pemusnahan skabies masih sulit mencapai hasil yang memuaskan.
Berbagai upaya sejatinya telah dilakukan. Ada pesantren yang memiliki klinik dan dokter sendiri sehingga bisa langsung menangani kasusnya. Ada pula yang bekerja sama dengan Puskesmas. Lembaga-lembaga terkait maupun organisasi profesi hingga perseorangan pun telah melakukan berbagai upaya seperti edukasi dan pengobatan massal. Namun, mengingat jumlah pesantren yang tidak sedikit, sepertinya perlu strategi dan sinergi penanganan yang lebih menyeluruh dan terarah, terutama terkait dengan kebijakan.
Salah satunya adalah peran dari Kementerian Keagamaan. Pesantren yang akan didirikan, mungkin harus dilengkapi dengan syarat tertentu saat pengajuan pendirian, terkait bangunan fisik yang memadai serta daya tampungnya yang harus diberlakukan pembatasan. Santri tidak boleh asal ditampung memenuhi ruangan namun harus tetap memperhatikan kaidah kesehatan diri dan lingkungan yang diatur persyaratannya oleh Dinas Kesehatan. Lebih baik lagi apabila diberlakukan syarat harus terdapat fasilitas kesehatan sederhana bekerja sama dengan Puskesmas terdekat. Ini tentu memiliki konsekuensi, ketidak leluasaan untuk mendirikan pesantren baru. Namun bagaimanapun, penting untuk menjamin kualitas pendidikan dan kesehatan santri.
Dalam proses operasional selanjutnya, perlu dilakukan pemantauan berkala oleh dinas terkait agar fasilitas tetap terjaga. Pemantauan berkala harus dilakukan pula pada fasilitas pesantren yang telah ada saat ini. Edukasi terus menerus serta penanganan santri yang telah berpenyakit pun tetap harus dilakukan. Mengubah cara berpikir masyarakat bahwa ini adalah penyakit lazim santri pun harus dilakukan terus menerus.
Ujung tombak pemantauan bisa dilakukan oleh individu-individu atau kelompok masyarakat yang peduli dan diberikan pelatihan khusus untuk menjadi pasukan ‘laskar kesehatan’ pesantren. Pemberian bekal pengetahuan dan pelatihan ini dapat dilakukan bekerja sama dengan organisasi profesi seperti Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin serta Dinas Kesehatan setempat.
Mengenyahkan dan menurunkan angka kejadian skabies untuk meningkatkan kualitas hidup khususnya para santri dan masyarakat pada umumnya, memerlukan komitmen yang tidak kecil. Kerja sama yang baik antar dinas di pemerintahan, orang tua, pihak pesantren serta masyarakat yang peduli termasuk pula media, perlu terus dibina untuk mencapai tujuan ini.