Dalam berbagai forum pengajian, kita sering dengar banyak tausiyah tentang etika makan, terutama perilaku makan kenyang. Pernyataan ini toh sering dikutip, “Nabi makan ketika lapar, dan berhenti sebelum kenyang,”. Kerap disebutkan oleh para penceramah, bahwa itu adalah hadis – atau setidaknya, menyandarkan kalimat itu pada Nabi.
Anda tahu, keterangan di atas bukanlah hadis, sebagaimana dicatat KH. Ali Mustafa Yaqub dalam buku Hadis-Hadis Bermasalah. Tapi harus diakui, pernyataan ini banyak diyakini oleh masyarakat.
Bagaimanakah perilaku makan kita hari ini? Kenyataannya kita kerap makan banyak jika ada momen, terlebih saat berbuka puasa. Begitupun walau sudah merasa kenyang, kita tetap melanjutkan makan sampai penuh. Istilah kenyang jelas berbeda bagi setiap orang. Ada yang merasa dengan sepiring nasi ia tercukupi, atau setelah sekian porsi baru seseorang merasa cukup. Betapa relatifnya makna kenyang.
Dalam kitab Shahih al Bukhari disebutkan hadis-hadis yang menceritakan bahwa Nabi beserta sahabat beliau pada beberapa kesempatan makan sampai kenyang. Suatu ketika, Nabi berkunjung ke rumah Ummu Sulaim. Rupanya sahabat perempuan itu sedang memasak untuk menjamu Nabi yang berkunjung ke rumahnya.
Tak dinyana, ternyata Nabi memanggil sahabat lain sampai 80 orang, padahal Ummu Sulaim hanya memasak sedikit. Nabi pun memanjatkan doa supaya makanan itu mencukupi semua yang hadir di sana. Ndilalah kersaning Allah, Nabi beserta rombongan makan sampai kenyang.
Jadi, bolehkah orang makan sampai kenyang? Perasaan puas, atau perut yang penuh, demikianlah arti yang lumrah di masyarakat kita. Ini berkaitan erat dengan sistem tubuh. Secara normal, tubuh kita memiliki respon dan kapasitas untuk makan.
Ketika pencernaan terisi, proses ini akan mengirimkan semacam sinyal rasa kenyang ke otak, yang disebut leptin, memicu persepsi kenyang bagi seseorang. Karena itu, dengan perbedaan masing-masing kerja tubuh mersepon terisinya perncernaan ini, kita mulai bisa membatasi diri ketika makan.
Lantas, bagaimana hadis yang menunjukkan sebaiknya muslim makan? Disebutkan dalam hadis riwayat Imam al Bukhari, yang bermakna begini, “Orang muslim makan dengan satu usus, dan orang kafir makan dengan tujuh usus,”. Kafir, dalam berbagai keterangan dapat diartikan sebagai orang yang mengingkari nikmat Tuhan. Jadi siapapun, meskipun beragama Islam, juga dapat mengingkari nikmat Tuhan.
Meski hadis ini berkaitan dengan perilaku makan bersama orang lain, kita juga bisa menarik pandangan bahwa makan itu secukupnya dan sewajarnya saja. Kenyang di sini, bisa dengan merasa cukup ketika perut sudah terasa sesak. Ketika perut penuh dan terdesak, maka kita akan kelimpungan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban kita yang lain.