Berbeda dalam Iman, Beraksi untuk Alam: Bahagianya Bisa Jaga Bumi Bersama Umat Lintas Agama

Berbeda dalam Iman, Beraksi untuk Alam: Bahagianya Bisa Jaga Bumi Bersama Umat Lintas Agama

Peduli lingkungan menjadi salah satu indikator penting dalam moderasi beragama, yang mendorong umat untuk tidak hanya mendekatkan diri kepada Tuhan, tetapi juga menghargai dan melindungi ciptaan-Nya.

Berbeda dalam Iman, Beraksi untuk Alam: Bahagianya Bisa Jaga Bumi Bersama Umat Lintas Agama

Ketika alam rusak atau bencana datang, manusia tidak bisa mengerjakan kegiatan sehari-hari seperti biasanya. Misalnya, saya tinggal di Kota Semarang yang langganan terkena banjir ketika diguyur hujan. Ketika banjir, transportasi umum berupa Bus Rapid Trans (BRT) Semarang itu pernah tidak beroperasi, atau jalur dialihkan, ditutup, dan sebagainya. Aktivitas di Stasiun Tawang dan Poncol pun pernah lumpuh akibat hujan deras yang mengakibatkan genangan tinggi.

Pada suatu kesempatan, saya pernah mengalami ‘kehilangan jalan pulang’ karena daratan yang tadi dilewati itu terendam air. Krisis iklim membuat rumah-rumah terendam air dan harus ditinggikan. Tentu gara-gara hal ini pengeluaran masyarakat yang dipaksa bertambah untuk membuat rumah selamat dari genangan.

Ketika krisis iklim terjadi, aktivitas spiritual pun turut terganggu. Sebagai pemeluk Islam, kita butuh air untuk bersuci ketika hendak menunaikan ibadah salat. Namun, ketika air sulit didapatkan, meski bisa diganti dengan tayamum, umat Islam menjadi tidak bisa bersuci seperti biasa. Air sebagai sumber kehidupan memegang peranan penting menjadi bagian dari spiritualitas Islam, kebersihan adalah sebagian dari iman. Air digunakan untuk membasuh badan sehari-hari.

Karena agama juga terdampak atas terjadinya krisis iklim, tokoh agama juga seyogyanya ikut berperan. Mereka merupakan sebagian kelompok masyarakat yang ucapan dan keputusannya dipercaya serta didengar oleh pemeluk agama masing-masing. Apabila tokoh agama mencontohkan perilaku cinta lingkungan, pemeluk agama pun akan turut meniru. Tokoh agama dengan segala kelebihannya itu punya kedekatan emosional dan personal dengan warga akar rumput, sehingga bisa berdampak lebih pada upaya penyelamatan lingkungan.

Tugas tokoh agama tidak hanya memberikan ceramah di gedung-gedung, namun juga turun ke jalan-jalan, ke sawah, dan sebagainya. Kita tentu akan bangga apabila tokoh agama kita bisa menggerakkan masyarakat untuk melakukan kegiatan yang bermanfaat, termasuk mitigasi dan peduli terhadap krisis iklim. Tokoh agama perlu menginjakkan bumi dan terlibat dalam upaya-upaya nyata bersama dengan masyarakat sekitar. Agama pun mengajarkan mengenai keselarasan lingkungan, manusia, dan makhluk hidup lainnya karena mereka saling berkaitan.

Praktik baik yang saya lihat di Semarang misalnya, tokoh agama menggerakkan komunitas lintas agama dan kepercayaan untuk bersama-sama melestarikan lingkungan. Karena Semarang merupakan kota yang rawan abrasi (pengikisan pantai oleh air laut), para tokoh agama Kristen, Katolik, Islam, Konghucu, komunitas lingkungan, mahasiswa, masyarakat melakukan penanaman mangrove bersama.

Kegiatan ini bertujuan untuk mengatasi permasalahan yang ada di tepi pantai Semarang. Saya pun salut ketika melihat warga yang ikut serta mengajak anaknya untuk membiasakan kegiatan baik sejak dini. Kebiasaan baik menjaga lingkungan dengan menanam mangrove, serta praktik baik pertemuan lintas agama-kepercayaan memang perlu dilakukan.

Kegiatan seperti menanam mangrove lintas iman ini menjadi ruang untuk bekerja, berdiskusi, dan berkolaborasi bersama. Tokoh-tokoh agama yang menggagas kegiatan tersebut berusaha menjawab permasalahan kota dengan mengajak partisipasi pemeluk agama untuk saling bergerak untuk lingkungan sekitar. Aksi nyata tersebut bisa menginspirasi tokoh agama, masyarakat di luar Semarang untuk melakukan kegiatan merawat lingkungan di daerah masing-masing.

Saya berdoa agar mangrove yang ditanam oleh kawan-kawan bisa tumbuh dengan optimal dan bisa menahan abrasi. Tokoh agama pun dibantu oleh tokoh masyarakat untuk menggerakkan warga bergabung pada aksi mulia tersebut. Mereka perlu mengajarkan, baik melalui ucapan maupun tindakan, untuk menjaga keanekaragaman hayati, tanah, air, dan sebagainya. Tindakan mengendalikan diri dan mengontrol komunitas dari keserakahan atau mengambil hasil alam terlalu banyak sangat perlu digencarkan.

Perubahan iklim, limbah industri, kehilangan keanekaragaman hayati, deforestasi, ragam penyakit dan ketimpangan lingkungan telah terjadi di sekitar kita. Manusia perlu melakukan upaya tobat ekologis, salah satunya dengan kegiatan konservasi seperti menanam mangrove yang dilakukan oleh umat agama lintas iman. Aksi nyata tersebut merupakan upaya manusia mengakui kesalahannya dan bertobat dengan melindungi tanah dan air, sumber kehidupan.

Selain itu, agama juga mengajarkan bahwa menjaga lingkungan merupakan salah satu bentuk ibadah dan bagian dari upaya menjaga keseimbangan alam yang diciptakan oleh Tuhan. Bahkan, kepedulian terhadap lingkungan menjadi salah satu indikator penting dalam moderasi beragama, yang mendorong umat untuk tidak hanya mendekatkan diri kepada Tuhan, tetapi juga menghargai dan melindungi ciptaan-Nya. Keterlibatan seluruh komponen umat beragama dalam menjaga lingkungan adalah bentuk nyata dari pengamalan ajaran ini, yang mencerminkan nilai-nilai kepedulian, keadilan, dan cinta kasih yang dianjurkan oleh agama.

Saya merasa beruntung tinggal di Semarang, karena tokoh agama lintas imannya mendukung dan menggerakkan kegiatan menjaga ibu bumi. Ketika lingkungan terjaga, manusia akan jauh dari kebencian. Selain itu, aktivitas yang dilakukan juga akan membawa keberkahan. Kegiatan menanam mangrove bersama tokoh dan umat lintas agama itu adalah salah satu cara untuk menyelamatkan orang yang sedang merasa terasing, agar jauh dari ajaran kekerasan dan keserakahan.

(AN)