Bulan puasa adalah bulan yang sangat ditunggu-tunggu oleh setiap umat Islam di seluruh dunia. Semua umat Islam akan berlomba-lomba melakukan kebaikan untuk menyempurnakan ibadah puasanya.
Kebiasaan masyarakat ketika mulai memasuki bulan Ramadhan, umat Islam akan disuguhi bermacam-macam hidangan, baik berupa hidangan dzahiriyyah yang berkaitan dengan buka puasa dan sahur ataupun hidangan ruhaniyyah yang berkenaan dengan ceramah agama.
Salah satu materi ceramah agama yang seringkali kita dengar berulang-ulang ketika bulan Ramadhan adalah hadis “tidurnya orang yang bepuasa adalah ibadah dan mendapatkan pahala”. Ketika sudah berbicara tentang hadis, maka kita harus mencari tahu keabsahan beritanya. Apakah benar itu diucapkan oleh Rasulullah Saw? Apakah hadis tersebut Shahih atau Dhaif?
Dalam buku yang ditulis oleh guru kami, Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Ya`qub yang berjudul “Hadis-hadis Palsu Seputar Ramadhan” kami menemukan keterangan yang sangat jelas berkaitan dengan hadis tersebut.
Teks lengkap Hadis tersebut sebagai berikut;
نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ وَصُمْتُهُ تَسْبِيْحٌ وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ وَذَنْبُهُ مُغْفُوْرٌ
Tidurnya orang yang berpuasa itu ibadah, diamnya adalah tasbih, amalnya dilipatgandakan (pahalanya), doanya dikabulkkan, dan dosanya diampuni.
Hadis di atas diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dalam kitabnya Syu`ab al-Iman, kemudian dinukil oleh Imam as-Suyuthi dalam kitabnya al-Jami` al-Shaghir
Lumrahnya bagi para peniliti hadis ketika menemukan satu redaksi hadis yang tidak termaktub dalam buku induk (Kutb as-Sittah) harus diteliti dengan detail agar hadis tersebut jelas sumber dan kualitasnya sehinggan bisa diamalkan dan dijadikan hujjah dalam kehidupan sehari-hari.
Ada perbedaan pendapat dari para ulama` hadis tentang kualitas hadis ini. Menurut Imam as-Suyuti, kualitas hadis ini dhaif (lemah). Pernyataan Imam as-Suyuti ini menimbulkan banyak perdebatan, karena hadis dhaif secara umum masih bisa diamalkan asalkan kedhaifan-nya tidak parah, yakni salah satu perawinya ada yang tergolong Matruk atau Munkar. Apabila sudah parah, maka hadis tersebut sama sekali tidak bisa diamalkan walaupun hanya sekedar untuk mendorong amal-amal kebajikan (fadhail al-a`mal).
Pernyataan as-Suyuti diatas dikomentari oleh beberapa ulama, salah satunya adalah Imam Muhammad Abd al-Ra`uf al-Minawi dalam kitabnya Faidh al-Qadhir yang merupakan syarah atas kitab al-Jami` al-Shaghir.
Al-Minawi mengatakan bahwa pernyataan as-Suyuti bahwa hadis tersebut adalah dhaif merupakan pernyataan yang kurang tepat karena as-Suyuti dinilai tidak menukil secara sempurna pernyataan al-Baihaqi tentang hadis ini. Lebih lanjut menurut al-Minawi, dalam kitab Syua`b al-Iman al-Baihaqi memberikan komentar terhadap semua perawi yang ada pada sanad hadis tersebut. Dalam sanad Hadis tersebut al-Baihaqi menyebutkan beberapa perawi yang dianggap dhaif seperti Ma`ruf bin Hisan, dan Sulaiman bin `Amr al-Nakha`i yang merupakan seorang perawi yang lebih dhaif daripada Ma`ruf. Bahkan al-Baihaqi menurut al-Minawi mengutip pendapat Imam al-Iraqi, bahwa Sulaiman adalah seorang pendusta.
Selain dua nama diatas al-Minawi juga mengomentari satu nama yang dianggap dhaif dalam sanad hadis itu, yaitu Abd al-Malik bin Umair, seorang yang dinilai sangat dhaif. Namun Rawi yang paling parah adalah Sulaiman bin Amr an-Nakha`i dimana para kritikus hadis seperti Imam al-Bukhari, Imam Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma`in, Yazid bin Harun, Imam al-Hakim, dan Imam Ibnu `Adiy sepakat menilainya sebagai seorang pendusta dan pemalsu hadis.
Dari uraian keterangan diatas cukuplah kiranya kita mengambil kesimpulan bahwa hadis tersebut merupakan hadis palsu yang tidak boleh diamalkan dan disandarkan kepada baginda Rasulullah SAW.
Sehingga tidur selama berpuasa kemudian berapologi menggunakan hadis di atas adalah suatu tindakan yang tidak dibenarkan. Tentu akan lebih baik jika selama berpuasa, kita menggunakan waktu untuk berkegiatan dan beribadah secara produktif. Bukan malah tidur-tiduran dan melewatkan keberkahan serta sisi-sisi positif yang dihadirkan Allah melalui bulan ramadhan. Wallahu A’lam.