Ada kisah menarik yang dikisahkan oleh Anas bin Malik. Ini termaktub dalam kitab Nuzhatul Majaalis wa Muntakhab an-Nafaais karya Abdurrahman al-Shofuri.
Ceritanya, pada zaman Bani Israel ada seorang pemuda yang jika membaca kitab Taurat banyak orang yang berhamburan. Tujuan mereka cukup sederhana, yakni menyimak dengan kagum suara bacaan pemuda tersebut. Sayangnya, sang pemuda itu memiliki hobi minum arak dan mabuk-mabukan.
Suatu hari, ibu dari pemuda tersebut berkata kepadanya, “jika orang-orang mengetahui bahwa engkau ini suka mabuk-mabukan, maka mereka akan mengusirmu.”
Seolah kedap dari wejangan sang Ibu, suatu malam pemuda tersebut pulang ke rumah dalam keadaan mabuk. Sang ibu tetap sabar dan berkata kepadanya, “bangun dan wudhulah.”
Mendengar perkataan ibunya, sang pemuda tidak melakukan perintahnya. Sebaliknya, ia memukul wajah ibunya, dan mencongkel kedua mata serta gigi-giginya.
Mendapatkan perlakuan tersebut, sang ibu lalu berkata, “Allah tidak akan meridhoimu di manapun kamu berada!”
Pada pagi harinya, sang pemuda tersebut menemui ibunya dan berkata, “keselamatan bagimu wahai ibuku, aku tidak akan melihatmu lagi setelah ini hingga hari kiamat.”
Mendengar perkataan anaknya seperti itu, sang ibu kembali berkata, “Allah tidak akan meridhoimu di manapun kamu berada!”
Si anak muda tersebut lalu pergi menuju sebuah gunung. Di gunung tersebut, ia beribadah kepada Tuhannya selama 40 tahun sampai badannya menjadi kurus sekali. Hingga tiba waktunya, ia menengadahkan kepalanya dan berdo’a, “wahai Tuhanku, jika Engkau telah mengampuniku maka beritahukanlah kepadaku.”
Tak lama kemudian, dia mendengar sebuah bisikan, “ridho-Ku kepadamu tergantung pada ridho ibumu.”
Akhirnya, sang pemuda yang sudah menjadi tua tersebut pulang ke rumah ibunya dan merengek kepada ibunya, “wahai kunci surga, jika engkau masih hidup, duh betapa bahagianya, dan jika engkau sudah meninggal, duh betapa sedihnya.”
Tak lama kemudian, sang ibu dari dalam rumah berkata, “siapa di luar sana?”
“Ini anakmu“, jawab sang anak.
Mendengar jawaban tersebut, sang ibu kembali berkata, “Allah tidak akan meridhoimu.”
Sang anak lalu menemui ibunya, dan di depan sang ibu ia memotong kedua tangannya dan berkata, “kedua tangan ini yang mencongkel kedua mata ibu, mulai sekarang tidak akan bersama lagi selamanya.”
Ia lalu memanggil penduduk dan berkata, “kumpulkanlah kayu yang banyak, lalu bakarlah.” Orang-orang pun melakukan apa yang diperintahkan. Dan setelah apinya siap, sang anak tersebut juga siap untuk melompak ke dalam api yang sudah menyala. Ia pun berkata kepada tubuhnya, “rasakanlah api dunia sebelum merasakan api akhirat.”
Para penduduk kemudian memberitahukan kejadian tersebut kepada sang ibu. Sang ibu lalu berseru, “wahai penentram kedua mataku, kamu di mana?”
“Aku berada di antara dua api,” jawab sang anak.
Mendengar jawaban dari anaknya, sang ibu berkata, “wahai anakku, semoga Allah meridhoimu.”
Segera setelah sang ibu berkata seperti itu, Allah pun memerintahkan malaikat Jibril duntuk mengusap kedua mata sang ibu dan giginya hingga utuh kembali seperti semula. Malaikat Jibril juga mengusap kedua tangan anaknya, hingga kedua tangan tersebut kembali seperti semula atas izin Allah SWT.
Demikianlah, ridho Allah SWT itu sangat ditentukan pada seberapa jauh ridho kedua orang tua. Oleh karena itu, jika kedua orang tua kita tidak meridhoi perbuatan kita, maka jangan berharap perbuatan tersebut akan membuahkan kesuksesan dan kebaikan.
Begitu juga dengan ridho seorang ibu. Ridho ibu adalah ridho Allah Swt, dan oleh karenanya mintalah selalu ridho kepada ibu dari masing-masing kita untuk semua perbuatan yang akan kita lakukan. Jika ibu sudah tiada, bahagiakanlah beliau dengan selalu mendoakannnya, menyambung silaturrahim dengan temannya dan melaksanakan wasiat-wasiatnya.
Sederhana saja, itu semua agar beliau yang melihat dari alam yang berbeda, selalu meridhoi langkah anak-anaknya. Mengapa ini penting?
Karena, berbakti kepada kedua orang tua adalah jalan yang paling mudah untuk masuk ke Surga-Nya. Dan, seperti pernah dibilang oleh musisi Iwan Fals, Ibu masih terus berjalan, walau tapak kaki penuh darah penuh nanah.