Keberagaman penduduk dan latar belakang, termasuk aliran keagamaan dan ideologi juga menjadi bagian yang begitu mudah digerakkan untuk melahirkan konflik dan tarik-menarik kepentingan. Dan pemantik sebagai ‘bensin’ paling mudah dan mungkin juga murah, di Timur Tengah sendiri adalah sentimen agama dan aliran keagamaan (baca artikel sebelumnya: Belajar Memahami Konflik di Timur Tengah Bag.1). Jika di Timur Tengah sudah ‘meledak’, maka efek ledakannya bisa dengan mudah merembes ke kawasan lain, termasuk tanah air, Indonesia Raya tercinta ini.
Jalur laut yang menunjukkan superioritas militer, termasuk pengangkutan eksport minyak dari negara-negara Timur Tengah, juga menjadi cerita tambahan dari rentetan konflik. Jalur tersebut juga memberi pemasukan penghasilan negara karena hasil dari laut seperti ikan, mineral/gas, ataupun dari retribusi kapal-kapal asing yang melewati laut.
Faktor Pemicu Ketegangan
Dalam catatan Sidik Jatmika yang mengutip dari Gerald Blake soal Middle East, sebagian besar perbatasan darat di Timur Tengah sudah ditentukan sejak 1880 dan 1930, namun, soal perbatasan laut justru baru mulai ditentukan pada tahun 1960-an, dan hingga hari ini belum dapat diselesaikan secara tuntas. Berbagai perbedaan dan keragaman yang muncul, menyangkut perbatasan negara yang kecil dan besar, jalur laut yang kecil dan besar, kekayaan alam dan sumberdaya yang kecil dan besar, termasuk negara kaya-miskin, dan tingkat kemakmuran suatu negara, akan memiliki arah yang berbeda, baik secara politik maupun aspek lain dan tidak sedikit melahirkan ketegangan.
Ada banyak faktor yang menjadi pemicu ketegangan di kawasan Timur Tengah, baik secara internal kawasan, maupun pihak di luar kawasan yang juga berkepentingan. Dua poin utama bisa disebutkan: Pertama, posisi strategis kawasan ini yang menjadi penghubung bagi ekonomi, perdagangan, dan pertahanan global ketiga benua, yakni Asia, Afrika dan Eropa. Kedua, soal keanekaragaman yang memang dimiliki Timur Tengah. Beberapa keanekaragaman yang tergambar bisa disebut, antara lain:
- Geografis Timur Tengah yang melahirkan perbedaan wilayah, ada yang luas dan sempit sehingga menjadi pemicu dominasi, termasuk juga kedekatan regional yang tak jarang memicu ketegangan, seperti kawasan Arab inti (bulan sabit); Saudi Arabia, Mesir, Kuwait, Irak, Palestina, UEA, Bahrain, Qatar, Oman dan Yordania. Kawasan Arab periferal; Libya, Sudan, Yaman, Suriah dan Libanon. Kawasan Arab maghribi; Maroko, Tunisia, Aljazair, dan Mauritania. Kawasan non-Arab; Turki, Iran, Siprus, Israel dan Afghanistan. Kawasan Asia Tengah yang merupakan eks Uni Soviet; Azarbaijan, Uzbekistan, Kazakstan dan Turkmenistan.
- Problem kepemilikan air, baik air tawar maupun air laut. Pemicunya bisa keterbatasan akses air, semisal perbatasan, potensi kekayaan air laut, mineral, pulau-pulau, dan pendapatan yang muncul dari kepemilikan laut. Sementara air tawar bisa berupa akses air bersih, irigasi untuk lahan, juga pembangkit listrik.
- Keanekaragaman agama, akar budaya dan suku atau kabilah. Ada warisan peradaban yang muncul di lembah sungai Nil, Tigris dan Eufrat, lalu muncul ras Semit yang melahirkan etnis Arab dan Yahudi, Aria dengan Persianya, dan Berber di Afrika Utara. Ada juga ras gabungan semisal Turki yang ada unsur Mongolia dan Kurdi yang Indo-Persia. Belum lagi pecahan dalam bentuk suku-suku dan kabilah yang juga beritu beragam. Dari sisi agama, ada Yahudi, Islam, dan Kristen, begitu juga aliran-aliran keagamaan lain. Keragaman yang bisa menjadi potensi baik sebagai sebuah kekayaan budaya ataupun sebaliknya, bisa menjadi sumber ketegangan dan konflik.
- Keanekaragaman ekonomi dengan melihat tingkat kemakmuran suatu negara, kaya-miskin hingga kekayaan alam dan sumberdaya yang dimiliki, bisa melahirkan arah yang berbeda dan memicu ketegangan.
- Keanekaragaman ideologi juga hadir, ada Pan Islamisme, OKI dan juga Liga Arab yang merespon munculnya negara Israel. Ada sekularisme, liberalisme, komunisme, dan juga zionisme. Ada juga ideologi yang berbasis pada ajaran agama, semisal Islam, Kristen dan Yahudi dan aliran keagamaan, semisal Sunni-Syiah dan lainnya.
Nah, berbagai keragaman, termasuk letak geografis yang berujung pada perbatasan di atas, sangat mungkin menjadi salah satu faktor pemicu ketegangan, meskipun ujungnya juga soal beda kepentingan dan sudut pandang yang bermuara pada ekpresi politik, baik perorangan, kelompok, maupun atas nama negara. Maka melihatnya tidak hanya sektarian. Ada banyak model dan kamuflase yang mengemuka dalam ketegangan di kawasan ini yang musti dibaca secara mendalam dan dari berbagai aspek. Adakalanya tidak peduli dengan agama, asal kepentingannya sama. Adakalanya ideologi menjadi basis penyatuan kepentingan. Yang jelas basis kepentingan menjadi lebih penting dan menarik untuk dilihat, sementara pemicu dan ‘bahan bakar’ konflik dan ketegangan bisa bermacam-macam.
Suasana batin atas perasaan ketidakadilan, diskriminasi atau peminggiran kelompok, ketimpangan ekonomi menjadi awal mula perasaan kecewa dengan situasi dan kondisi, dan akumulasinya bisa melahirkan protes, ketegangan dan konflik yang mencari sasaran dan target permusuhan. Dorongan pihak luar juga bisa menguatkan ketegangan, sehingga memperkeruh dan muncul pihak yang mengambil keuntungan dari situasi krisis.
Krisis Politik yang Berulang
Menurut Carl J Friedrich, politik merupakan suatu upaya atau cara untuk memperoleh atau mempertahankan kekuatan. Politik juga dapat diartikan cara untuk mencapai tujuan tertentu yang dikehendaki yang akan digunakan untuk mencapai keadaan yang diinginkan. Kehidupan berpolitik tak pernah lepas dari kehidupan sosial suatu negara. Dan masyarakat di Timur Tengah dengan didominasi oleh bangsa Arab memiliki kultur pemerintahan yang sebagian besar adalah diktator. Salah satu faktor historis yang melatari karena di wilayah tersebut dulunya bersistem kekerajaan.
Arab Spring menjadi pintu masuk berbagai pihak melakukan koreksi terhadap kepemimpinan di Timur Tengah, mulai dari Tunisia hingga menyebar ke berbagai negara di kawasan Timur Tengah. Beberapa tuntutan akibat reaksi ketidakpuasan publik Timur Tengah, ada yang menunjukkan hasil positif, namun tidak sedikit pula yang justru berakibat fatal dan melahirkan krisis dan konflik berkepanjangan. Kecepatan merespon dan kepiawaian negosiasi pemimpin di kawasan ini menjadi kunci, termasuk melihat berbagai efek dan dampak serta pengaruh para tokoh dan supporter yang menggerakkan aksi, baik secara internal maupun eksternal negara.
Tidak sedikit para pemimpin yang tumbang dan harus menyerahkan mandat kepada desakan publik, semisal Tunisia, Libya, Mesir dan Yaman. Namun ada juga yang hanya melakukan reformasi internal tanpa penggulingan kekuasaan, semisal Saudi Arabia, Qatar, Bahrain dan juga Syuriah meski mengalami pergolakan yang masih berlangsung hingga saat ini.
Di Mesir misalnya, pasca tumbangnya rezim Hosni Mubarak, rakyat Mesir justru terjerumus ke dalam konflik sektarian. Konflik sektarian tersebut terjadi antara warga muslim dan kristen. Dalam konflik yang bernuansa SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) tersebut, setidaknya terdapat beberapa orang yang menjadi korban akibat brutalnya aksi. Konflik sektarian di Mesir adalah satu contoh resistensi politik di kawasan Timur Tengah setelah revolusi berhasil dilakukan.
Pasca revolusi, umumnya tuntutan sederhana yang dikehendaki rakyat dan para elite politik adalah melangsungkan pemilihan umum secara demokratis untuk memilih kepemimpinan baru. Harapan baru tersebutlah yang menjadi suara mayoritas rakyat kawasan Timur Tengah, termasuk harapan kehidupan yang lebih baik dan demokratis.