Isu agama tampaknya masih dijadikan elit politik sebagai salah satu cara untuk mendulang suara di negeri ini. Seperti momentum capres dan cawapres yang telah resmi didaftarkan di KPU meski perhelatan pemilihan presiden masih 8 bulan lagi. Calon Presiden incumbent, Joko Widodo, yang lelah dengan berbagai macam tuduhan tidak islami yang dialamatkan kepadanya, menggandeng K.H. Ma’ruf Amin, seorang ulama senior, Rais Syuriah PBNU sekaligus Ketua MUI. Di sisi lain, Calon Presiden Prabowo Subianto, menggandeng Sandiaga Uno,yang mengklaim diri mereka sebagai pasangan yang direstui oleh para ulama.
Fakta bahwa mayoritas bangsa Indonesia adalah pemeluk agama Islam menjadikan para elit politik untuk berlomba-lomba mencitrakan diri mereka sebagai citra politisi yang paling saleh diantara para pesaingnya. Secara akademis, Prof. Saba Mahmoud, menyebut fenomena ini sebagai sebagai politic of piety, politik kesalehan. Sebuah fenomena kesalehan yang dipamerkan demi merebut keuntungan politis semata.
Sejatinya, ada dua jenis kesalehan yang selama ini disebut-sebut oleh para akademisi, yakni kesalehan individual dan kesalehan sosial. Kesalehan individual berfokus pada sikap kesalehan seorang manusia terhadap Allah. Ini tercermin misalkan dari tingkat ketaatannya pada Allah dalam hubungan antara makhluk dan khalik. Orang yang saleh secara individual biasanya ditandai dengan shalat fardhu di awal waktu, berpuasa sunnah di hari-hari yang disunnahkan, sering berangkat haji ataupun umrah, dan berbagai ibadah lainnya. Sedangkan kesalehan sosial berfokus pada seberapa besar tingkat kepekaan seseorang dengan lingkungan sosialnya dalam kaitan antara sesama makhluk Allah. Biasanya ditandai dengan kecenderungan senang bersedekah, membantu saudaranya yang membutuhkan, dan lainnya.
Di zaman dulu, orang akan dikatakan saleh apabila dia berilmu agama tinggi dan mengamalkannya dengan baik. Untuk mencapai hal tersebut, ia perlu menempuh pendidikan agama baik di pesantren maupun di kampus islam yang berlangsung selama bertahun-tahun.
Sebaliknya di zaman sekarang, seseorang tidak perlu menempuh pendidikan agama yang tinggi untuk dikatakan saleh. Cukup dia memiliki keterampilan komunikasi yang baik, unggul dalam berbicara di depan umum, terdepan dalam menggunakan media baru, dan tentu saja berpenampilan yang mencitrakan bahwa dirinya saleh, seperti berjidat hitam, berjenggot, bergamis, dan sederet atribut lainnya yang di zaman dulu, khususnya di Indonesia, tidak lazim ditampilkan bahkan oleh para pemuka agama sekalipun.
Inilah kemudian yang setidaknya bisa menjadi penjelasan paling wajar mengapa di zaman sekarang ini, ada sebagian netizen yang berani mem-bully K.H. Mustofa Bisri (Gus Mus) ataupun Prof. Dr. Quraisy Shihab, tetapi di sisi lain berani pasang badan ketika ada seorang penceramah yang diperiksa polisi.
Maka menjadi wajar apabila seorang ketua partai PKS menyebut Sandiaga Uno sebagai seorang “Santri Post Islamisme”, meskipun tidak pernah menempuh pendidikan di pesantren ataupun kampus Islam. Bagi Sandi, yang lulusan SMA Pangudi Luhur, cukup baginya mencitrakan diri secara fisik sebagai seseorang yang islami, niscaya predikat saleh akan ia dapatkan. Maka tampillah Sandi di hadapan publik sebagai seseorang yang apabila bertemu K.H. Ma’ruf Amin mengaku mencium tangan beliau 5-6 kali. Ia akan duduk saat minum, akan berbicara santun apabila diwawancarai wartawan, dan kelihatannya, sudah mulai ada tanda-tanda jidatnya menghitam.
Sebenarnya tidak ada yang salah ketika seseorang berupaya untuk tampil saleh semacam itu. Hanya saja, jika hal tersebut dimaksudkan sebagai upaya untuk mendulang suara, maka persoalannya akan menjadi runyam. Karena sebenarnya, jabatan politik adalah jabatan publik, sehingga semestinya, selain citra saleh pribadi, seorang politisi harus bisa menampilkan citra saleh sosialnya dengan cara menunjukkan efektifitas kerjanya dalam menyelesaikan program, komitmen yang teguh untuk tidak melakukan tindakan korupsi dan lain sebagainya.
Politik pencitraan kesalehan ini menimbulkan kesan seolah politisi sedang berupaya berlindung di balik jubah agama untuk menghindarkan diri dari kemungkinan para pemilih menilai dirinya secara lebih rasional. Karena sesungguhnya yang ia sasar adalah emosi keagamaan pemilih dengan menggunakan label agama sebagai sebuah alat kekuasaan.
Persoalan akan menjadi bertambah runyam ketika emosi keagamaan tersebut diadopsi oleh sekelompok militan yang beralasan ingin membela agamanya, yang padahal sebenarnya, bukan agama itu sendiri yang kemudian dibela, namun kepentingan para elit politik. Bukankah dengan demikian, agama menjadi semakin kerdil?