Di antara anggota keluarga kira-kira siapa yang paling kocak? Yaps, jawaban hampir pasti adalah bapak. Bapak-bapak memang menjadi sosok yang paling paripurna kocaknya.
Coba pikir-pikir dan ingat betul-betul suatu momen. Suatu ketika dalam suasana hening di dalam rumah, beliau lah yang selalu bikin kehebohan dengan ke absurd-annya dan dengan segala tindak-tanduk kocak lainnya. Di dunia maya apalagi. Bapak-bapak adalah pemegang kasta komedi tertinggi. Mulai dari tebak-tebakan absurd hingga meme-meme kocak yang menggelikan.
Kelakuan kocak dan absurd nya akan mencapai puncak tertinggi saat mereka ngumpul di pos ronda. Selalu hadir tingkah laku yang tak terduga, bahkan tidak dapat diprediksi. Tak ayal kerap mengundang gelak tawa. Bagi yang berpengalaman tentu akan mengamininya. Kalau tidak percaya, coba sesekali ikut nimbrung di pos ronda. Kamu bakal menemukan mutiara-mutiara keabsurd-an dan tingkah laku kocak lainnya.
Dari semua itu, kita menyadari bahwa sisi keabsurd-an dan kekocakan adalah dunianya bapak-bapak. Seperti orang bilang, “Ingat! Di umur segitu emang beliau lagi lucu-lucunya!”. Faktanya memang demikian.
Berangkat dari persoalan bapak-bapak dan tongkrongan pos ronda yang bukan hanya sebatas itu. Mari kita tarik ke arah yang lebih serius, lebih bermanfaat, dan berdaging -begitu istilah anak zaman sekarang menyebutnya-. Meski isinya tidak serius amat.
Bagaimanapun, bapak-bapak dan tongkrongannya sangat krusial, bahkan fundamental bagi keamanan dan kerukunan lingkungan sekitar. Keberhasilan suatu lingkungan sesekali diukur dari kualitas dan kuantitas ‘jaga malam’ tersebut.
Tugas ronda bisa disebut sebagai bagian dari menunaikan ibadah sosial (ibadah muta’addiyah). Ibadah yang manfaatnya dapat dirasakan dan berdampak bagi orang lain. Karena urusan ibadah bukan hanya dihitung dari tunainya ibadah ritual atau ibadah personal (ibadah qashirah). Seperti sholat, puasa, berhaji dan lain sebagainya. Menjaga lingkungan, keamanan, dan menjaga kerukunan antarwarga menjadi penyempurna suatu amalan.
Betapa pentingnya ibadah sosial dalam lelaku keberagamaan seperti menjalankan tugas ronda ini. Sebagaimana kaidah fiqh yang secara eksplisit menyatakan “al-muta’addiyah afdhalun min al-qashirah” (ibadah sosial merupakan ibadah yang jauh lebih utama dari pada ibadah individual). Bunyi kaidah fiqih ini tentu tidak berlebihan dan tidak menyampingkan ibadah personal. Penting untuk menyeimbangkan keduanya. Kaidah fiqih tersebut lahir tidak lebih sebagai spirit kemanusiaan (anthromorfis) dengan dibarengi nafas spirit ketuhanan (theomorfis).
Pos ronda terkadang menjadi salah satu arena bagi warga dalam merumuskan suatu kebijakan di tingkat RT/RW, sebagai mimbar evaluasi, bahkan tempat bermusyawarah mencarikan titik temu soal-soal rumah tangga. Terkadang, kisah para Nabi juga tak luput dari obrolan yang mengiringinya di penghujung malam yang semakin sunyi.
Kembali ke persoalan. Tempat mana yang dapat menawarkan ruang dialogis di antara warga yang nyaman? Bagi bapak-bapak, tongkrongan di pos ronda lah jawabannya. Bisa jadi loh! Ide-ide bahkan gagasan besar juga lahir dari sebuah tongkrongan. Teringat pesan Bung Karno yang fenomenal, “Saya menyukai pemuda yang kumpul-kumpul memikirkan nasib bangsanya ketimbang pemuda kutu buku yang memikirkan dirinya sendiri”.
Ungkapan Bung Karno di atas persis kalau kita padankan dengan pemuda atau bapak-bapak yang sedang memikirkan nasib warganya di pos ronda. Terkadang memang obrolan dalam tongkrongan bapak-bapak cenderung randomly, pragmatis, sesekali juga ilusif.
Dalam hal lain, meminjam konsepsi Bordieu (seorang teoritis dalam Sosiologi), pos ronda bisa jadi semacam arena sosial, di mana dalam arena sosial tersebut tidak menutup kemungkinan terjadi suatu pertukaran modal (capital) baik capital ekonomi, sosial, budaya, maupun simbolik.
Pos ronda bukan sekadar ruang perjumpaan yang hampa. Di dalamnya terjadi daya magnet pertukaran capital yang saling tarik-menarik. Berisi manusia yang dipertukarkan dengan sebuah sistem absurdiyah, lempar-tangkap jokes, tebak-tebakan, hingga hal receh. Bahkan tidak sesederhana itu. Ada juga sisi esensial yang dipertukarkan dalam arena sosial tersebut.
Ambil contoh capital sosial dan simbolik yang dipertukarkan seperti keintiman relasi (relasional), kehangatan hubungan (silaturahmi), jejaring sosial yang terbentuk (social networks), dan trust (kepercayaan) yang dibangun.
Soal keintiman relasi tidak bisa diragukan di antara mereka. Dari pos ronda hingga menjalar ke grup whatsapp keluarga, loyalitasnya kuat, bahkan membentuk semacam jejaring sosial yang memperlancar silaturahmi. Jokes-jokes yang kerap kali dilempar tanpa adanya trust yang kuat juga akan terasa garing dan nyaris kering. Maka tingkat trust di antara mereka juga bagus.
Bisa saja tongkrongan adalah media yang paling efektif dan berbiaya murah (low budget) dalam menyosialisasikan nilai-nilai kerukunan. Di atas sekadar kumpul-kumpul ialah nilai kekeluargaan yang tercipta dari adanya silaturahmi, saling meredakan urat ketegangan dengan balutan logika absurdiyah, bahkan sesekali melakukan tindakan korektif di antara mereka secara serius. Sebagaimana dalam Islam, dianjurkan untuk terus memperkuat simpul silaturahmi di antara kita dan tali persaudaraan (al-ukhuwah).
Tongkrongan pos ronda memiliki faidah kebermanfaatan yang patut untuk dipertimbangkan. Selayaknya ibadah sosial yang memiliki dimensi asketisme yang dapat membentuk kesalehan sosial. Alangkah indahnya jika pos ronda dijadikan medium atau bahkan inkubator rumah damai. Kita alihkan saja energi bapak-bapak dengan jokesnya orisinil itu sebagai kekuatan di akar rumput (underground) yang bisa pecah -istilah jokes, dalam menyemai kerukunan. Minimal di tingkat RT/RW. (AN)