Jogja[:id]Akhir-akhir ini kita dikejutkan lagi oleh penangkapan seorang teroris yang akan menjadi “pengantin” pada hari minggu tanggal 11-12-2016. Rencananya bom ini akan diledakkan di istana negara pada saat pergantian Paspampres. Pelakunya adalah seorang wanita berinisial DYN asal bekasi dan perakitnya berasal dari Ngawi Jawa Timur. Setelah DYN ditangkap tidak lama kemudian perakit bom asal Ngawi jugat ditangkap.
Mirisnya lagi, perakit bom ini teridentifikasi bahwa dirinya masih duduk dibangku kuliah di salah satu perguruan tinggi Islam di Solo. Tepat pada hari senin, 12-12-2016, terjadi lagi penangkapan teroris di Solo yang berjumlah 4 orang. Pada saat penangkapan, 1 diantaranya meniggal karena tertembak saat mencoba melarikan diri. Keempat orang ini ternyata ada yang masih duduk dibangku kuliah, dan kampusnya juga sama seperti perakit bom asal Ngawi.
Pengantin dan perakit dari Ngawi memiliki hubungan dengan Bahrun Naim, selaku orang yang merancang aksi bom ini. Bahrun Naim menjadi incaran densus 88 karena tindakannya sudah diketahui sebagai perancang bom Sarinah di Thamrin. Bahrun Naim juga disebut-sebut sebagai pemimpin ISIS untuk wilayah Asia Tenggara.
Gerakan teroris transnasional ini didoktirn untuk berjihad di negara masing-masing, tanpa harus ikut dalam aksi di Timur Tengah. Salah satu tujuannya ialah menolak negara sekular. Indonesia, bagi mereka, memiliki pemerintahan sekular, maka ini adalah sebuah penghalang untuk menerapkan konsep syariah dalam pemerintahan.
Hal ini terbukti dalam wawancara “pengantin” yang ditangkap di Bekasi. Kurang lebihnya ia disuruh Bahrun Naim untuk berjihad dengan meledakkan diri di istana negara. Alasannya, karena di situ adalah tempat berkumpulnya orang-orang pemerintahan yang menghalangi penerapan konsep syariah dalam pemerintahan.
Doktrin semacam ini akan merugikan negara karena bertentangan dengan UUD ‘45’ yang menegaskan bahwa negara ini bukan negara agama. Artinya negara Indonesia berdiri atas kebudayaan yang dimiliki oleh semua bangsa, bukan atas nama satu agama.
Perlu kita ketahui bahwa aksi yang mereka lakukan, bagi mereka, itu adalah sebuah jihad. Salah satu jalannya dengan meledakkan bom bunuh diri. Jihad adalah perbuatan yang dibolehkan dalam agama Islam. Hal ini didukung dengan beberapa ayat Al-Qur’an seperti dalam QS. Al-Baqarah:193, QS. Al.Anfal:39, dan masih banyak lagi ayat-ayat yang menjelaskan tentang jihad.
Namun, cara mereka untuk berjihad dengan jalan meledakkan diri membuat suatu keresahan tersendiri di masyarakat. Sebab, pengeboman ini juga bisa membunuh anak-anak dan kaum perempuan. Perlu ditegaskan lagi, bahwa Nabi juga pernah mengecam atas tindakan membunuh seorang anak dan perempuan dalam peperangan.
Seperti dalam kasus bom Bali 1 dan 2, 9/11 di Amerika, dan pengeboman Gereja di Mesir yang baru-baru ini terjadi, dan pengeboman di Perancis, kejadian semacam ini menyebabkan banyak anggapan-anggapan tentang Islam. Anggapan yang timbul atas kejadian pengeboman memperlihatkan bahwa Islam adalah agama yang keras, tidak cinta perdamaian, dan agama teroris.
Anggapan semacam ini menjadikan phobia tersendiri bagi kalangan non muslim. Mereka enggan untuk menerima keberadaan seorang muslim dalam lingkungannya. Terlebih lagi, para phobia Islam akan membuat suatu wacana yang benar-benar tidak mencirikan nilai-nilai keislaman. Hal ini wajar, mengingat bahwa tindakan yang dilakukan oleh sekelompok teroris tersebut tidak pandang bulu di mana dan siapa yang akan menjadi targetnya.
Sebagai negara yang berpendudukan muslim terbesar di dunia, Indonesia–meskipun juga terjadi aksi pengeboman diberbagai tempat–masih digadang-gadangkan untuk mensosialisasikan bahwa Islam itu cinta perdamaian. Sebagai buktinya, dengan adanya dua ormas besar Islam di Indonesia–NU dan Muhammadiyah–mampu menyuguhkan Islam yang cinta damai, toleran, inklusif. Meskipun terjadi konflik di mana-mana namun rentan waktunya hanya sebentar jika dibandingkan dengan konflik Timur Tengah.
Dua ormas ini juga mengecam adanya tindakan teroris yang dilakukan oleh sekelompok muslim. Sebab, bagi dua ormas ini Islam tidak pernah mengajarkan tindakan kekerasan. Menurut dua ormas ini Islam adalah agama yang inklusif karena mampu beradaptasi dengan zaman, perkembangan ilmu pengetahuan, toleran, dan cinta perdamaian.
Hal ini dibuktikan pada saat Islam menguasai dunia atau yang biasa disebut kosmopolitan dalam Islam. Pada saat itu Islam mampu menguasai ilmu pengetahuan dan mampu hidup berdampingan dengan agama-agama lain maupun budaya-budaya lain. Sehingga pada saat itu Islam menjadi salah satu peradaban yang berpengaruh di dunia.
Kosmopolitan dalam Islam ini yang mencoba dibuktikan lagi oleh dua ormas besar Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar Islam Indonesia dikenal sebagai agama yang cinta perdamaian dan tidak menebar kekerasan, toleran dan tidak menjadikan politik identitas, bersikap inklusif dan tidak menunjukkan arogansi keagamaan. Dengan meminjam tema Muktamar NU dan Muhammadiyah, Islam Nusantara yang berkemajuan, maka diharapkan Islam Indonesia sebagai contoh untuk Islam di dunia.
Mujibuddin, Penulis adalah pegiat di komunitas Islami Institute Jogja.