Dalam ajaran agama, semua pengetahuan di dalamnya secara garis besar terdiri dari dua: lahir dan batin atau bentuk dan substansi. Dan kedua dimensi itu bertingkat-tingkat.
Misal, dikatakan dalam riwayat bahwa al Qur’an mengandung tujuh lapis makna lahir dan tujuh lapis makna batin. Dan setiap lapisannya ada seribu makna. Dan di masing-masing seribu makna ada seribu makna lagi. Dalam bahasa Qur’an diibaratkan “Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Maka tidak heran ada banyak penafsiran. Sebab, akal-pikiran manusia yang terbatas tentu tidak akan bisa memahami semua kalam ilahi yang mahaluas dan mahamendalam maknanya. Pikiran hanya menjangkau apa-apa yang sanggup ia pikirkan. Yang terbatas tidak bisa memahami keseluruhan dari yang tidak terbatas.
Karena keterbatasan itu maka ulama yang mendalam ilmunya membuat kaidah atau perangkat untuk memahami teks suci. Mengapa? Sebab otoritas tertinggi untuk menafsirkan wahyu yakni Kanjeng Nabi Muhammad, sudah wafat.
Kanjeng Nabi tidak menyusun kaidah karena beliau sudah “dibedah dadanya oleh malaikat untuk disucikan” dan ma’shum dan beliaulah yang diberi wahyu via Jibril. Kaidah atau perangkat ilmu tafsir teks suci itu dibuat sebagai rambu-rambu bagi yang bukan nabi. Rambu untuk apa? Salah satunya: Hawa nafsu.
Nabi mengajarkan Quran tanpa campur tangan hawa nafsu buruk. Kita, yang bukan nabi, tentu tidak semurni itu. Manusia punya pikiran, juga punya keinginan hawa nafsu. Kalau hati tidak bersih dari hawa nafsu, maka tanpa perangkat kaidah ilmu tafsir orang akan menafsirkan semaunya sendiri sesuai hawa nafsunya. Kita tahu kalau hawa nafsu dominan, pikiran akan disetir dan tidak jernih.
Contoh sederhana: kalau nafsu amarah naik dan kita tak bisa mengendalikan nafsu ini, pikiran kita seakan hilang. Orang bisa kalap. Makanya kanjeng Nabi berpesan jangan ambil keputusan saat amarah membara karena pikiran sedang buram.
Sekarang bayangkan jika saya, yang hawa nafsu saya banyak dan kuat, ada amarah, mesum, iri, suka dusta, masih belum pasrah pada takdir, berharap pujian, merasa lebih benar, gampang menyesatkan dan memaki orang, berharap kemewahan, kekuasaan dunia, pongah, ujub, ria, merasa alim, suci, lalu mendadak menafsirkan ayat suci tanpa dasar kaidah dan perangkat ilmu tafsir yang memadai dan benar, hanya modal terjemahan dan pikiran sendiri yang terbatas kemampuannya. Apa yang terjadi?
Sangat mungkin saya termasuk dalam orang yang di-“warning” kanjeng nabi, yang kurang lebih maknanya, “Siapa saja yang menafsiri Al Qur’an dengan tafsiran pendapatnya sendiri (apalagi dengan hawa nafsu) tanpa di dasari dengan ilmu yang kuat, maka bersiap-siaplah menjadi penghuni neraka.”
Ketenaran adalah salah satu bahan bakar nafsu ingin dipuji, ingin dianggap alim — ringkasnya takabur atau riya dan ujub. Kadang kita sanggup melakukan apa saja demi popularitas. Atau kadang kita memaksakan diri tampil melebihi kemampuan hanya demi mempertahankan ketenaran atau menambah jumlah pengikut atau fans.
Saya ingin terus dianggap idola: maka saya harus merasa lebih dari fans saya. Kalo fans saya sedang ingin belajar agama, saya harus tampak pandai walau saya ngajinya hanya modal terjemah atau nonton youtube belaka. Semua pertanyaan saya jawab supaya saya tidak dianggap bodoh. Jadinya gelar mendahului ilmu.
Saya umpama sering ceramah bermodal kepandaian merangkai kata berbau relijiyes, orang segera panggil saya ustadz, kyai, syeh, padahal saya cuma ngaji dari internet, tak punya dan tak paham ilmu tafsir, ilmu hadis, dan semua ilmu alat lainnya.
Diam-diam saya senang dianggap alim, sehingga saya berusaha keras mempertahankan rasa hormat dari orang lain, apapun caranya. Maka saya adalah seperti yang digambarkan dalam gambar pitutur jawa ini.
Sekarang, kalau makna lahir teks dan konteks dari ayat suci itu begitu luas dan mendalam, belum lagi makna batinnya (sisi ruhani, mistis, adab, akhlak — yang menjadi perhatian Sufi) yang juga sangat halus, luas dan dalam, bagaimana saya menafsirkan suatu ayat tanpa menguasai kaidah dan alat tafsir yang sudah disusun oleh para ahli tafsir yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk mendalami Quran?
Kalau saya nekat bikin pendapat tentang teks suci tanpa ilmu yang benar, “durung punjul wis kesusu,” karena “kapepetan pamrih,” maka saya “tangeh nedya anggambuh mring Hyang Wisesa.” Naudzubillah .