Belajar dari Peristiwa Penolakan Abu Lahab atas Dakwah Nabi Muhammad

Belajar dari Peristiwa Penolakan Abu Lahab atas Dakwah Nabi Muhammad

Dari peristiwa penolakan Abu Lahab ini, kita harus memahami bahwa yang kita tolak adalah gagasannya, alih-alih orangnya.

Belajar dari Peristiwa Penolakan Abu Lahab atas Dakwah Nabi Muhammad
Foto: MBC Studio

Berdakwah atau mengajak orang kepada jalan yang benar adalah perintah Allah Swt. Oleh karenanya, setiap orang harus melakukannya. Tentu hal ini harus dilakukan dengan kapasitas dan ruang lingkupnya masing-masing.

Allah Swt berfirman:

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. An-Nahl [16]: 125)

Namun, setiap hal yang kita kerjakan, tak terkecuali berdakwah, mau tidak mau pasti akan mengalami banyak rintangan dan cobaan. Sekaliber Nabi Muhammad Saw pun sama: mengalami rintangan dalam dakwahnya. Bahkan tak tanggung-tanggung, penolakan itu datang dari anggota keluarganya sendiri, yakni Abu Lahab, pamannya.

Abu lahab adalah paman keempat nabi. Nama aslinya adalah Abdul ‘Uzza. Dalam Dalam kitab Nur al-Dhalam disebutkan bahwa ia dijuluki Abu Lahab karena wajahnya yang begitu tampan. Nama kuniyah-nya (nama panggilan) adalah Abu Utaibah. Ia wafat dalam keadaan yang sangat mengenaskan karena terjangkit penyakit lepra. (Selengkapnya di sini)

Menurut Sayyid Muhammad bin Muhammad dalam Jala’ul Afham, Abu Lahab adalah salah satu orang yang paling keras menentang dakwah Nabi. Bukti penolakan itu salah satunya adalah yang disebutkan dalam hadis riwayat Ahmad.

Suatu ketika, seorang yang telah masuk Islam bernama Rabi’ah bin ‘Abbad melihat Nabi sedang berada di pasar. Nabi, saat itu, sedang menyeru kepada orang-orang yang ada di sana.

“Wahai para manusia, katakanlah, Laa ilaaha illallah (tiada Tuhan selain Allah), maka kalian akan beruntung,” kata Nabi.

Tiba-tiba ada seorang lelaki dari belakang Nabi berkata, “Dia adalah anak yang suka berdusta”.

Karena tak merasa kenal, akhirnya Rabi’ah bin ‘Abbad bertanya kepada orang-orang di pasar, siapa gerangan yang menyela dan mengatai Nabi itu. Mereka menjawab pria itu adalah Abu Lahab, paman Nabi.

Kisah di atas juga dikutip oleh Wahbah Zuhaili dalam tafsirnya ketika ia menerangkan surat al-Masad (al-Lahab).

Di titik ini, kita bisa mengambil pelajaran bahwa dalam sebuah perjuangan di jalan Allah, pasti akan ada rintangan yang menghadang. Akan ada orang yang tidak suka dengan apa yang kita lakukan. Selama kita yakin bahwa yang kita lakukan adalah suatu yang benar, maka lanjutkan saja. Kita tidak harus menyenangkan semua pihak, kok.

Sebagaimana yang dialami Nabi, maka bisa jadi penolakan atas setiap hal baik yang kita lakukan itu datang dari orang-orang di sekeliling kita. Bisa orangtua, saudara, paman, dan yang lainnya. Sehingga, dari sini, kita harus benar-benar pintar dalam memposisikan diri.

Di satu sisi, siapa saja yang menolak harus kita abaikan. Kita harus tetap melangkah ke depan. Namun, di sisi lain, kita harus tetap menghormati sosok dan figur orang itu, apalagi ia masih memiliki hubungan keluarga dengan kita. Dan, dari sini kita harus memahami bahwa yang kita tolak adalah gagasannya, bukan orangnya.

Juga, dari peristiwa Nabi yang ditolak dakwahnya dan dihina di tengah-tengah pasar di atas, kita bisa belajar bahwa dalam berdakwah (dan hal baik lainnya), hendaknya seseorang memiliki mental yang kuat dan kokoh dan tidak mudah putus asa. Wallahu a’lam.