Tercatat, Aceh menjadi daerah terendah secara nasional dalam hal pelaksanaan imunisasi vaksin untuk campak dan rubella (MR). Dari target 15 juta penduduk, baru 7% yang telah ikut imunisasi. Akibatnya, penderita campak dan rubella di Aceh tahun 2018 meningkat tajam menjadi 16 penderita, yang sebelumnya di tahun 2017 hanya 3 orang menderita campak dan 4 rubella.
Sebenarnya, wabah penyakit yang berasal dari virus seperti campak dan rubella telah menyerang berbagai tempat di Indonesia. Jika fakta ini kita bandingkan dengan era Orde Baru dulu, tampak situasi sekarang ini seperti sebuah kemunduran besar.
Di era Orde Baru, dapat dipastikan setiap anak mendapatkan imunisasi, terlebih terhadap penyakit cacar. Anak-anak yang lahir di era itu, semuanya memiliki tanda bekas koreng di lengannya yang merupakan sisa imunisasi, termasuk lengan saya. Sekarang, banyak anak-anak di kota yang tidak diimunisasi, lalu terserang penyakit.
Padahal, imunisasi vaksin itu sangat penting. Salah seorang karib saya, dokter Jihan Chalim mengungkapkan, penyakit rubella merupakan gejala klinis yang ditimbulkan saat orang terinveksi virus, terutama pada anak, pada orang dewasa biasanya tampak pada nyeri tenggorokan, ruam merah, kenjungtiva merah, batuk pilek, dan lain sebagainya.
Terkait gejala ini, doter Jihan menambahkan bahwa bahayanya, terutama tidak pada orang yang terkena rubella itu, tetapi ke ibu hamil yang tertular, dan memiliki efek yang cukup fatal pada janin. Jadi, di usia 20 minggu masa kehamilan, sang janin akan mengalami catat. Seperti tuli konginetal, katarak, kelemahan otot sampai tidak bisa jalan atau gerak, makrochepal, dan masih banyak lagi. Tanpa imunisasi vaksin, penyakit itu dapat mudah tertular kapan saja dan di mana saja.
Sialnya, sekarang ini banyak orang yang mengklaim antivaksin. Mereka menganggap vaksin itu haram, karena ada bagian dalam prosesnya yang melibatkan enzim yang berasal dari babi. MUI sendiri pada dasarnya menyatakan bahwa vaksin itu tidak halal.
Dalam hal ini, MUI sebenarnya sudah lama mengumandangkan keberatan terhadap vaksin, dan terus menuntut pemerintah untuk mengusahakan adanya vaksin yang halal. Meskipun, fatwa haram MUI itu tidaklah mutlak, yakni vaksin yang sekarang ini meski memiliki hukum haram yang tetap, tetapi masih boleh (mubah) guna mengatasi dampak terburuknya.
Yang menjadi masalah adalah, membuat vaksin halal itu tak semudah membuat pisang goreng. Dan, bukan melulu soal vaksin saja. Dalam hal enzim secara keseluruhan, memang sangat sulit mendapatkan yang bukan dari babi. Mungkin ada alternatif memakai sumber dari sapi misalnya, tetapi tentu hasil yang diperoleh sangat sedikit, sehingga bukan hanya rendah hasil produktivitasnya, tetapi juga harganya tentu sangat mahal.
Bahkan, Hasanuddin Abdurrahman (2018) menyebutkan ada sekelompok orang yang mengikuti informasi sesat berbasis teori konspirasi. Banyak orang menyebarkan isu hoax bahwa vaksin itu tidak hanya dibuat dari zat haram, tapi juga dibuat dengan tujuan untuk mencelakakan umat Islam. Dengan vaksin, orang Islam akan bodoh, gampang terkena penyakit, dan tentu saja akan tersingkir dari kehidupan. Mereka menganggap bahwa vaksinasi itu merupakan sebuah misi penjajahan. Jelas, ini adalah ide konspirasi yang konyol dan tak berdasar.
Namun, tak dapat dipungkiri banyak orang dengan begitu entengnya menyebarkan isu hoax itu di berbagai tempat ibadah seperti masjid dan pengajian. Hal itu lalu dipercayai sebagain umat Islam dan menolak vaksin dengan keras. Artinya, penolakan terhadap vaksin sudah menjadi semacam ideologi sebagaimana ideologi komunisme ditolak mentah-mentah.
Mereka yang menolak vaksin umumnya juga beranggapan bahwa pemerintah saat ini tak lebih dari kumpulan orang-orang jahat yang memiliki dendam terhadap umat Islam, dan sedang menjalankan misi kejahatan itu melalui vaksin. Dalam pengertian lain, antivaksin hampir identik dengan orang-orang yang juga antipemerintah.
Nah, dalam keadaan yang teramat genting ini, MUI baru bersuara lantang dengan menelurkan sejumlah fatwa penting terkait vaksin, yang menurut saya, tampak cukup paradoks. Yakni, vaksin hukumnya haram dan pada saat yang sama ia mubah (boleh) sebab ada unsur darurat untuk melakukannya, dan jika sudah ditemukan vaksin yang halal, maka yang sekarang ini otomatis akan mutlak menjadi haram secara keseluruhan.
Orang-orang yang antivaksin ternyata banyak yang sudah terlanjut terpaku pada pesan yang pertama, yang selama ini digaungkan oleh MUI. Misalnya, MUI selama ini pada dasarnya lebih menekankan pada aspek keharaman vaksin, dan terus mendorong pemerintah untuk mencari alternatif lain. Dan, sepertinya, sifat dari mendorong ini agak kurang menyadari tentang kesulitannya.
Tentu saja, mereka yang antivaksin akibat sikap MUI, tidak bisa sekongong-konyong menerima begitu saja perubahan sikap MUI tadi, yakni haram sekaligus mubah. Logikanya begini, orang yang menerima sesuatu yang diharamkan dengan alasan darurat itu ibarat menyuruh orang melompat dari tebing tinggi saat ada peristiwa lain yang memaksanya untuk lompat. Mereka jelas sulit melakukannya, meski di bawah sudah ada jaring-jaring pengaman.
Yang agak tragis dan memilukan, ada banyak orang yang menganggap fatwa MUI itu tidak cukup baik untuk didengar. Sikap semacam ini memang tampak seperti paradoks, yakni di satu sisi banyak orang menerima fatwa MUI, tapi di sisi lain banyak yang menolaknya, dan fenomena ini hampir sering terjadi akhir-akhir ini.
Suara masyarakat selama ini memang cukup unik dan juga sekaligus rumit. Misalnya, ketika MUI berfatwa sesuai dengan kapasitas dan memiliki dasar yang kuat, banyak orang mematuhinya, tetapi giliran fatwa itu dianggap tidak sesuai, mereka dengan begitu mudahnya menolak.
Saya sendiri juga menelusuri sumber-sumber otoritatif. Jika kita bertanya misalnya, benarkah vaksin itu dibuat dengan memakai bahan dari babi? Dalam persoalan ini ada semacam kesalahan dalam memaknainya. Ternyata orang tidak membuat vaksin dengan bahan babi, yang dipakai adalah sesuatu yang ada di level molekuler. Itu pun bukan sesuatu yang diambil dari babi kemudian langsung dipakai begitu saja.
Boleh dikatakan, babi hanyalah strating material. Molekul yang diambil dari babi itu, direaksikan melalui serangkaian reaksi kimia yang mengalami proses begitu panjang, dan mengubah susunan asalnya. Meski berasal dari babi, bisa dikemukakan di sini bahwa zat itu sudah berbeda dari zat yang ada di tubuh babi, sebab molekulnya sudah berubah.
Dalam termonologi hukum Islam misalnya, beberapa minuman halal semacam jus buah, juga bisa mengalami fermentasi hingga jadi memabukkan. Lalu minuman tersebut berubah menjadi haram. Ia berubah menjadi haram karena telah mengalami reaksi kimia yang mengakibatkan perubahan wujud asalnya.
Banyak benda-benda di dunia ini bisa mengalami proses reaksi kimiawi yang mengakibatkan ia berubah dari bentuk dan zat aslinya, yang pada gilirannya sifat-sifatnya pun dapat berubah secara total. Demikan pula seharusnya molekul yang tadinya diambil dari tubuh babi. Setelah mengalami berbagai reaksi kimia, secara molekuler ia bukan lagi substansi yang ada di tubuh babi. Anak-anak SMA pun dapat mudah mengetahui hal-hal semacam ini melalui matapelajaran yang mereka pelajari di sekolah-sekolah.
Dalam hal penjelasan yang ilmiah dan teoritis ini, sayangnya tim ahli MUI tidak cukup tegas dalam mengklarifikasinya. MUI dengan demikian, masih tetap bertahan dengan sikapnya bahwa vaksin itu haram. Meski ada keterangan tambahan bahwa ia boleh dipakai dalam keadaan darurat, seperti sekarang ini, tetap saja kesan “haram” ini jauh lebih terasa kuat. Akibatnya, terjadi polemik memilukan soal perkara vaksin ini di tengah-tengah masyarakat, yang akhirnya orang yang antivaksin banyak terserang wabah penyakit dari virus campak dan rubella.
Rohmatul Izad. Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Filsafat UGM Yogyakarta.