Bila muncul pertanyaan, mana yang lebih mudah, menjadi toleran atau intoleran, maka sementara ini harus diakui, menjadi intoleran lebih mudah daripada menjadi toleran. Tindakan intoleransi seperti kekerasan, intimidasi, fitnah, hate-speech, penyerangan sebuah kelompok terhadap kelompok lain, hingga terorisme telah menjadi laku sebagian kelompok atau ormas.
Secara sosiologis, sikap intoleran yang menjadi laku sebagaian kelompok, tidak semata-mata buah atau dorongan dari paham keagamaan. Melainkan ia mempunyai akar-akar sosiologis yang komplementer. Akar yang paling kentara menurut Zuhairi Misrawi (2010) ada dua; pertama, faktor modernitas yang melahirkan pseudo-liberalisasi. Yakni liberalisasi yang semakin menyengsarakan rakyat. Terdapat agenda tersembunyi dalam visi dan misi liberalisasi yang bertentangan dengan doktrin agama pembebasan dan keberpihakan terhadap mereka yang miskin.
Kedua, di era serba digital, arus besar indoktrinasi paham ekstrimisme agama menjadi makanan favorit masyarakat yang pemahaman keagamaannya kurang. Saluran utama penyebaran arus ekstrimisme agama adalah media sosial. Melalui riset yang dilakukan Islami.co pada tahun 2018, dari dua puluh website keislaman, hanya menyisakan tiga web yang mengampanyekan moderasi Islam. Selebihnya merupakan bagian dari proyek intoleransi.
Sejalan dengan itu, Nadirsyah Hosen (2008), jika ‘Google’ kini menjelma sebagai ‘kiai virtual’. Google menyajikan segala pernak-pernik pranata keagamaan, jika dikembalikan pada riset Islami.co, dunia siber sudah dikuasai oleh golongan intoleran, terkhusus mereka yang bercita-cita mendirikan Negara Islam. Menariknya, yang menjadi sasaran indoktrinasi radikalisme adalah menyasar ke seluruh kelas Muslim, khususnya kelas menengah yang kadar pengetahuan keagamaannya terbilang minim. Sampai pada titik ini, perilaku intoleran, ekstrimisme, dan upaya memecah kedaulatan bangsa makin ramai.
Pesantren dan Pembentukan Karakter Toleran
Pendidikan toleransi tidak hanya bersumber dari agama. Ia bisa berasal dari banyak lapis kebudayaan di Indonesia. Paparan khazanah kebudayaan yang tergelar di pesantren sedemikian kaya. Faktor ini terutama berasal dari instrumen budaya yang terdapat di dalam lingkungan pesantren, yang oleh Gus Dur disebut sebagai wilayah subkultur. Selain itu, faktor yang sulit diabaikan dari tekstur keberagaman di pesantren adalah dominasi kedaerahan yang melentur sebab unsur lokalitas yang mengkulminasi melalui intenitas pergumulan santri ketika bertukar wacana atau berkelakar.
Pergumulan itu memuat faedah melenturkan ketegangan kompetitif yang sering terjadi dalam kultur santri. Baik kompetisi belajar ataupun prestasi. Sejenak mereka mengamini, bahwa yang diajarkan di pesantren tidak hanya berkutat pada persoalan normatif belaka, melainkan peroalan yang bergerak untuk memperkaya rohani sehingga mempertemukan resonansi yang sepadan terhadap satu frekuensi jaringa, yaitu peraudaraan.
Fenomena pergumulan ini saya sebut sebagai naturalisasi kebahasaan. Kepekaan berbahasa kaum pesantren menegasi tradisi lingua franca yang perlu dimaknai ulang. Santri yang belajar kitab kuning dan memaknainya secara gandul dengan menggunakan tulisan pegon menjadi tolak ukur awal naturalisasi kebahasaan di pesantren. Penjabaran makna di berbagai daerah dengan menggunakan bahasa daerah di mana pesantren itu berada merupakan simbolisasi toleransi yang penting guna menopang keberagaman dan karakter toleran masyarakat pesantren, hal ini sekaligus menjadi tolak ukur tingkat kedua yaitu dialog.
Lapis Keberagaman di Pesantren
Parade toleransi yang diarak berangkai melalui serangkaian ritus dialogis itu menjadi semacam ruang seminari kebahasaan kaum pesantren. Materi-materi lokalitas seperti cerita rakyat, istilah daerah dan nama orang, melunak dan lalu diracik sedemikan rupa hingga tercium aroma kehangatan yang berguna untuk melengkapi sedapnya bumbu kehidupan pergaulan di pesantren.
Hidangan pembicaraan itu kemudian tersaji secara ramah, murah, dan gelak tawa yang membuatnya mewah meski hanya berteman secangkir kopi dan setumpuk daun tembakau. Belum dengan ihwal proses percampuran kosa-kata daerah yang membuat kaum santri terbiasa terhadap istilah-istilah baru yang pada dasarnya sulit dibahasakan ulang tapi lanyah dalam soal praktik.
Seperti cerita Bu Nyai Sukis (istri KH Muhammad Munawwir Krapyak) ketika menemani tamu wali santri dari Jakarta. Dalam sesi ramah tamah, Bu Nyai Sukis mempersilakan tamunya untuk menikmati hidangan yang tersedia. Sang tamu pun paham, mulailah mereka mengambil nasi dan lauk. Ketika tamu hendak mengambil sayur, lha dalah, Bu Nyai Sukis nyeletuk,
“ya, ini jangan, ini juga jangan.”
Tamu wali santri dari Jakarta itu pun kebingungan dan membatin, “mau ambil sayur kok tidak boleh?”. Akhirnya diurungkan, tidak jadi mengambil sayur, cukup makan tanpa sayur. Setalah itu, Bu Nyai Hasyimah (Istri KH Ali Maksum) yang serumah dengan Bu Nyai Sukis datang, dan mempersilakan tamunya mengambil sayur. Tamu yang dari tadi membatin baru mengerti kalau yang dimakud Bu Nyai Sukis “jangan” itu “sayur”. Bukan jangan yang bermakna larangan.
Bagaimanapun, tamu itu sudah terlanjur malu mau mengambil sayur tapi dibatalkan,
“Ambil tempek lagi aja deh,” celetuk Ibu wali santri dengan enteng.
“Hush. Bu, di ini ‘tempe’ nggak pakai ‘K’!.” anaknya yang menjadi santri menegur.
“Iye tempek ‘kan?”.