Putra Ar-Rasyid, Khalifah Al-Makmun selalu berusaha untuk menumbuhkan sifat tawadhu kepada para putranya. Ibnu Khalikan dalam Wafayat Al-A’yan telah mencatat peristiwa yang menunjukkan betapa Khalifah al-Makmun bersusah-payah dalam berusaha demi pendewasaan putra-putranya dengan sifat mulia ini.
Ketika itu, Khalifah al-Makmun menunjuk al-Farra’, ulama bahasa saat itu untuk mengajarkan ilmu nahwu kepada kedua putranya.
Suatu saat setelah menyampaikan ilmunya, al-Farra’ pun bangkit dari tempatnya untuk meninggalkan istana. Kemudian kedua putra al-Makmun berebutan untuk menyiapkan sandal Al-Farra’. Perebutan sandal itu menyebabkan keduanya berkelahi sampai akhirnya keduanya berdamai dan bersepakat bahwa masing-masing membawa satu sandal untuk diserahkan kepada al-Farra’.
Kabar mengenai perkelahian itu akhirnya sampai ke telinga Khalifah Al-Makmun melalui laporan intelejennya. Dan orang yang paling disegani di seluruh penjuru Baghdad itu pun akhirnya memanggil Al-Farra’.
Setelah Al-Farra’ menghadap, Al-Makmun bertanya, ”Siapa orang di Baghdad ini yang paling terhormat?”
Al-Farra’ menjawab ”Paduka orang yang paling terhormat di negeri ini.”
Lantas Al-Makmun bertanya kembali, ”Lalu siapa gerangan orang yang menyebabkan mereka berkelahi karena berebut membawa sandalnya?”
Al-Farra’ menjawab, ”Hamba sebenarnya hendak melarangnya, namun hamba khawatir merusak karakter baik kedua putra paduka yang telah tertanam sebelumnya.”
Menyimak alasan Al-Farra’, Al-Makmun menyampaikan, ”Aku telah mengajari anakku meskipun mereka dihormati untuk bertawadhu kepada tiga orang, yakni orangtuanya, gurunya, serta pemimpinnya, bahkan aku membiasakan dan melatih mereka dalam perkara ini sampai menghabiskan 20 ribu dinar. Sebab itu, aku memberimu 10 ribu dirham sebagai balasan atas pendidikanmu yang baik kepada anak-anakku.”
Wallahu A’lam.
(Disarikan dari kitab Wafayat al A’yan, karya Ibnu Khalikan)