Dikisahkan oleh Hakim Nuruddin Abdurrahman Jami, seorang pujangga sufi abad 15, dalam karyanya yang monumental Yusuf Zulaikha, tentang seorang gadis tercantik di Mesir bernama Bazigha. Tidak hanya kecantikannya yang melekat pada rupanya, tetapi derajatnya yang terhormat dan hartanya yang melimpah membuat para pria yang paling tampan di Mesir tergila-gila olehnya. Derajat dan kekayaannya membuat mereka rendah diri untuk sekadar berkenalan dengannya, terkecuali Yusuf.
Siapa yang tidak terpesona oleh keindahan Yusuf? Adakah gadis di zamannya yang tidak teriris jemarinya ketika melihat keindahan Yusuf? Benarkah seorang istri Perdana Mentri Mesir dimabuk cinta oleh budaknya sendiri, Yusuf? Rumor beredar sangat cepat. Bazigha penasaran dan mulai mencari malaikat indah yang menjadi bahan perbincangan rakyat Mesir kala itu.
Cinta tidak perlu kontak mata antara pecinta dan yang dicintai. Kata-kata indah tentang yang dicintai menjelma anak panah cinta yang menghujam jantung pecinta. Pikiran dan jiwa yang dimabuk cinta akan mengerahkan tubuhnya untuk mencari pujaan hati.
Bazigha merias dirinya, mengenakan pakaian kemegahan bangsawan dan tiara di atas kepalanya, melumuri dirinya dengan parfum terlangka kala itu, lalu pergi meninggalkan istana. Ia ditemani seekor kuda untuk menyusuri jalanan Mesir demi pujaan hatinya.
Setelah sekian lama, Bazigha menapaki perjalanan, akhirnya ia menemukannya. Pandangan pertama pada Yusuf membuatnya tidak sadar diri sejenak. Ketika ia siuman, ia berlari menghampiri Yusuf dan bertanya.
“Oh, Yusuf,” katanya.
“Engkaulah puncak keagungan! Siapakah yang memberkatimu dengan keindahan yang sesempurna itu? Siapakah yang menjadikan keningmu layaknya matahari? Seniman manakah yang merancang wujudmu? Alat ukur seperti apakah yang membuat lengkung alismu? Tukang kebun manakah yang meninggikan cemara tubuhmu? Dan siapakah yang menganugerahkan kepribadian yang sedemikian menawan itu?”
Yusuf menjawab rangkaian pertanyaan tersebut, “Aku adalah karya Sang Pencipta. Di dalam samudera-Nya, aku merasa cukup menjadi setetes air. Angkasa yang luas ini tak lebih dari satu noktah yang digoreskan pena kesempurnaan-Nya. Alam semesta ini hanyalah kuncup bunga di taman keindahan-Nya. Matahari tak lain hanyalah satu pancaran kearifan-Nya. Kubah langit pun sekadar gelembung kecil di samudera-Nya yang tak terbatas.
“Tersembuyi di balik selubung rahasia, keindahan-Nya terbebas cela sekecil apa pun. Dari atom-atom dunia, diciptakan-Nya jutaan cermin. Dan ke dalam masing-masing cermin itu, Dia menampakkan wajah-Nya. Bagi mata yang mampu melihat dengan bijak, sesuatu yang indah hanyalah pantulan wajah-Nya.
“Sekarang engkau melihat pantulan itu, bersegeralah mencari sumbernya. Karena dalam cahaya abadi, pantulan itu mencapai titik puncaknya. Dan jika engkau menghendaki kesejatian, carilah di sana pula. Mengapa harus mengoyak jiwamu karena segala sesuatu di dunia hanya berlangsung sementara?”
Ketika Bazigha mendengar kata-kata tersebut dari Yusuf, hatinya terbakar dan jiwanya meronta-ronta mencari sumber kehidupan. Kemudian, ia pergi meninggalkan Yusuf, menuju singgasananya yang megah itu. Sesaat setelah tiba di istana, ia menyerahkan seluruh kekayaannya kepada masyarakat miskin: tersisa hanya kerudung lusuh, kain satin yang menutupi tubuhnya dan gubuk di samping Sungai Nil yang menjadi tempat pertapaan di akhir hidupnya.
Pada narasi percakapan antara Bazigha dan Yusuf, kita menyadari bahwa segala sesuatu yang tampak indah di sekeliling kita akan sirna termakan oleh waktu. Karena semua yang tampak indah merupakan cerminan cahaya-Nya yang sangat sempurna.
Sebagaimana diilustrasikan oleh Prof. Dr. Quraish Shihab pada kanal video YouTube Semua Murid Semua Guru. “Allah terlalu terang, mata kita silau memandang matahari. Bagaimana lagi memandang Sang Pencipta Matahari?” atau firman-Nya “Allahu nuurus samawati wal ardl”, yang berarti “Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi” (QS 24:35).
Akankah kita terpikat oleh pesona pantulan-Nya yang sementara? Bukankah kita merindu keabadian bersama-Nya?
Wallahu a’lam bis showab.