Ketika waktu kebaktian tiba, beberapa orang delegasi Nasrani Najran langsung berdiri menghadap ke timur dan melakukan kebaktian di Masjid. Para sahabat terkejut dan heran dengan apa yang mereka lakukan. Mereka pun tergerak dan ingin melarangnya. Namun seketika itu pula Rasulullah sontak berkata, “Biarkanlah mereka”. Kisah ini dituturkan Ibnu Hisyam dalam Sirah al-Nabawiyah.
Sikap Nabi ini merupakan cerminan dari misi Islam kerahmatan yang diembannya. Dalam al-Qur’an disebutkan, “Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”(QS: al-Anbiya ayat 107).
Kata “semesta alam (‘alamin) di sini pemaknaanya tidak berarti dikhususkan untuk orang Islam (lil muslimin) saja, namun juga kasih sayang kepada seluruh manusia. Selama dia masih bisa dikategorikan makhluk Tuhan, maka tidak alasan untuk tidak menyangi dan mengasihinya.
Berdasarkan hal ini, perbedaan agama tidak membatasi Rasulullah untuk senantiasa menghargai dan menghormati orang yang berbeda keyakinan dengannya. Bahkan fasilitas ibadah semisal masjid pun beliau pinjamkan kepada tamu yang berbeda agama dengannya. Adapun konflik dan perperangan yang terjadi di masa Nabi bukan sekadar faktor agama saja, tetapi ada aspek lain yang mendorong kedua belah pihak berperang, seperti pembatalan perjanjian atau ancaman stabilitas keamanan.
Prof. Ali Mustafa Yaqub dalam bukunya Islam Between War and Peace menyatakan,“Religion is not a reason for battle (agama bukan penyebab perang)”. Salah satu argumentasinya adalah fakta sejarah menunjukan Nabi Muhammad SAW memiliki mertua yang beragama Yahudi.
Nama mertua Nabi itu adalah Huyay bin Akhtab al-Nadhari dan putrinya bernama Shofiyah, yang kemudian dijuluki Umm al-Mu’minin (ibu orang-orang beriman) setelah masuk Islam dan dinikahi Nabi Saw. Sekalipun mertua Nabi tetap setia dengan keyakinannya, Rasulullah tidak pernah memeranginya karena alasan beda agama.
Dalam hadis riwayat ‘Aisyah dijelaskan, Rasulullah pernah menggadaikan baju perangnya kepada seorang Yahudi dengan nilai tiga puluh sha’ gandum. Riwayat itu menyebutkan,bahwa Rasulullah tidak sempat menembus gadaian itu sampai beliau wafat. Berdasarkan riwayat ini, dapat dipahami Nabi SAW semasa hidupnya berinteraksi dengan siapapun, baik muslim maupun non-muslim.
Sekalipun beliau ditugaskan untuk menyebarkan misi agama, namun tidak pernah ditemukan fakta dakwah agama disampaikan dengan paksaan dan kekerasan.
Sebenarnya Nabi sudah memberikan teladan dan kearifan dalam menyikapi perbedaan agama. Beliau adalah maha guru toleransi beragama. Ia tidak hanya berbicara dalam tataran wacana, tapi sudah mempraktekkannya dalam banyak hal. Fakta sejarah menunjukkan, kebanyakan sahabat masuk Islam bukan karena merasa terancam dan terpaksa, tetapi lebih kepada kesadaran dan ketakjuban melihat etika dan kearifan yang ada pada diri Rasulullah.
Menghormati dan menghargai perbedaan memang tidaklah mudah. Setiap orang pasti memiliki ego, ambisi, dan kecenderungan untuk mengajak orang agar sesuai dengan keyakinan dan pikirannya. Oleh sebab itu, ego dan sikap ambisius itu perlu dinetralisir dan diminimalisir dengan belajar pada kearifan dan tauladan yang sudah dicontohkan Nabi SAW semasa hidupnya. []
Hengki Ferdiansyah adalah mahasiswa Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah dan alumni Pesantren ilmu hadis Darus-Sunnah. Saat ini bekerja sebagai peneliti hadis di el-Bukhari Institute