Akuntablitas dan transparansi dianggap telah hilang dari penegak hukum di Indonesia. Akibatnya, kepercayaan publik terhadap mereka menurun drastis.
Tiga tahun lalu saya menulis esai tentang terorisme dan kanker. Saya lupa, saat itu ada seseorang yang menganalogikan penyebaran terorisme dengan sel kanker. Satu-satunya cara, menurut dia, untuk mengatasi terorisme adalah memotong, menghabisi, dan mengamputasi organ yang terindikasi telah dikuasai oleh teroris. Persis hal yang dilakukan untuk mengatasi kanker.
Saya percaya sel kanker, berbeda dengan manusia. Sel kanker tidak punya penalaran dan empati. Maka menyamakan pemusnahan teroris dengan kemoterapi tidak hanya abai pada kemanusiaan, sebagaimana teroris itu tak peduli dengan kemanusiaan korbannya, tapi juga simplifikasi atau generalisasi yang teramat sangat.
Saya percaya, peduli pada penanganan hukum yang transparan dan akuntabel dalam kasus terorisme, tidak sama dengan mendukung teroris atau menganggap teroris layak dilindungi. Teroris dan kejahatan kebencian tak layak dilindungi, mereka mesti dihukum seberat mungkin dan korbannya berhak dilindungi, mendapatkan terapi, serta direhabilitasi mental (semua dibiayai negara).
Ada banyak alasan seseorang menjadi teroris. Menggunakan solusi sapu jagat tanpa memahami konteks persoalan, latar belakang, dan juga pendekatan manusiawi hanya akan membuat kita jadi abai pada keadaan. Saya percaya yang membedakan manusia dengan ternak, adalah kemampuan berpikir serta kemauan untuk berempati.
Pembantaian teroris/kelompok fasis tanpa ada pendekatan kemanusiaan hanya akan melahirkan martir baru, setiap teroris yang dibunuh akan melahirkan sel teroris baru yang menganggap mereka yang gugur sebagai martir, pembaharu yang menginspirasi generasi teroris berikutnya untuk lebih kejam, lebih militan, dan lebih sadis dalam bertindak.
Dalam jurnal The psychology of martyrdom: making the ultimate sacrifice in the name of a cause, yang disusun pada 2014 dan melibatkan 2.900 orang, diketahui bahwa para responden bersedia menderita dan mempertaruhkan nyawa untuk sesuatu yang mereka anggap suci dan mulia. Kita boleh tak bersepakat, tapi ada orang-orang yang menganggap martyrdom sebagai hal yang membangkitkan semangat dan mengeraskan perlawanan.
——
Daryl Davis mulai bicara dan memeluk anggota Klu Klu Klan sejak 1983. Ia telah mengajak 200 anggota klan fasis itu keluar dari lembaga yang menyerukan kebencian, terorisme, dan juga kejahatan. Semua dimulai dari pertanyaan sederhana: “Bagaimana kamu membenciku jika tak pernah mengenalku?”
Ini kerja berat. Sedikit sekali orang yang percaya saat ini bahwa teroris atau orang yang radikal bisa diubah jadi baik dalam waktu singkat. Tapi mengabaikan kemanusiaan, menginjak hak asasi seseorang, tidak lantas membuat mereka jadi lebih baik. Hanya karena mereka tak percaya hak asasi, atau kejam, bukan berarti kita harus memilih jadi kejam dan menginjak hak mereka.
Daryl adalah laki-laki kulit hitam. Ia mendatangi para anggota Klan, organisasi racis kulit putih yang kerap melakukan kekerasan terbuka terhadap orang kulit hitam, asia, hispanik, dan yahudi. Daryl bicara dari hati ke hati, mencari tahu sumber masalah, bicara dengan sabar dan bertahun-tahun kemudian, ia bisa menyelamatkan ratusan fasis dan rasis untuk bisa menerima perbedaan. Ia melakukan kerja kemanusiaan hanya dengan ngobrol.
—-
Perdebatan tentang hak asasi manusia tidak dimulai dari: “Kamu menjamin hak saya, maka saya menjamin hak kamu,” ini tentu benar, bahwa pengakuan hak asasi manusia berjalan dua arah, ia bukan monolog. Tapi perdebatan hak asasi manusia berawal dari; “Mengapa manusia perlu diperlakukan dengan manusiawi? Bukankah mereka melakukan kekejaman juga?”
Hak untuk merasa aman adalah hak paling dasar. Ia setara dengan hak seseorang untuk mendapatkan perlakukan adil di muka hukum. Yang membuat sebuah peraturan hukum jadi penting, diikuti, dan relevan bukan hanya ia menjamin kenyamanan kita, tapi juga menjamin bahwa orang lain tidak melewati batas serta menginjak hak dasar manusia lain.
Perdebatan tentang penegakan hukum dan hak asasi manusia dalam perang melawan teror adalah perdebatan yang nyaris sama tuanya dengan hukum itu sendiri. Siapa yang berhak menentukan seseorang bersalah? Apa tolok ukur salah? Apa itu salah? Maka dibuat indikator, sebuah ukuran, di mana seseorang yang memang memenuhi indikator, terbukti bersalah dengan segala hal yang ada, maka ia layak dihukum.
Protokol ini yang membuat manusia jadi manusia. Bahwa ada cara beradab melawan ketidakberadaban. Jika tidak maka lebih baik setiap manusia dibekali satu belati dan saling menikam jika setiap individu merasa hukum yang ada tidak sesuai. Dalam konteks perang melawan teror, tanggung jawab negara adalah melindungi masyarakat dengan cara sebaik-baiknya dan seberadab mungkin.
Sekali tindakan inkonstitusional dilakukan (juga dibenarkan) maka negara punya legitimasi lebih untuk menginjak hak asasi manusia lain yang tak ada hubungannya dengan teror. Negara akan jadi leviathan yang memangsa rakyatnya sendiri. Gejala serupa telah banyak terjadi di dunia. Saat seseorang dicap teroris, maka segala stigma dan stereotip melekat padanya akan lahir. Hal serupa terjadi pada 65 dan tiga juta orang jadi korban.
Ingat, kita tidak sedang membela penjahat atau ideologi teroris. Kita membela hak manusia, terlepas afiliasi politik dan idiologinya. Dengan memiliki akuntabilitas, keterbukaan, keadilan, dan ketegasan. Hukum akan jadi panduan dan jadi sumber moral yang bersih.
baca juga: benarkah Islam agama teroris?
Jika tidak, ia hanya akan jadi alat penguasa untuk melakukan kekerasan. Jangan lupa kejahatan yang dilakukan Nazi di jerman itu legal, berdarasarkan hukum. just because it’s legal doesn’t mean it’s right.
—-
Hak asasi manusia berguna bukan hanya untuk mengekang kuasa negara terhadap masyarakat sipil, tapi juga mengendalikannya. Negara-negara yang menggunakan dalih perang terhadap teror terbukti melakukan pengawasan tanpa ijin ke ruang-ruang privat rakyatnya. Email, telepon, dan segala privasi dilibas, atas nama perang melawan teror, yang kerap tak punya irisan sama sekali.
Guantanamo di Amerika yang bisa melakukan penyiksaan tanpa koreksi, atau pemberangusan terhadap kebebasan berekspresi di Turki dengan menangkap ribuan akademisi juga wartawan, adalah akibat perang melawan teror, Berapa dari orang yang dipenjara di guantanamo berawal dari proses sidang yang legal?
Berapa orang yang ditangkap rezim Erdogan dengan tuntutan yang jelas? Sekali kita memberikan izin ke negara untuk melakukan tindakan ekstrajudisial, maka ia punya potensi untuk korup. Ingat, setiap kekuasaan punya tendensi korup, kekuasaan yang mutlak bertendensu korup secara mutlak. Ini mengapa kontrol dan akuntabilitas penting.
Pentingnya kontrol juga kendali dalam perang melawan teror bukan untuk membatasi kinerja negara menegakkan hukum. Tapi membuat negara jadi awas, bahwa melawan kejahatan tidak cukup hanya dengan tindakan tegas, tapi juga tindakan manusiawi. Pelaku teror tak peduli HAM ini jelas, tapi kita bisa memilih untuk peduli.
Dengan membuka diri, memberikan akuntabilitas, transparan, penegak hukum akan memperoleh kepercayaan. Selama ini citra buruk yang terhadap penegak hukum terjadi bukan karena mereka bekerja dengan buruk atau tidak tegas terhadap penjahat. Tapi tidak menerapkan prinsip akuntabiltas dan terbuka dalam banyak proses hukum.